Lewat pukul sepuluh malam saat sedan Om Ari rapih terparkir. Om Ari sudah turun lebih dulu dan masuk ke dalam rumah melalui pintu yang mengantarai garasi dan pool area kediamannya. Katanya sih mau manggil Reina.
Audio mobil gue nonaktifkan, begitupun penyejuk udara. Selanjutnya, mesin mobil gue matikan lalu gue pun meninggalkan balik kemudi. Sekarang, tinggal nunggu Reina untuk nyerahin kunci yang gue genggam.
“Mas Rio,” tegur Reina dari balik punggung gue.
Gue menoleh dan sontak terkekeh. Kaca matanya itu lho, kenapa sih kalau pakai kaca mata harus nangkring di cuping hidung gitu?
“Jangan ketawa!” ketus Reina kemudian.
Gue masih aja ngekek. Kedua tangan gue ulurkan, menangkup wajahnya, menekan gemas. Gue lalu menariknya mendekat, memeluk erat. Reina pun tak ragu membalas dengan pelukan yang sama eratnya. Nyaman banget rasanya.
“Ada kabar baik nih kayaknya,” ujar Reina lagi.
“Semua jadi baik kalau ada kamu,” balas gue. “Sudah malam, Rei.”
“Setengah jam, Mas.”
“Untuk?”
“Kata Papi boleh ngobrol. Tapi ngga boleh lebih.”
“Lebih apa nih? Lebih dari setengah jam atau lebih dari ngobrol?”
“Oh iya ya?”
Gue ketawa lagi. Pasti Reina pikirannya lurus aja, ngga boleh lebih dari 30-menit. Gue aja yang pikirannya gesrek, pengennya lebih dari ngobrol.
‘Tahan, Yo! Jangan bikin masalah!’
Pelukan kami mengurai, gue masih tersenyum menatapnya.
“Mas Rio jangan senyum!”
“Kenapa sih?”
Gue jelek banget apa kalau senyum?
“Kita duduk di pinggir kolam renang aja yuk Mas?” ujar Reina kemudian.
Gue mengangguk. Reina menautkan jemari kami, menarik gue melewati pintu yang tadi dilewati Om Ari, membawa kami menapak di deck yang mengitari kolam renang.
‘MashaaAllah, keren amat!’
Di dasar pool terdapat lampu-lampu yang menyala, ada yang ukurannya besar, ada yang kecil. Sementara itu, deck kayu bercahayakan lilin-lilin elektrik yang dipasang dalam jarak-jarak tertentu – di sisi yang tidak berbatasan langsung dengan kolam renang. Lalu tepat di seberang gue, membentang vertical garden berhiaskan lampu hias mini yang kelap-kelip menyala bergantian, laksana sekelompok kunang-kunang yang tengah memamerkan keindahannya.
“Kerjaan Bumi itu, Mas,” ujar Reina yang juga menikmati keindahan permainan lighting di seberang sana.
“Keren!”
“Tadi pagi dia ke sini, katanya ada sisa fairy lights, terus dia keingetan sama vertical garden itu. Entah gimana masangnya, Reina juga ngga merhatiin. Tapi pas gelap tadi, Mami sampai video call Bumi, nyaris nangis sangkin sukanya.”
“Tangannya Bumi ajaib,” ujar gue.
“Iya, Mas. Sama kayak tangannya Ayah dan Bunda.” Ayah Bunda itu panggilan Reina ke Om Edo dan Tante Hana. Mereka emang gitu, ngga ada yang menyematkan panggilan Om dan Tante ke paman dan bibi mereka. “Apa aja yang mereka sentuh pasti jadi bagus. Mas belum pernah ya lihat rumah mereka?” lanjut Reina.
“Belum, Rei. Kalau udah masuk jadinya malas pulang ya?”
“Iya,” kekeh Reina. “Kayak masuk galeri seni, Mas. Dinding-dindingnya full wall mural, banyak lukisannya Om Edo dan tiga bujangan. Udah gitu Bunda natanya apik, dibantu Papa Ga juga yang perfectionist dalam urusan desain termasuk nata interior.”
