Seperti kata-katanya, Angga benar-benar menunggu Hana sampai selesai dengan mata kuliahnya. Angga tersenyum ke arah Hana, saat melihat Hana yang baru saja keluar dari Kampusnya. Angga memang sengaja menunggu Hana tepat di depan kampus mereka.
“Han!” panggil Angga, sedikit berlari ke arah Hana yang sepertinya menghindari Angga.
Hana terpaksa menghentikan langkah kakinya, meskipun malas sekali menghadapi Angga, Hana tau persis gimana seorang Angga jika punya keinginan, harus tercapai.
Hana menghela nafas, melirik Angga dengan tatapan malasnya. “Apa lagi!” ketus Hana.
Angga tersenyum manis, dan sumpah! jika bukan seorang play boy kelas kakap yang senyum, Hana pasti sudah kepincut. Tapi ini lain, si Angga play boy kampus.
Angga menyugar rambutnya, mulai tebar pesona. “Lupa ya … aku nungguin kamu dari tadi lho!” ucap Angga. Mengedipkan matanya lucu.
Hana bergidik, ngeri juga lihat Angga yang seperti itu. “Kamu emang kurang kerjaan!” kesal Hana.
Angga main tarik aja lengan Hana. “Mari Tuan Putri, waktuku milikmu,” ucap Angga. Nggak peduli dengan Hana yang berusaha ngelepas tangannya.
“Ihh … lepasin deh! aku bisa jalan sendiri!” masih saja, Hana berkata ketus kepada Angga.
“Biar kelihatan makin mesra!” goda Angga. Ini cowok emang bener-bener, nggak pantang nyerah, ada aja yang dia lakukan untuk membuat Hana terpesona.
Menit kemudian, mereka berdua sudah sampai di depan mobil sport milik Angga yang terparkir tidak jauh dari tempat itu. Angga yang emang juaranya meranyu cewek, membukakan pintu untuk Hana. Mempersilahkan Hana masuk kedam mobil sportnya. Bagaimanapun caranya, Hana harus bisa menjadi miliknya.
Hana yang sudah masuk ke dalam mobil milik Angga, menoleh ke arah Angga yang sudah duduk di sampingnya. “Kita mau kemana?” tanya Hana penasaran.
Angga menyunggingkan senyumnya. “Ke Puncak!” ucap Angga.
Hana melotot, dia heran aja dengan jawaban Angga yang sesuka hati dia. “Ke Puncak!” ucap Hana heran. Angga mengangguk. “Iya, kita ke Puncak, ada sesuatu yang harus aku omongin. “Hana makin dibuat bingung dengan jawaban Angga.
“Enggak! aku nggak mau.” Hana berusaha membuka kembali pintu mobilnya.
Angga mencegah tangan Hana, malah dengan sangat sengaja, dia memasangkan seat belt pada Hana. Jarak keduanya begitu dekat, tidak dapat dipungkiri, wajah Hana merona. Ini pertama kalinya dia sedekat ini dengan Angga. Yang diam-diam dia kagumi ketampananya.
Angga menoleh, tersenyum, dan ini bener-bener manis banget jika dari jarak sedekat ini, Hana jelas sekali terlihat salah tingkah. “Ayo berangkat!” ajak Angga.
Hana seperti terhipnotis, itu sebabnya dia hanya mengangguk pasrah. “I—iya!” ucap Hana gugup.
Angga membetulkan posisi duduknya. Memasang seat belt untuk dirinya sendiri. Nggak perlu nunggu lama, Angga menjalankan mobilnya ke arah Puncak, menuju Villa milik keluarganya.
***
Puncak
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di tempat yang mereka tuju, di sebuah villa milik keluarga Angga. Seperti biasanya, Angga yang sudah dulu turun dari mobilnya, membukakan pintu untuk Hana, menggandeng tangan Hana, dan berjalan menuju villa.
“Aku nggak mau nginep di sini,” ucap Hana dengan raut wajahnya yang terlihat cemas. Karena dia tau betul siapa Angga, hampir semua cewek dia rayu.
Angga menyunggingkan senyumnya. “Kita akan pulang nanti sore, tapi ada sesuatu yang harus aku bicarakan sama kamu.” Namanya juga Angga, dalam urusan meluluhkan hati wanita, dia jagonya. Dia paling tau apa yang seorang wanita suka.
Hana hanya diam saja, percuma berdebat dengan seorang Angga. “Baiklah, tapi janji. Jangan macam-macam!” ucap Hana.
Angga hanya tersenyum. “Ayo masuk!” ajak Angga.
Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah sampai di dalam sebuah Vila yang sepertinya sudah Angga persiapkan sebelumnya untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Hana yang bingung, menoleh ke arah Angga.
“Inia pa, Ngga?” tanya Hana dengan ekspresi bingungnya.
