‘Haah? Gue salah ngomong kah? Brandon nanya apa sebelumnya?’ ucapnya dalam hati sembari melirik Rhea yang terdiam membeku bagai tengah berada di tengah-tengah kutub es.
Mario lalu menghela napasnya dengan panjang. “Bro! Lagi ngapain di sini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Daddy. Tadi aku cakar pipinya Gaftan karena dia ganggu aku terus,” kata Kaisan mengajak bicara papanya.
“Gaftan?”
“Anaknya Brandon,” ucap Rhea. “Dia, berantem sama anaknya Brandon. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang mesti dibahas. Kamu nggak bawa mobil?” tanyanya kepada Mario.
“Nggak. Sengaja mau jemput kamu ke sini. Aku pikir, masalahnya cukup besar karena nggak pulang-pulang. Makanya jemput ke sini,” jawabnya lalu mengulas senyumnya.
“Bro! Balik duluan, yaa.” Mario menepuk sebanyak dua kali bahu lelaki itu kemudian masuk ke dalam mobilnya bersama dengan Rhea dan juga Kaisan.
“Tadi, Brandon nanya apa?” tanya Mario sembari melajukan mobilnya.
Rhea lalu menoleh dengan pelan kepada Mario. “Tentunya nanya Kaisan anaknya siapa,” ucapnya lemas.
“Dan kamu tidak mau memberi tahu yang sebenarnya? Bukan maksud aku tidak menganggap Kaisan anak aku, jangan salah paham dulu, oke.”
Rhea terkekeh melihat kepanikan Mario yang mengkhawatirkan dirinya salah paham. “Nggak. Aku nggak mau ngasih tahu Brandon. Untuk apa? Aku masih mampu merawatnya dengan baik. Dia juga nggak minta pengakuan, hanya ingin tahu yang sebenarnya aja.”
Mario manggut-manggut dengan pelan. “Ya udah, jangan dipikirin. Brandon nggak akan minta kamu balik lagi sama dia juga.”
“Kalaupun iya, memangnya kamu mau?”
“Oh, tentu tidak!” Mario menjawab dengan sangat cepat.
Rhea lantas tertawa pelan mendengar ucapan Mario tadi.
“Mami kenapa?” tanya Kaisan yang tengah meminum sebotol s**u kedelai miliknya.
Rhea lalu menoleh kepada sang anak. “Dan ternyata, anaknya Brandon juga alergi s**u sapi. Gen ayah, memang benar-benar kuat, yaa?”
“Oh, yaa? Aku pikir, Kaisan doang yang alergi s**u sapi. Ternyata anaknya Tari juga. Ya. Gen ayah memang sangat kuat. Mungkin karena itu juga, Brandon bisa merasakan kalau Kaisan adalah anaknya.”
Rhea menelan saliva dengan pelan. “Tapi, aku nggak mau mengakui itu. Selama ini, aku yang merawatnya. Bukan dia.”
Mario mengusapi rambut kekasihnya itu dengan lembut. “Nggak usah dianggap, Sayang. Kalau nggak mau, yaa nggak usah. Lagi pula, kalian hanya baru ketemu tadi.”
Rhea lalu menatap Mario dengan tatapan lekatnya. “Kamu … cemburu?”
Mario menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak lah. Ngapain cemburu sama suami orang. Kalau kamu ngobrolnya sama berondong, baru … cemburu.”
Rhea mengatup bibirnya menahan tawa atas ucapan kekasihnya itu. “Brondong tampan yang mau sama aku itu cuma kamu doang, Mario.”
Pria itu terkekeh pelan. “Karena aku, mencintai kamu apa adanya. Dari dulu, sampai sekarang. Rela kabur dari Eropa juga demi kamu. Dan kamu juga mau menunggu aku sampai sukses lagi dengan usaha aku yang dimulai dari nol ini.”
Perempuan itu lantas mengulas senyumnya. “Ke rumah Indi dulu, yuk!”
Mario menganggukkan kepalanya. “Oke! Ke mana pun kamu ingin pergi, aku siap mengantar.”
Rhea kembali menerbitkan senyumnya. Selama dua tahun ini, Mario selalu berusaha membuat Rhea tertawa, bahagia dan menuruti semua keinginan perempuan itu. Hal yang bisa Mario lakukan untuk Rhea, akan selalu ia lakukan.
Meski kadang sering tidak enak hati karena menganggap dirinya menumpang hidup di rumah Rhea. Sebab setelah kaburnya dia dari Eropa, ia tinggal di rumah perempuan itu dan tidur dalam satu ranjang yang sama.
