Ziya ke luar dari mobil yang mengantarnya ke kampus.
Ziya bisa merasakan orang-orang yang memandangnya sambil berbisik-bisik.
'Ini pasti efek kata- kata Bang Ezar kemaren,' batinnya
Tampak Dian berjalan ke arahnya
"Zi, sejak kemarin, seantero kampus gempar. Katanya, kemarin Pak Abizar mengakui kamu sebagai pacarnya di depan Biyan, dan teman-temannya. Apa benar itu, Zi?" Tanya Dian dengan sangat antusias.
Ziya menganggukkan kepala.
"Aduuhh ... menyesal aku pulang duluan kemarin," sesal Dian sambil menggoyangkan lengan Ziya.
"Biasa saja, Dian, nggak usah seheboh ini!" gerutu Ziya.
"Ini bukan berita biasa, ini berita super istimewa. Aku bertahun-tahun kuliah di sini, belum pernah melihat Pak Ezar dekat dengan cewek kampus ini, Zi. Eh, kamu baru beberp hari, bahkan baru ketemu sehari kemarin, sudah diakui sebagai pacarnya. Eeh, kamu memang benar pacarnya? Kamu su dah lama kenal ya? Di mana ketemunya, di Turki?" Dian masih bicara panjang lebar.
"Hhhh ... satu-satu kalau bertanya, Di. Pusingkan aku jawabnya. Ayo kita ke dalam." Ziya menarik tangan Dian untuk masuk ke dalam ruang belajar mereka.
"Aku tidak menyangka, ternyata Pak Ezar yang kalem, seleranya cewek putih pucat, dan berambut merah," celutuk seorang mahasiswi pada teman-temannya, dengan nada sinis saat melihat Ziya.
Dian ingin melabrak mereka, tapi ditahan oleh Ziya.
"Biar saja, jangan mencari masalah. Takut nanti efeknya ke Bang Ezar. Bisa gawat, kalau sampai kemana-mana masalah ini."
"Whattt? Bang Ezar!? Ya ampun, Zi, so sweetnyaaaa!" teriak Dian, mengagetkan semua orang di dalam ruangan itu. Semua orang di sana menatap mereka, hal itu membuat wajah Ziya merah padam.
Dicubitnya Dian
"Jangan bikin malu aku, Di, please," pinta Ziya.
Ziya akhirnya menceritakan pada Dian, kalau dirinya, dan Abizar sudah kenal sejak kecil, tapi Ziya tidak mengatakan, kalau mereka ada hubungan keluarga yang cukup dekat.
*****
Abizar memarkir mobilnya di parkiran kampus. Ia melihat Ziya ke luar dari kampus. Abizar yang tidak ada jadwal mengajar hari ini, ke luar dari mobilnya. Tanpa melepas topi, dan kaca mata hitam yang dikenakan, Anizar mendekati Ziya.
Kehadiran Abizar tentu menjadi pusat perhatian orang yang ada di sana.
"Bang Ezar!?" Ziya sangat terkejut melihat Abizar yang sudah berdiri di hadapannya.
"Aku sudah bicara ke Oma, aku yang akan menjemput kamu, Zi." Suara Abizar cukup membuat sekitar bisa mendengar ucapannya. Ziya mematung, tak menduga akan dijemput Abizar.
"Maaf, saya bawa Ziya. Duluan ya." Abizar tersenyum pada Dian.
Tangannya menggenggam jenari tangan Ziya, lalu ditarik pelan untuk menuju mobilnya.
Dian hanya melongo melihat senyum Abizar.
Ziya, dan Abizar sudah duduk di dalam mobil.
"Karena ucapan abang kemarin, aku jadi bahan gosip hari ini!" Ziya menatap Abizar dengan perasaan kesal di dalam hati.
"Oh ya?"
"Iya! Mereka berkata, tidak disangka ya, Pak Abizar yang kalem, sukanya sama gadis putih pucat, rambut merah. Memangnya salah aku kalau aku begini? Memangnya aku yang minta dilahirkan punya rambut merah, kulit putih pucat begini?" Suara Ziya bergetar menahan tangis. Sejak tadi ia menyimpan saja rasa kesalnya, karena Ziya sadar, Abizar yang menyebabkan semua ini terjadi padanya.
"Oh ya?"
"Iiih ... dari tadi oh ya terus! Abang harus tanggung jawab!" Ziya semakin kesal pada Abizar.
"Tanggung jawab bagaimana maksudmu? Apa aku harus menikahi kamu?" Abizar menoleh sesaat pada Ziya. Pertanyaan Abizar membuat Ziya semakin marah saja.