Angga menarik tangan Hana, mengajak Hana untuk duduk di sebuah kursi yang sudah dia persiapkan sebelumnya. “Ini sengaja aku persiapkan untuk kamu,” ucap Angga.
“Maaf, Ngga. Aku nggak akan terjebak dengan playboy seperti kamu,” ucap Hana.
“Jadi, kamu anggap ini semua lelucon? Termasuk perasaan tulus aku, kamu tega Han.” Angga memang paling bisa berakting di depan wanita seperti Hana.
“Tolong, Ngga. Kalau kamu hanya cari mainan, cari yang lain, jangan aku!” Hana menepis tangan Angga, berusaha pergi dari tempat itu.
Tapi namanya Angga, pantang baginya untuk menyerah. Apalagi ini mengenai harga dirinya sebagai seorang pria. Pantang baginya kalah dari Panji. Angga kembali menarik lengan Hana. “Lihat aku, Han. Aku sudah jatuh cinta padamu dari dulu. Aku benar-benar sangat mengagumimu, hingga aku nekat untuk hari ini,” ucap Angga, mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Hana.
Hana refleks mendorong tubuh kekar Angga. “Enggak! jangan coba menipuku!” seru Hana.
Angga tersenyum lembut, dan jujur … itu membuat hati Hana sedikit bergetar. “Apa kamu pikir, aku serendah itu? gampang sekali kamu mengecap seseorang tanpa tau fakta yang sebenarnya. Bahkan ketika aku hanya memintamu untuk sebuah makan siang biasa, kamu menolaknya. Tega kamu Han, tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepadaku.” Kembali Angga pura-pura memasang wajah sedihnya.
Hana yang memang berhati lembut dan baik, merasa bersalah dengan ucapan Angga. “A—aku tidak bermaksud seperti itu, Ngga. Aku hanya ingin menjalin hubungan yang serius,” ucap Hana.
Angga kembali mendekat. “Hanya untuk makan siang yang sudah aku siapkan, aku akan menunggu sampai kamu membuka hatimu untukku, tolong jangan tolak. Aku sudah mempersiapak semua ini hanya untuk kamu,” ucap Angga.
Hana terdiam sejenak, mungkin hanya dengan makan siang, itu tidak masalah. Itulah yang Hana pikirkan saat ini. “Emm … baiklah.” Akhirnya Hana menyetujui permintaan Angga.
Jika bukan di depan Hana, mungkin Angga sudah melompat girang, karena tanpa Hana sadari … ini sebuah jebakan yang sudah Angga persiapkan sejak tadi malam.
“Oke, mari duduk.” Angga menarik sebuah kursi untuk Hana duduk. Setelahnya, dia duduk di depan Hana.
“Baiklah, diawali dengan segelas wine.” Angga membuka sebuah botol wine, menuangkannya pada gelas miliknya dan juga gelas milik Hana.
“Maaf, Ngga. Aku tidak minum,” tolak Hana.
Angga kembali menebar senyum manisnya. “Hanya segelas, sebagia awal kedekatan kita,” bujuk Angga.
Meskipun merasa berat, Hana meminumnya juga. Hana terbatuk saat pertama kalinya dia mengecap minuman yang memabukkan itu. Dia benar-benar tidak bisa menenggak minuman keras. Angga diam-diam menyunggingkan senyumnya, seolah mengejek Hana yang terlihat sangat kampungan di depan seorang Angga.
“Maaf, toilet sebelah mana?” tanya Hana tiba-tiba.
Wajah Angga berubah girang seketika, ternyata tidak butuh waktu lama untuk menjalankan rencananya. “Toilet di sebelah sana.” Angga menunjuk letak sebuah toilet.
Hana yang sudah tidak bisa menahan rasa aneh di tenggorokannya, bergegas menuju sebuah toilet yang Angga tunjukkan untuknya. Angga menyunggingkan senyumnya, tanpa berpikir dua kali, Angga mengambil sebuah bungkusan kertas kecil yang dia selipkan di balik saku bajunya, membuka bungkusan itu, yang ternyata berisi sebuah bubuk tabur, yang pastinya akan membuat Hana jatuh ke dalam pelukkannya.
Angga menaburkannya pada minuman jus yang memang sudah tersedia di meja itu, mengaduknya pelan hanya dengan jari tangannya yang panjang. Angga kembali bersikap seolah tidak melakukan sebuah kejahatan. Kali ini, dia pasti akan memenangkan taruhan itu.
Menit kemudian, Hana sudah kembali dari toilet. Hana berjalan menuju tempat duduknya, dan sialnya lagi. Hana langsung menenggak segelas jus jeruk yang sudah tersedia di meja. Angga diam-diam menyunggingkan senyumnya.
“Maaf, aku tidak bisa menenggak minuman keras jenis apapun,” ucap Hana.
“Tidak masalah,” ucap Angga.
