Tim Tiga Sekawan

1521 Words
Angin tiba-tiba berhembus kencang, membuat daun pintu dan jendela terbuka lebar. Steve dan Hengky buru-buru masuk, bergabung denganku dan Ki Mengkis, berdiri di tengah ruangan sambil memerhatikan suasana yang tiba-tiba jadi menyeramkan. Botol air mineral yang ada di genggamanku tiba-tiba lepas tanpa bisa kucegah, seperti ada seseorang yang merebutnya dariku. Botol itu jatuh ke lantai, berguling-guling gak jelas hingga akhirnya berdiri lalu mengeluarkan asap tebal, keluar dari botol serupa angin p****g beliung membumbung semakin lama semakin tinggi. Ada banyak bayangan seperti orang dewasa, anak-anak bahkan seekor ular pun ada. Semua berputar-putar mengikuti gerakan angin yang kini sudah menyentuh atap. Bayangan-bayangan itu tertawa riang, suaranya memekik hingga membuatku menutup telinga. Bayangan seorang perempuan sempat berhenti di depan mata, Steve menarikku dan menyembunyikanku dalam pelukannya. Aku menarik badanku darinya, dikira aku gak tahu modusnya apa? Suasana kian mencekam apalagi lampu tiba-tiba padam dan menyala bergantian mirip lagi di dalam ruangan disco hanya saja disini yang lagi nari para jin yang baru bebas dari botol. "Waduh, Ki Mengkis. Ini gimana?" Aku memandang Ki Mengkis, ia memandang botol dengan posisi badan kuda-kuda sempurna. Dua tangannya terbuka di depan botol, ia sedang merapal mantra. Tapi hembusan angin bikin aku gak bisa dengerin rapalannya. Angin makin kencang bertiup, bikin daun pintu dan jendela membuka menutup tertiup angin. Meja berisi sesajen berhamburan, terbawa angin kencang bahkan foto Ki Mengkis di dinding juga ikut tercabut dan ikut masuk ke pusaran angin. Lampu mati sudah tapi ternyata gak bikin semua gelap karena ternyata botol mengeluarkan sinar putih yang cukup bikin kami bisa lihat pusaran angin. "Bunga. Aku akan melindungimu. Kamu tenang saja!" Steve mendekatiku, ia merenggangkan dua lengannya dan memelukku. "Maksudmu apa sih Steve? Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan dong." Aku menepis badannya, enak aja main peluk-peluk sembarangan, di depan Hengky pula. Si Hengky mah, dia malah sibuk ngamatin rumah yang masih diserang angin besar. "Kita harus sembunyi!" Hengky berlari ke belakang punggung Steve, kepalanya mendongak seolah-olah lagi melihat sesuatu. "Bunga. Kamu ngapain? Bantu aku!" Aku menoleh ke arah Ki Mengkis, ia lagi tidur meluk botol dengan erat, seolah botol itu punya kekuatan besar. "Amatek aji pancasona, ana wiyat jroning bumi, surya murup ing bantala, bumi sap pitu anelehi sabuwono, rahina ta keno wengi, ceng ... cleceng, cleng ... cleceng mustiko lananging jaya, yo aku pancasona, ratune nyowo sekelir!" Ki Mengkis mulai komat-kamit, baca mantra buat nenangin jin dalam botol yang masih berusaha lepas dari jeratan angin. Tapi kekuatan mereka lebih kuat dari Ki Mengkis, membuat Ki Mengkis guling-guling sambil berusaha menutup botol itu. Satu jin lepas dari angin, ia berada di depan pintu dan sempat berhenti sejenak sebelum pergi. Dia berbentuk bayangan jadi gak jelas bentuk aslinya kayak gimana. Satu persatu jin lepas, aku mau bantu Ki Mengkis tapi bingung mau bantu apa? Orang aku gak pernah dibekali kemampuan menangkap jin. Selama ini kan aku cuma bisa lihat dan berinteraksi, bukannya jadi polikhustral alias polisi khusus makhluk astral. Akhirnya suasana kembali kondusif. Ki Mengkis berdiri bersama botol air mineral kosong. Ia melotot