Reina lalu duduk lebih dulu tepat di tepi kolam, sementara gue membuka jaket dan menyampirkan di pundaknya sebelum merapatkan diri dengan duduk di sampingnya.
Reina mengendus-endus jaket gue seolah aromanya adalah wangi favoritnya. Lucu banget kan? Melihat dia gemesin begitu mana mungkin gue ngga senyum? Sambil terkekeh, gue melinting celana jeans gue satu persatu. Sesekali gue menoleh menatapnya, lalu tergelak lagi.
Sampai ….
‘Cup!’
Sumpah! Itu ngga sengaja!
“Mas Rio …” gumamnya dengan nada merajuk.
‘Duh Rei, jangan marah dong.’ Panik kan jadinya gue.
“Reina mau cium pipi Mas doang. Mas ngapain nengok sih!”
“Apa Rei?”
“Kan Reina udah bilang, jangan senyum mulu!”
Yang ada … gue malah tergelak lagi. Duh, ada-ada aja cewek gue. “Ngga dihitung deh,” ujar gue setelah puas ketawa.
“Apa yang ngga dihitung?”
“Ciuman barusan. Kan nempel doang, ngga sengaja juga kan?”
“Mas ngga deg-degan ya?”
“Rei … lihat kamu aja, jantung Mas udah jumpalitan! Apalagi kayak tadi.”
Kejadian kedua yang tak terduga adalah saat Reina melekatkan telinganya ke d**a gue, memastikan gue berdusta atau jujur. Yang ada, napas gue jadi Senin Kamis, perut gue ngilu, dan sebagian diri gue mendesak di bawah sana. Sumpah, bahaya banget emang umur 33-tahun masih belum nikah!
Sangkin groginya, salah satu kaki gue meluncur bebas ke kolam renang, menyentak permukaan air hingga memercik ke wajah dan tubuh kami berdua. Herannya, kali ini Reina yang tergelak. Mana ketawanya senang banget coba!
“Kamu tuh, Rei! Ngga bisa ya bikin aku ngga grogi?” sambat gue seraya memberengut manja sementara gue menyeka wajahnya yang terkena percikan air tadi.
“Reina sayang banget sama Mas Rio.”
Beku!
Cuma iris mata gue yang perlahan bergerak mempertemukan titik pandang dengan manik matanya yang selalu nampak indah.
Gue rasa, inilah saatnya!
“Rei?”
“Kenapa Mas?”
“Kalau kita akad nikah di Amsterdam, Reina mau ngga?”
***
Mas Rio sudah pulang, Bisma menjemputnya tadi. Bisma dan Ara itu orang yang sama, hanya kami memanggilnya dengan nick name berbeda.
Tangan kiriku mengulur. Aku terus saja tersenyum, menatap sebuah cincin yang melingkar di jari manis. Dan lagi-lagi, ingatanku melayang ke beberapa saat yang lalu.
“Maksud Mas Rio?”
“Marry me, Rei. Will you?”
Aku terkekeh. Aku tau pasti Mas Rio tidak menginginkan hubungan yang gamang. Tapi, dilamar secepat ini, sungguh di luar prediksiku. Aku pikir, Mas Rio akan memintaku menunggunya hingga kontrak kerjanya di Amsterdam selesai. Baru kemudian menyiapkan pernikahan kami.
“Rei? Answer me, please. I love you.”
Jika tadi ciuman kami tak dihitung, kini aku melakukannya dengan sengaja. Aku yang lebih dulu mempertemukan bibir kami, mengecupnya singkat meski tak terburu-buru. Mas Rio, diam saja, bahkan sepertinya ia lupa bernapas. Ia baru menghempaskan udara dari paru-parunya setelah aku menarik diri.
“Bisa gawat kalau ketauan Papi. Nanti aku batal jadi mantu, Rei!” sambat Mas Rio kemudian seraya menyentuh bibirnya. Raut wajahnya sungguh bertolak belakang.
Aku malah tergelak. “Tapi yang barusan dihitung kan?”
