---**---
The Cloth Shop "Abbu Sabah", Port Said, Egypt.,
Pagi hari.,
Hari-hari yang ia lalui tidak pernah ada perubahan. Semua seperti biasa, dia akan bangun lebih pagi dan membereskan semua pekerjaan rumah. Kemudian, dia akan memasak bersama dengan sang Nenek tercinta.
Setelah semua pekerjaan rumah beres, dia akan pergi mandi lalu membuka toko mereka yang terletak tidak jauh dari rumah. Hanya berjarak 2 rumah saja dari rumah mereka.
Meskipun hari-harinya begitu monoton, tetapi Jasmine tidak pernah berhenti berharap agar Tuhan memberikan keajaiban untuknya. Keinginan yang selama ini ia pendam.
Jasmine tidak mau menjadi orang yang munafik dengan mengatakan tidak masalah jika hidup apa adanya. Semua orang ingin hidup dengan layak. Bisa melakukan apapun, membelikan barang-barang bagus untuk keluarga mereka, mengajak keluarga mereka pergi berlibur ke destinasi yang diimpian oleh semua orang.
Usianya baru menginjak 21 tahun, tapi Jasmine sudah diajak untuk berpikir dewasa oleh keadaan bahkan sejak ia kecil. Sekarang, di usianya yang sudah tergolong remaja dewasa, Jasmine merasa kalau dia perlu melakukan sesuatu. Dia tidak bisa berdiam diri seperti ini disaat mereka memang benar-benar membutuhkan uang untuk menyambung hidup dan mempertahankan toko.
“Haahh …”
Jasmine menghela napas panjang sembari memainkan sapu lidi yang sedang ia pegang. Dia duduk di depan tokonya sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang.
Hari ini pasar terlihat sepi. Tidak, pasar ramai pun toko mereka tetap sepi. Tidak hanya sepi tetapi juga tidak pernah dikunjungi pembeli lagi.
Bagaimana hati Jasmine tidak sedih. Apalagi makanan yang mereka makan selama beberapa bulan terakhir tidak pernah berganti menu.
Jasmine hanya merasa sedih karena di hari tua kakek dan neneknya, dia belum bisa membuat mereka bahagia. Dia belum bisa menjadi sosok yang dibanggakan sebagai tempat bersandar.
Jika dia melawan ucapan mereka, Jasmine akan merasa sangat bersalah. Mereka pasti juga akan sedih nanti.
Lama dia melamun hal-hal yang berkecamuk di pikirannya, Jasmine kembali memperhatikan sekelilingnya.
“Ayo, mari-mari … mari bagi yang mau melihat dagangan kami.”
“Ada banyak barang antik yang tidak akan pernah kalian temukan di tempat lain. Ayo masuklah dan lihat ke dalam sini.”
“Tuan, Nyonya … ayo masuk kesini. Ada harga ada kualitas. Kalian tidak akan kecewa jika membeli kain kami.”
Semua orang menawarkan dagangan masing-masing. Laku atau tidak laku, mereka tetap berusaha sampai ada satu atau dua pembeli yang masuk ke toko mereka. Berbeda jika di toko kecilnya ini.
“Silahkan ambil ini, Tuan, Nyonya. Jika ada anak gadis kalian yang berniat ingin menjadi seorang penari, kalian bisa mengasah bakat itu sejak dini. Ini brosurnya. Silahkan dilihat-lihat dulu.”
“Wah? Ini dimana ya? Apa ada di Port Said?”
“Tidak, Nyonya. Ini hanya ada di Kairo. Kami sengaja mengelilingi desa terpencil untuk membantu anak-anak muda yang mungkin ingin menjadi anak murid di sekolah baru kami. Dan mengembangkan kemampuan mereka.”
“Oh … jadi ini sekolah tari baru ya? Di Kairo?”
“Benar, Nyonya.”
“Ada apa ini? Brosur apa ini? Ada diskon sembako?”
“Tidak, Nyonya. Ini brosur sekolah tari baru di Kairo. Dan kami membuka diskon besar-besaran karena sekolah kami baru saja diresmikan beberapa minggu lalu.”
Kening Jasmine berkerut. Dia memperhatikan kerumunan ibu-ibu yang sedang berbincang di toko sebelah.
‘Sekolah tari?’ bathin Jasmine penasaran.
“Oh sekolah tari. Yang penari perut begitu??”
“Sejak usia 5 tahun ya sudah boleh?”
“Wah … diskonnya lumayan sekali. Tapi … aku tidak mau anak perempuanku menjadi penari apalagi penari perut.”
“Iya benar, Nyonya. Sekolah kami menekuni dunia tari perut khas Mesir. Dan kalian bisa mengasah kemampun anak sejak usia dini. Tetapi untuk usia remaja juga bisa. Kami akan bimbing sampai anak sukses di panggung besar Mesir.”
“Gambaran penari perut selalu buruk. Maaf ya, saya menolak.”
“Iya, Nyonya. Tidak masalah. Kami hanya menawarkan saja. Bisa dibawa brosurnya, Nyonya. Siapa tahu sanak saudara Nyonya ada yang berminat.”
“Ah … baiklah, saya akan pikir-pikir dulu. Terima kasih ya, brosurnya.”
“Untuk apa brosur ini.”
“Ya sudah pegang saja.”
“Sama-sama, Nyonya. Saya permisi.”
“Iya, sama-sama.”
Jasmine melihat dua orang wanita terlihat tidak menyukai wanita yang menawarkan brosur tadi. Padahal, wanita tadi hanya menawarkan dan tidak memaksa sedikitpun.
Dia melihat wanita tadi sudah berjalan lurus ke arah sana sembari menawarkan brosur kembali kepada ibu-ibu yang lain.