Hanya belum terikat dalam pernikahan, keduanya sudah tinggal bersama dalam satu atap yang sama. Meski Rhea tidak mempermasalahkan itu, tetap saja Mario merasa dirinya seperti b******n yang menumpang hidup di rumah Rhea.
Sampai akhirnya mereka pun tiba di rumah Indi.
“Rheaaa!!”
Setelah Mario datang ke Indonesia, pikiran aneh Indi sudah hilang dan mau memeluk para sahabatnya lagi.
“Rhea. Tahu nggak, gue hamil lagi dong?” ucap Indi memberi tahu sembari mengusapi perutnya yang sedikit membuncit itu.
“Lho, kok udah gede? Baru ketahuan apa gimana?” tanya Rhea yang tak kalah hebohnya dengan Indi.
“Udah tiga bulan, Rhe. Biasalah. Laki gue nggak berhenti naikin gue tiap hari. Ketahuannya karena Damian mabuk lagi. Katanya sih, kembar. Makanya udah keliatan buncit.”
“Woaah! Bakalan punya anak kembar dong. Jadi pengen.”
Indi memutar bola matanya pelan. “Ngasih kode nggak kira-kira. Ya udah sih, Mario. Kalau nunggu elo sukses dulu, bakalan bulukan entar. Yang ada nanti kecolongan lagi, brojol duluan sebelum dinikahi.” Indi menganggukkan kepalanya menasihati Mario.
Pria itu kemudian menghela napas kasar. “Nggak enak sama orang tuanya Rhea lah, Ndi.”
“Heh! Sebenarnya elo serius nggak sih, sama Rhea? Jangan cuma mau nemplok doang, lo. Nikahin juga! Udah dua tahun lho, Mario.”
Rhea lalu mengusapi tangan Indi. “Gue belum kasih tahu elo, yaa? Kartu identitas Mario dan semuanya masih disita orang tuanya. Dia nggak punya apa pun sementara syarat nikah harus ada identitas resmi. Elo mau Mario dipenjara, kalau bikin identitas palsu?”
Indi lantas menganga lalu mengatup bibirnya lagi. “Pantesan. Gue pikir, udah selesai karena udah pulang ke sini. Katanya udah dipecat jadi anggota keluarga bangsawan elo itu. Kenapa masih disita sih, Mario? Heran deh, gue!”
“Karena mereka belum memutuskan, Indira Pramestiiii! Baru gue doang yang kabur. Itu pun karena bantuan dari laki elo. Dijemput Diego dan Manda di bandara.”
Indi manggut-manggut pelan. “Begitu rupanya. Ribet banget, yaa. Kalau berurusan sama yang begituan. Anak gue nggak usah kenal sama orang-orang bangsawan kayak gitu deh.”
“Bapaknya miliarder. Nggak jadi masalah,” ucap Rhea kemudian.
“Nggak, bodo amat. Gue mau yang lokal aja.”
Rhea geleng-geleng kepala sembari mengulas senyumnya. “Oh ya, Ndi. Ternyata, Kaisan satu sekolah sama Gaftan, anaknya Brandon.”
“What?!” Indi lalu menghela napas kasar. “Usia kandungan elo waktu itu enam bulan, si Tari empat bulan. Beda dua bulan doang. Ya jelas bakalan satu sekolah. Rumahnya dekat dong, yaa? Tapi, baru ini kalian ketemu?”
Rhea menganggukkan kepalanya. “Anak gue baru masuk sebulan yang lalu, Ndi. Mau gue pindahin aja ke sekolah lain.”
Indi menghela napas panjang. “Rhea. Kalau elo pindahin Kaisan ke tempat lain, malah bikin Brandon makin curiga. Ketahuan banget kalau elo pengen jauhin anaknya dari dia.”
“Dia bukan anak Brandon, Indi. Kaisan anak gue.”
“Heem. Kumat!” Indi lalu mengusapi lengan sahabatnya itu. “Jangan sembunyi terus, Rhe. Move on. Elo nggak akan bisa bahagia, kalau masih galau karena orang gila satu itu. Kasihan Mario. Udah rela kabur dari Eropa, tapi elo masih cinta sama bocah laknat itu.”
“Gue udah nggak cinta, Indi!” tegas Rhea kemudian.
“Kalau udah nggak cinta, apa namanya kalau masih nangis saat lihat Kaisan tidur?”