Mas Rio mengangguk, kedua tangannya menangkup wajahku lembut lalu mengecup keningku sebelum kembali menatapku sambil tersenyum. Oh iya, tadi aku mendengar detak jantungnya, dan degupnya cepat sekali. Anehnya, aku sangat menyukai irama itu.
“Mas ih, jangan senyum mulu dong.”
“Kenapa sih? Masa Mas ngga boleh senyum?”
“Reina gemas, manis banget abisnya! Kan jadi pengen nyosor mulu!”
“Hush!” kekehnya. “Jadi gimana Rei? Will you marry me?”
“I will, Mas Rio.”
Mas Rio lalu membuka kalung tali yang melingkar di lehernya. Aku bahkan baru sadar jika ia memakai kalung. Dan yang membuatku tercengang adalah sepasang cincin yang menjadi liontin.
Cincin dengan lingkar yang lebih kecil Mas Rio pasangkan di jari manisku, sementara aku masih shock menatapnya.
“Pas, Rei. Alhamdulillah,” ujarnya. “Ini bentuknya V karena nanti bisa nyatu sama cincin kawin.”
Titik pandangku akhirnya turun perlahan, menatap benda mungil yang tersemat di sana.
“Suka ngga, Rei?”
Aku tak menjawab dengan kata, hanya mengangguk sembari tersenyum dan mengusap cincinku.
"Mas sayang banget sama kamu, Rei,” ujarnya kemudian, membuatku mengangkat pandangan.
Ia lalu menangkup wajahku lagi, mengusap air mata haru yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya.
“Mas sudah sampai pesan cincin ya?”
“Sudah kamu pakai lebih tepatnya.”
“Cincin nikahnya juga?”
“Hmm,” gumamnya seraya mengangguk. “Ngga suka ya?” Ada nada getir yang berusaha ia sembunyikan. Dan itu mengingatkanku akan ucapan Nina beberapa waktu lalu; Mas Rio punya kotak kecil, kalau pas jalan dan dia nemuin sesuatu yang lucu buat lo, pasti dia beli. Tapi, dia ngga berani ngasih lo, Rei. Takut lo ngga suka barang-barang kayak gitu. Paham kan lo maksud gue?
“Suka, Mas. Reina ngga nyangka aja Mas Rio udah nyiapin.”
“Kalau nanti kamu ngga sreg sama pilihan aku, habis nikah kita pesan atau beli cincin lagi sesuai kemauan kamu. Oke?”
“Ngga mungkin Reina ngga suka. Reina pasti suka! Apa pun yang Mas Rio pilihin buat Reina, pasti Reina suka,” sanggahku. Itu bukan omong kosong, sungguh! Satu, cincin ini begitu indah. Meski sederhana, namun detailnya mencuri hatiku. Dua, membayangkan ada satu cincin lagi yang akan menyatu dengan cincin ini, pasti semakin indah bukan?
“Terus, soal nikah di Amsterdam gimana Rei?” tanya Mas Rio lagi. Kembali ke soal pelaksanaan moment sakral kami nanti. “Akadnya dulu pun ngga apa-apa. Resepsinya setelah aku balik ke sini atau nanti di kuartal akhir, aku bisa ngabisin cuti.”
“Mas sudah bilang Papi?” Aku balik bertanya. Mas Rio belum menceritakan apapun tentang ‘kencannya’ tadi dengan Papi kan?
“Sudah,” jawab Mas Rio.
“Kok bilang Papi dulu baru ngelamar Reina?”
“Emang kenapa?”
“Kebalik Mas ih!” ketusku, merajuk.
“Emang ada SOP resminya?”
Aku berdecak. Konyol saja rasanya membayangkan Mas Rio melamarku lebih dulu ke Papi sementara ia belum membicarakan persoalan ini denganku. Kenapa jadi sebelas-dua belas sama Dilan sih?
“Mas kan ngga cerita mau ngomong apa aja sama Papi,” rungutku lagi.
“Maaf, ya humaira. Mas ngga tau kalau harusnya ngelamar Reina secara pribadi dulu. Yang akan menikahkan Reina kan Om Ari. Jadi, Mas pikir boleh langsung bypass!”