padaku, aku tahu ia marah karena ulahku. Aku cuma bisa nundukin kepala. Udah jatuh ketimpa tangga pula mungkin peribahasa ini lagi cocok untukku, udah bikin banyak jin lepas ada Hengky pula. Alamak, aku mau masuk ke botol aja dah... "Kamu harus bertanggung jawab!" Ki Mengkis masih memandangku lekat. "Iya Ki. Maafin saya. Saya gak sengaja ... Sungguh!" Aku cuma berani meliriknya sesekali lalu kembali menundukkan kepala. "Kamu harus bisa menangkap mereka dan memasukkannya ke dalam botol. Kalo engga, mereka akan membalas dendam padaku dan padamu juga," ucap Ki Mengkis. "Kok ... Kok aku?" "Lah iya, la wong kamu yang bikin mereka lepas. Kamu harus tanggung jawab dan cepat tangkap mereka sebelum mereka bikin ulah." Ki Mengkis kembali meletakkan botol ke atas tanah. Aku lemes banget jadinya, seumur-umur aku gak pernah membayangkan kalo aku harus melewati bab kehidupan aneh seperti ini. "Terus apa yang harus aku lakukan, Ki?" tanyaku. "Ya kumpulkan semua jin ke dalam botol ini. Kalo engga, mereka bakal datengin kita dan balas dendam," ucap Ki Mengkis. "Balas dendam?" Waduh, bahaya ini. Aku menelan ludah dengan susah payah. Menangkap jin? Walah seumur-umur gak pernah ngebayangin musti menangkap jin yang bentuknya macem-macem itu. "Lah, apa urusannya sama aku to, Ki? Lagian harusnya mereka berterima kasih sama aku. Karena aku sudah bebasin mereka dari botol itu,” ungkapku. Ki Mengkis mendelik, bikin aku diam seribu bahasa. "Tenang saja. Aku dan Hengky akan membantumu." Steve menepuk pundakku, ia memandangku dengan senyum sok gantengnya sementara Hengky diam seribu bahasa. "Kenapa aku juga? Aku harus fokus sekolah. Aku ingin masuk perguruan tinggi negeri sekelas ITS atau Brawijaya Malang." Hengky membuatku mencebik. Aku gak butuh Steve tapi butuh Hengky buat membantu, keberadaan Hengky saja aku yakin bisa menambah tenaga buat melakukan apapun. Steve memandang Hengky dengan tatapan seperti elang. "Kamu juga ikut! Aku ajari bagaimana pria terhormat ikut menanggung beban wanita hasil perbuatan kita," katanya. "Kamu bukan kita." Hengky masih berkeras hati. Bikin kecewa berat karena dia menolak buat membantuku. Di saat yang sangat genting begini, Hengky masih saja gak bisa nyenengin hatiku. "Sudahlah Steve. Aku bisa sendiri." Aku semakin lemas. "Jangan sendiri! Biarkan dua cecunguk ini membantumu. Mereka juga harus bertanggung jawab karena mereka, kejadian ini terjadi." Ki Mengkis melirik ke dua cowok yang masih berdiri di sebelahku. "Keep calm, Ki. I will do anything to help My Beautiful flower." Steve merangkul pundakku, secepatnya aku menepis tangan kokohnya. Sial bener si bule ini, sukanya nempel-nempel kayak perangko. Aku memandang Steve sambil mengerucutkan bibir tapi Steve memandangku sambil tertawa gak jelas. Dasar bule gak tahu diri, orang lagi kesusahan la kok dia malah senang macam bule pertama kali naik becak. "Bunga. Bersihkan tempat ini! Aku akan memantrai botol ini biar bisa membantumu." Ki Mengkis masuk ke dalam kamar. Aku yakin dia lagi minta pertolongan anak buahnya alias para jin yang sudah dididik jadi anak buah. Aku kembali memandang sekeliling ruangan. Ruangan ini jadi seperti kapal pecah. Foto Ki Mengkis teronggok di samping daun pintu, kacanya pecah berhamburan. Bunga-bunga sesajen semburat di seluruh ruangan, air yang biasa dipake buat nyembur pasien membasahi lantai yang beralas tikar daun pandan. Meja praktek Ki Mengkis malah