“Aku tidak menyukai brosur ini. Citra penari perut sangat fatal. Mana mungkin suamiku mengizinkan putriku sekolah di tempat seperti ini.”
Jasmine tertegun mendengar perkataan wanita itu sambil membuang brosur ke tanah. Lalu, mereka pergi meninggalkan toko yang bersebelahan dengan tokonya.
“Yuk, kita lihat kesana. Aku mau membeli baju baru untuk anak gadisku.”
“Aku lupa membeli pernak-pernik. Sebentar lagi hari H pernikahan sepupuku.”
Dia memperhatikan sekelilingnya. Pemilik toko sebelah juga terlihat cuek dengan sikap para ibu-ibu tadi.
Namun, Jasmine masih penasaran dengan brosur yang diberikan oleh wanita tadi. Sepertinya tidak salah kalau dia mengutip brosur yang menganggur disana.
Jasmine sempat ragu dan takut bila saja ada orang yang tahu bahwa dia sedikit tertarik ketika wanita tadi menjelaskan mengenai sekolah tari.
‘Ambil tidak ya?’ bathinnya ragu.
Sesaat, Jasmine merasa kalau dia tidak perlu malu.
‘Baiklah. Kau tidak perlu malu. Tapi sebaiknya …’ bathinnya langsung beranjak dari kursi dan mengayunkan sapu lidi yang ia pegang sejak tadi.
Jasmine berpura-pura menyapu tanah yang sebenarnya sudah bersih. Namun, dia melakukan ini demi menarik brosur yang ada di halaman toko sebelah.
Dia menyapu sembari memperhatikan sekitarnya. Terutama, dia melihat ke arah sana. Kakek dan Neneknya mungkin masih berada di rumah. Lebih baik jika dia bergerak cepat agar tidak ketahuan oleh mereka.
Langkah kakinya semakin berjalan menuju halaman toko sebelah.
“Paman? Bagaimana dagangan kita hari ini?”
“Hey, Jasmine … ah, kau lihat sendiri. Alhamdulillah ada yang terjual. Lumayan walaupun hanya untung sedikit. Bisa putar modal. Oh iya, kemana Kakek Abbu dan Nenek Eshe? Kau seorang diri?”
Jasmine tersenyum dan mengangguk kecil sembari melirik ke arah bawah.
“Iya, Paman. Mereka masih di rumah. Mungkin sebentar lagi akan kesini,” jawabnya.
Lalu, seorang wanita yang merupakan istri dari pria itu juga turut membuka suara.
“Jasmine, kau melihat rombongan ibu-ibu tadi? Yang tadi singgah ke toko kami??”
Jasmine memasang wajah pura-pura mengingat. Dia melirik ke bawah dan secepat kilas menyapu lalu menahan brosur itu dibawah sapu lidinya.
“Oh yang tadi, Bi? Iya, aku melihat mereka. Memangnya ada apa, Bi?”
Pria dan wanita itu berjalan dan hendak menghampirinya yang berada di depan toko mereka. Tidak mau melewatkan kesempatan emas, Jasmine langsung menarik sapu lidi dengan menahan brosur dibawahnya. Dia segera menekan dan membawanya menuju pintu tokonya.
“Itu tadi … mereka membahas soal brosur sekolah tari. Kata wanita tadi, sekolah tari mereka baru saja dibuka.”
“Tapi di Kairo, tidak disini.”
“Oh … sekolah tari.”
“Kalau di Kairo, mungkin orang-orang disini akan pikir ulang sebab biaya hidup disana pasti tinggi.”
“Wanita tadi juga memberi brosur di kampung kita. Kenapa mereka tidak mengumumkannya di daerah Kairo saja. Sangat aneh.”
Jasmine tampak berpikir.
“Mungkin mereka juga menawarkan orang-orang disana, Bi. Tidak ada salahnya juga kalau mereka menawarkan anak-anak di Port Said.”
“Benar juga. Aku pernah mendengar kabar burung kalau penari perut adalah profesi yang sangat menjanjikan. Tapi aku tidak tahu bila itu hanya kabar burung semata.”
Jasmine tertegun mendengar ucapan tetangganya barusan. Apakah benar kalau profesi penari perut memberikan banyak janji.
Jika itu benar, Jasmine akan memikirkan ulang harapan manis itu. Dia memang sangat ingin meneruskan bakat almarhum sang Ibu yang mengalir dalam darahnya. Namun, larangan kakek dan neneknya membuat Jasmine mengurungkan niat sampai bertahun-tahun.
Belum berniat untuk memutuskan pembicaraan, dia sengaja mengajak mereka berbicara panjang dan lebar agar keduanya tidak mencurigai niat Jasmine mengambil brosur yang ada di tanah tadi. Sesekali dia melirik ke arah rumahnya dan mengawasi jika saja kakek dan neneknya hendak menghampiri toko.
…
Beberapa menit kemudian.,
Sembari duduk di kursi kayu menghadap ke arah luar, Jasmine memperhatikan brosur yang kini ada di tangannya. Disana tertulis bahwa ada diskon biaya di salah satu sekolah tari yang baru buka di Kairo.
Tidak hanya menyediakan berbagai fasilitas lengkap sebagai penunjang pendidikan tari, tetapi juga menyediakan asrama bagi pelajar yang berasal dari luar kota. Seketika tekad Jasmine membulat.
Namun, sedikit ada keraguan di hatinya. Dia tidak memiliki biaya untuk pergi ke Kairo walau hanya untuk bertanya mengenai informasi jelas mengenai brosur yang sedang ia baca.
“Nak?”
Jasmine terkejut. Dia langsung menoleh ke belakang. Dia melihat sang Nenek berjalan menghampirinya.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)