Nina memijat daun telinga gue dengan gerakan persis saat wudhu. Lirihan doa dan sholawat terdengar halus bak bisikan yang hilang timbul. Tak ia hentikan terapi tersebut hingga gue mengangkat kelopak mata. Dulu ... Mama yang selalu melakukan ini setiap kali gue sakit. Sepeninggal beliau, Nina yang menjadi terapis. “Better, Mas?” “Hmm.” “Tunggu ya, gue ambilin obat.” “Tapi gue udah disuntik, Dek. Ini kapasnya masih nempel.” “Kata Papi ngga apa-apa. Udah jauh juga jaraknya sama injeksi semalam.” Gue ngga membantah. Nina beranjak menyambangi kotak obat yang menempel di dinding tepat di bawah tangga. Tak butuh waktu lama, ia kembali dengan sebuah botol kecil berisi obat andalan saat penyakit stress gue ini tengah kumat. “Sorry ya, Mas,” lirihnya kemudian. “Hmm,” gumam gue seraya