nangkring di atas lemari berbahan jati tempat Ki Mengkis menyimpan botol-botol berisi jin. Sekali lagi aku menghela napas berat, pembersihan ruangan dimulai dengan mengambil sapu di dapur. Aku memutar badan, mau ke dapur tapi Hengky menghadang jalan. Di hadapannya jantungku tiba-tiba gak karuan, gak tahu kenapa ini selalu kejadian kalo ada di dekatnya. "Bunga. Aku ... Pamit dulu. Ini sudah malam dan aku yakin Ibuku sudah khawatir," katanya. Ada rasa kecewa karena dia pulang bahkan sebelum berbasa-basi. Tapi Hengky benar, ini sudah jam sepuluh malam. Kejadian tadi cukup memakan waktu rupanya padahal kupikir cuma sebentar saja. "What? Come on man. Ini baru jam sepuluh malam. Hanya bayi yang bikin Ibunya khawatir jam sepuluh belum pulang." Steve yang ajaib meledek Hengky tapi ini kampung, jam sepuluh malam sudah sangat larut. "Kamu gak tahu Steve. Disini jam sepuluh malam sudah sepi. Semua keluarga sudah ada di rumah semua." Hengky keberatan. "Benar Steve. Ini kampung beda sama kota apalagi luar negeri." Aku setuju dengan Hengky. Steve melotot padaku. "Kampung atau kota. Cowok gak akan tidur jam sepuluh malam kecuali anak-anak. Kamu cowok bukan anak-anak." Steve melirik Hengky dengan lirikan tajam. "Sudahlah Steve. Kamu juga harus pulang!" pintaku. "No Babe, aku akan selalu disini membantumu. Aku gak akan membiarkan gadis secantik kamu berjuang sendirian." Steve keras kepala rupanya. "Gombal," celetuk Hengky. Lagi-lagi Steve melirik Hengky. "What you say?" tanyanya. "Bukan apa-apa." Hengky tertawa masam, kurasa dia sedikit takut sama Steve. Secara Steve bodinya lumayan boros, kalo diam dia kelihatan serius dan bikin orang mikir dia algojo kesasar tapi kalo sudah ngomong macam play boy baru masuk kampung. "Ya sudah. Sana pulang semua. Aku gak mau kena masalah lain gara-gara kalian." Aku mendorong Steve tapi dia bergeming. "Ya sudah, Bunga. Sampai jumpa besok di sekolah. Itu jika kamu masuk," pamit Hengky. "Tidak ada yang boleh pulang. Baik aku apalagi kamu sampai Bunga selesai bertugas." Yaelah, Steve mulai lagi. "Ck, susah amat sih ngomongin kamu, Steve." Aku malas berdebat, akhirnya aku ke dapur buat mengambil sapu. Di dapur saat mengambil sapu. Dapur Ki Mengkis merupakan dapur tradisional dengan tungku besar terbuat dari tumpukan bata di ujung ruangan dan panci, dandang, wajan yang pantatnya hitam diletakkan tengkurap berjajar di atas dipan dekat tungku. Sapu sengaja diletakkan dekat pintu, aku mengambilnya tapi gak tahu kenapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Ini aneh sekali, seumur-umur aku gak pernah merasakan perasaan ini tapi gak tahu kenapa sekarang aku merasa sangat merinding. Glontang! Panci yang ada di atas dipan tiba-tiba jatuh di tengah dapur padahal gak ada tikus apalagi kucing disini. Aku gak mau mikir macam-macam jadi kulanjutin mengambil sapu. Glontang! Suara barang jatuh lagi, aku menoleh ke kiri, kulihat dandang sudah ada di tengah ruangan padahal gak ada makhluk astral disini. Tapi apa itu? Aku berusaha positif thinking meskipun susah nyari alasan masuk akal dari kejadian ini. "Bunga." Bisikan dekat telinga kudengar, memanggil namaku dengan nada begitu rendah tapi bikin bulu kudukku berdiri. Aku menelan ludah susah payah, meski aku bisa melihat makhluk astral tapi aku masih saja ngeri kalo lihat makhluk astral yang baru pertama kutemui. "Bunga ... Bunga ..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD