Brandon membawa anaknya pulang terlebih dahulu sebelum nanti dia ke rumah sakit.
“Papa?” panggil Gaftan kemudian.
Brandon lalu menoleh pelan pada anaknya itu. “Kenapa, Nak?” tanyanya dengan lembut.
“Kaisan kasih ini.” Gaftan memberikan sebuah mainan kepada Brandon.
Pria itu mengulas senyumnya. ‘Mungkin yang dia katakan tadi, meminta maaf dan memberikan mainan ini kepada Gaftan. Kamu baik sekali, Kaisan. Seperti mama kamu,’ ucapnya dalam hati.
Bahkan air matanya sudah tidak terbendung lagi. Ia lalu menitikan air matanya bila teringat anak kecil manis yang bila melihatnya seolah tengah bercermin sebab mata dan hidungnya yang begitu mirip dengannya.
“Nak. Kamu sama Oma dulu, yaa. Papa ada urusan sebentar. Nanti Papa jemput kamu lagi,” ucapnya meminta izin kepada sang anak.
“Oke, Papa!” jawabnya dengan penuh riang.
Brandon lalu mengulas senyum lagi. Ia pun melajukan mobilnya, menambah kecepatan agar segera sampai ke rumah orang tuanya untuk menitipkan Gaftan terlebih dahulu.
Lima belas menit kemudian, mereka telah tiba di kediaman orang tuanya. Brandon lalu menggendong Gaftan dan membawanya masuk ke dalam.
“Ma. Aku titip Gaftan dulu sebentar. Nggak akan lama. Hanya satu sampai dua jam saja. Ada meeting mendadak,” ucapnya berbohong.
Mira—perempuan berusia lima puluh lima tahun itu mengangguk sembari menggendong Gaftan. “Ya. Tadinya Mama mau jemput anak kamu ke sekolah. Tapi, keduluan sama kamu. Kebetulan Mama juga sedang ingin bermain dengan cucu Mama.” Ia lalu mencubit gemas pipi cucunya itu.
Brandon tak berekspresi apa pun. Langsung pamit dan masuk ke dalam mobilnya. Melajukan mobil tersebut menuju rumah sakit untuk segera melakukan tes DNA dengan sample rambut yang sudah dia ambil di kepala Kaisan langsung.
**
Dua hari berlalu ….
“Cucu Oma sebentar lagi mau ulang tahun, yaa? Mau Oma belikan kado apa, heum?” Cintya mengunjungi rumah Rhea lagi.
“Pesawat yang gede, Oma,” pinta Kaisan dengan penuh semangat.
Cintya lantas terkekeh mendengar permintaan cucunya itu. “Oke, Sayang. Nanti kita beli pesawat yang gede, yaa.”
“Yeaaayyy!!!” Begitu senangnya Kaisan akan mendapat hadiah dari neneknya itu. “Telima kasih, Oma. Muacch.” Kaisan mencium pipi neneknya itu.
Rhea yang melihatnya lantas mengulas senyumnya. Ia lalu merapikan semua pakaian anaknya itu untuk ditaruh ke dalam lemarinya.
“Sudah pesan, kuenya? Mau tema apa, di tahun ini?” tanya Cintya kepada anaknya itu.
“Kayak biasa, Ma. Iron men.”
Cintya terkekeh pelan. “Kalau udah satu, yaa satu aja, yaa. Ya sudahlah tidak apa-apa, yang penting Kaisan senang. Mario, belum pulang?”
“Lagi di jalan. Besok kan, ulang tahun Kaisan. Dia nggak enak kalau masih di Surabaya. Katanya, mau menebus keabsenan dia waktu Kaisan ulang tahun yang pertama itu.”
Cintya tersenyum lirih mendengar ucapan anaknya itu. “Mario memang lelaki yang baik. Hanya saja, latar belakang dia yang terlalu istimewa itu membuat semuanya jadi ….” Cintya tak mampu melanjutkan ucapannya itu.
“Yang penting sekarang Mario masih ada di sini. Rasanya nggak ada yang perlu dipikirkan lagi, Ma. Selama dua tahun ini, dia anteng-anteng aja. Sibuk bangun bisnisnya sama Damian.”