Aku gemas, lengannya yang kekar kucubit kencang. Bukannya meringis, Mas Rio malah tergelak. Ya Tuhan, kenapa manis sekali senyumnya. Bayangkan, aku akan menghabiskan sisa umurku dengan senyuman itu!
“Papi bilang apa, Mas?” tanyaku kemudian.
“Selama kamu dan Tante Nisa setuju, Om ngga masalah. Om malah kepinginnya jangan nunda-nunda.”
“Berarti tinggal nanya Mami ya?”
“Iya. Besok aku ke sini lagi, Rei. Atau ke klinik deh, ketemu mami kamu.”
“Boleh, Mas. Reina juga masih cuti sampai Rabu, mau antar Mas Rio ke bandara dulu.”
Mas Rio mengangguk. Ia lalu menurunkan satu kakinya lagi ke dalam kolam renang dan kepalanya ia rebahkan di bahuku. Aku meraih kalung Mas Rio dari genggamannya, mengambil cincin yang masih menggantung di sana, memindahkannya ke jari manis pria yang hatiku pilih sejak sembilan tahun lalu.
“Mas capek ya?”
“Ngga. Kepingin aja manja ke kamu.”
Tanganku mengusap pipinya. Mas Rio diam saja, justru menangkup tanganku agar tak berhenti memanjakannya.
“Kapan kita menikah, Mas?”
“Anytime, Rei. Kapan pun kamu siap, aku tunggu di Amsterdam.”
“Yakin anytime?”
“Mmm … jangan lama-lama. Kasian sama aku.”
“Kasian kenapa?” tanyaku seraya terkekeh.
“Nanti aku sakit, ya humaira.”
“Sakit apa?”
“Sakit kangen! Sangkin kangennya sama kamu.”
Aku tertawa lagi.
“Ya Rei?”
“Iya, Mas. Setelah Mas ngomong sama Mami. Kita. Rei rembukan sama Mami Papi kapan baiknya. Nanti sambil video call sama Mas aja ya?”
“Oke.”
Hening sesaat. Ia lalu menggesekkan surainya di wajahku, membuatku tergelak kembali.
“Rei?”
“Apa Mas Rio?”
“Mau aku kasih tau rahasia?”
“Mau dong. Apa tuh?”
"You stole my first kiss."
“HAH?” Aku memekik seraya memutar tubuhku. Membuat Mas Rio nyaris terhenyak ke belakang. Konyolnya, ia malah mencengir kemudian tertawa renyah. “Ih! Bohong! Bisa-bisanya ngeboongin Reina,” ketusku. Kesal.
“Kok bohong?”
“Mas tuh pacaran lima tahun ya sama Puri! Mana mungkin Mas ngga pernah ciuman sama dia?”
“Ini rahasia kedua.”
Aku mendengus, memalingkan wajah dengan memberi tatapan sinis padanya. Bisa-bisanya membahas mantan!
“Gimana bisa aku nyium cewek yang membuat aku selalu berpikir kalau aku ngga pantas buat dia? Kalau level kami berbeda? Kalau aku terlalu lusuh untuk dunianya yang gemerlap?”
Aku menganga sesaat sebelum menggeleng cepat untuk mengembalikan kewarasanku. “Mas Rio ngga begitu buat Reina. Reina ngga pernah mikir Mas dan Nina punya level yang berbeda dengan Reina. Reina memilih Mas Rio. Ngga ada alasan khusus kenapa harus Mas Rio. Itu terjadi begitu aja. I’m in love with you.”
Aku ... paham sepenuhnya apa yang menjadi ketakutan terbesar Mas Rio.
Tanpa kuduga, jarak di antara kami tiba-tiba nihil. Bibir kami bertemu lagi. Singkat. Terburu-buru lebih tepatnya, persis seperti maling. Bedanya, maling yang satu ini membuatku ingin terus bersamanya.
"Did I also steal yours?"
Lagi-lagi aku tertawa.
“Yes, you did, Mas Rio.”