Tiba-tiba saja, Hana merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ini pertama kalinya Hana merasakan sensasi aneh seperti ini, nafasnya mulai turun naik tak beraturan, sekujur tubuhnya panas. Angga yang paham jika obat yang dia campur ke dalam minuman Hana mulai bereaksi. Sengaja berdiri, berjalan mendekati Hana.
“Kamu kenapa?” Bahkan Angga yang kurang ajar, sengaja menyentuh titik sensitive pada tubuh Hana.
Wajah Hana memerah, dia tidak bisa lagi menahan gejolak itu. “Tubuhku panas, Ngga. Rasanya aneh,” ucap Hana polos.
Angga tersenyum, dan sumpah. Itu terlihat sexi sekali di mata seorang Hana. “Kamu hanya butuh istirahat, Sayang …” Angga sengaja berbisik di dekat telinga Hana.
“Tolong aku, Ngga. Aku nggak kuat lagi.” Hana benar-benar lepas kendali, gejolak itu begitu besar.
Angga yang ikut panas dengan reaksi Hana, sengaja meraih botol wine, menenggak minuman itu, meletakkan kembali di meja. Tanpa rasa canggung sedikitpun, Angga mulai menciumi setiap inci tubuh Hana.
“Panas, Ngga. Rasanya panas sekalin …” lirih Hana yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
Angga yang juga dalam pengaruh minuman keras, membobong tubuh Hana, membawa Hana ke sebuah kamar tamu yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka duduk.
***
Hana perlahan membuka matanya, memijit kepalanya yang terasa sakit. Sekujur tubuhnya serasa remuk, dia berusaha mengingat semuanya, tapi dia hanya ingat saat Angga memberikannya minuman keras. Hana terbelalak, wajahnya berubah cemas.
“Angga!” seru Hana. Berusaha bangkit, tapi lagi-lagi … ada yang terasa nyeri di bawah sana. Hana menyingkap selimut yang dari tadi menyelimuti tubuhnya. Dia benar-benar terkejut saat mendapati dirinya dalam keadaan tanpa busana sehelaipun.
Hana terisak, dia baru menyadari, jika sesuatu yang sangat berharga baru saja hilang dari dirinya. “Apakah ini perbuatan Angga ...” gumam Hana. Merapatkan kembali selimutnya, berusaha mencari keberadaan Angga, tapi hasilnya nihil, Angga tidak berada di kamar itu. Hanya selembar kertas yang ada di samping tempat tidurnya.
Hana buru-buru meraih sebuah kertas yang berisi tulisan, dia langsung membaca tulisan itu, yang ternyata dari Angga.
Hallo, Sayang … kamu benar-benar hebat. Maaf, aku kembali ke Jakarta duluan. Di depan ada sebuah taxi yang menunggumu, taxi itu akan mengantarmu ke Jakarta.
Hana meremas kertas yang dia yakin itu adalah tulisan Angga. Hatinya begitu hancur, kenapa dia harus menuruti ajakan seorang Angga. Hana kembali terisak, dia tidak tau apa yang harus dia lakukan, bagaimana jika sesuatu terjadi dengannya, apa Angga akan bertanggung jawab?
“Aaa!!” Hana menjerit frustasi, dia berusaha berdiri, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai.
“Angga sialan! kenapa aku harus percaya dengannya!” ucap Hana dengan emosi yang meluap. Hana memakai kembali pakaiannya, tidak ada waktu lagi. Dia akan menemui Angga untuk menjelaskan semuanya. Dengan langkah kaki tertatih, Hana berjalan keluar kamar itu, dia harus secepatnya sampai ke Jakarta.
***
Jakarta
Di sinilah Angga berada, di sebuah arena balap liar. Setelah tadi dia terbangun, dia meninggalkan Hana begitu saja, karena tujuannya sudah tercapai. Bahkan dengan sangat sengaja, Angga sempat merekam moment saat dia memeluk Hana dalam keadaan tanpa busana.
Angga sengaja datang ke tempat itu untuk menemui Panji dan teman-temannya. Erik yang tadi dia hubungi, sudah menunggunya di tempat itu. Angga keluar dari mobil sportnya, berjalan menghampiri Erik.
“Mana Panji?” tanya Angga.
Erik menoleh ke arah Angga yang sudah berdiri di sampingnya. “Lo kenapa pengen nemuin Panji, jangan bilang lo sudah menyelesaikan taruhan itu,” ucap Erik curiga.
Angga merangkul bahu Erik, tersenyum penuh misteri. “Menurut lo!” ucap Angga dengan wajah sumringah.
“Lo … bagaiman bisa?” tanya Erik makin penasaran.
Angga tersenyum bangga. “Tidak ada yang tidak mungkin buat gue, termasuk meniduri Hana …”
Erik terbelalak. “Maksud lo!”