Perempuan itu lalu mengusapi lengan anaknya. “Semoga ya, Nak. Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan Mario. Karena Mama dapat melihat rasa bahagia itu dari pancaran kamu, Sayang. Yang tadinya terpuruk saat tahu kamu hamil, dan Brandon meninggalkan kamu, sekarang kembali ceria, karena kehadiran Mario.”
Rhea lalu tersenyum tipis. “Karena aku pikir, tidak ada yang mau menerima aku yang punya masa lalu kelam, Ma. Dan ternyata, masih ada. Bahkan rela keluar dari anggota keluarganya yang sudah jelas dia akan mewarisi semua kekayaan orang tuanya. Tapi, karena mereka tidak setuju, dia memilih untuk pergi dan tidak peduli dengan harta itu.”
Ia kemudian menghela napas panjang. “Nggak akan aku temui lagi lelaki tanggung jawab seperti dia, Ma. Aku akan setia menunggunya sampai kami bisa meresmikan pernikahan itu. Entah kapan itu akan terjadi, aku akan tetap menunggunya. Kaisan juga udah nyaman dengan keberadaan Mario di tengah-tengah kami.”
Cintya menganggukkan kepalanya. Ia paham betul dengan perasaan anaknya itu. Orang yang merasakan patah hati dan sangat hancur sebab ditinggal saat dia tengah mengandung buah hati dari orang itu, lalu tiba-tiba ada lelaki datang dan mengungkapkan perasaannya.
Bahkan tidak peduli akan masa lalu itu yang mungkin tidak semua lelaki akan menerimanya. Hanya Mario yang dengan beraninya mengatakan bila dirinya siap jadi ayah untuk Kaisan yang tidak memiliki ayah saat Rhea melahirkan kala itu.
“Mario juga lah yang menemani aku saat melahirkan waktu itu, Ma. Tentu saja, batin Kaisan akan lebih menyayanginya dan akan selamanya menganggap kalau Mario adalah ayah kandungnya. Sulit, Ma. Aku nggak bisa lepas dari dia lagi.”
Cintya lalu memeluk anaknya itu. Mengusapi punggungnya dengan lembut dan menganggukkan kepalanya dalam pelukan itu.
“Iya, Nak. Mama paham. Mama akan selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu dan Kaisan. Mama janji, akan selalu memberikan support untuk kamu dan Mario,” lirih Cintya sembari menahan tangisnya itu.
“Daddyyy!!”
Kaisan—dengan riangnya juga antusias menyambut kedatangan Mario dan langsung berhambur memeluk lelaki itu.
Mario yang juga sangat merindukan anak kecil itu langsung menggendongnya dan menciuminya. “Jagoan Daddy belum bobok rupanya. Lagi main sama Oma, yaa?”
Kaisan mengangguk. “Mau dibeliin pesawat yang gede, Daddy.”
Mario lalu menerbitkan senyumnya dan mencium pipi anak itu dengan gemas. “Udah bilang makasih?”
“Udah, Daddy.”
“Sipp! Tos dulu, dong.”
Kaisan lalu menepuk tangan Mario dan menerbitkan senyum riangnya.
“Ma.” Mario menyapa Cintya yang tengah duduk di samping Rhea.
Cintya lalu mengulas senyumnya. “Baru pulang, Nak? Bagaimana hasilnya?”
“Baik, Ma. Progresnya masih enam bulanan karena gedungnya juga baru selesai sebulan yang lalu. Mungkin di-hold dulu sambil nunggu furniture yang diproduksi Damian selesai.”
Cintya manggut-manggut dengan pelan. “Semoga berhasil dan hasilnya memuaskan ya, Nak. Project pertama kamu, kan?”
Mario mengangguk. “Iya, Ma. Doakan semoga tidak ada halangan dan bisa maju seperti perusahaan Damian.”
“Aamiin. Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.” Ia lalu mengulas senyumnya. “Ya sudah kalau begitu. Mama pamit pulang dulu. Besok, jam sepuluh pagi Mama langsung ke hotel sama Regina juga.”
Cintya lalu pamit dan keluar dari rumah tersebut.
Kini, hanya ada Rhea dan Mario yang ada di ruang tengah karena Kaisan sudah masuk ke dalam kamarnya bersama babysitter-nya.
“Sayang?” panggil Mario kemudian.
“Heeuh?” Rhea mengadahkan wajahnya menatap Mario.
Mario menatapnya dengan lekat. “Itu, yuk?” pintanya lalu menerbitkan cengiran kepada perempuan itu.