"Iih apa sih! Abang harus klarifikasi kalau kita itu bukan pacar, tapi saudara sepupu!" seru Ziya gusar.
"Bukannya dulu kamu sangat ingin menjadi pacarku?"
"Itu dulu, sekarang tidak!" Kadar kesal Ziya pada Abizar semakin meningkat.
"Kenapa?" Sekali lagi Abizar menolehkan kepala, untuk melihat ekspresi wajah Ziya.
"Punya pacar kaku seperti Abang apa enaknya!?"
"Hmmm ... nanti juga tahu apa enaknya," jawab Abizar dengan nada sangat santai, tidak terpengaruh oleh rasa kesal yang ditunjukkan Ziya.
Mata Ziya melotot.
"Apa maksud ucapan abang?"
Abizar tidak menjawab pertanyaan Ziya, ia hanya tersenyum saja.
Ziya yang merasa semakin kesal, melempar pandangan keluar jendela di sampingnya.
Ziya baru menyadari yang mereka lalui bukan jalan pulang ke rumah omanya.
"Kita mau ke mana?" tanya ziya panik
"Ke rumahku," jawab Abizar pendek
"Untuk apa?"
"Bundaku ingin bertemu kamu."
"Oh ...."
Ziya tidak bertanya lagi.
Tiba dirumah orang tua Abizar.
"Assalamuallaikum." Abizar, dan Ziya mengucap salam berbarengan.
Abizar menarik tangan Ziya, dibawa Ziya ke ruang makan.
"Waalaikum salam. Aah, Ziya, kamu semakin cantik saja, Sayang." Arini memeluk, dan mencium pipi Ziya.
"Terima kasih, Tante. Selamat siang Om. Apa kabar Om, dan Tante?" Ziya mencium punggung tangan Abi.
"Baik, baik ... ayo kita langsung makan saja. Ngobrolnya sambil makan," kata Abi.
Abizar, dan Ziya duduk di kursi makan. Arini yang melayani makan mereka. Ziya menyuap pelan makanan di piringnya.
"Andai Ziya, dan Bang Ezar tidak saudara, pasti kalian sudah Tante nikahkan," kata Arini, membuat Ziya tersedak. Sedang Abizar hanya diam saja.
"Yang, jangan membuat Ziya malu." Abi mengingatkan Arini. Arini tertawa pelan.
"Cuma mengatakan isi hati, Saay," sahut Arini, sambil melirik manja ke arah Abi. Ziya jadi salah tingkah, sedang Abizar hanya diam saja dengan sikap manja bundanya pada ayahnya.
*****
Selesa makan siang, dan salat dzuhur. Abi, dan Arini pamit pergi, untuk mengunjungi teman Abi di rumah sakit. Tinggal Ziya, dan Abizar berdua
duduk di teras samping. Mereka duduk menghadap kolam renang.
Abizar memegang majalah bisnis di tangannya. Ziya duduk bersila di sofa.
Ada semangkok kecil salad buah ditangannya.
"Ka Dilla apa kabar, Bang?" Tanya Ziya.
"Baik," jawab Abizar singkat.
"Anaknya kembar ya?"
"Iya." Abizar menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari majalah di tangannya.
"Kak Dilla, suah lama tidak pulang ke Indonesi ya?"
"Iya."
Ziya berdiri, ia meletakkan mangkok salad buah yang belum habis di atas meja.
"Aku pulang saja!"
Abizar meletakan majalah di atas meja
"Ada apa?" Abizar mengerutkan kening, ia menatap bingung ke arah Ziya yang terlihat kesal.
"Bisa tidak kalau menjawab pertanyaan orang itu panjang sedikit, Bang! Kalau jawabnya seperti tadi, orang akan merasa tidak dihargai!" kata ziya sengit.
Abizar menggaruk kepalanya.
'Kalau bisa dijawab pendek, buat apa panjang,' pikir Abizar.
Drrtt ....
Drrttt ....
Ponsel Abizar berbunyi. Abizar mengambil ponsel dari atas meja.
"Melissa," gumamnya.
Abizar melangkah menjauhi Ziya.
"Tunggu sebentar, nanti kuantar pulang," katanya pada Ziya, sebelum menerima panggilan telepon.
Ziya menatap Abizar yang asik menelepon.
Raut muka Abizar yang datar, membuat Ziya, tidak bisa membaca apa yang ada dipikiran Abizar saat ini. Abizar mengakhiri pembicaraan di telepon. Ia berjalan ke arah Ziya
"Ayo aku antar pulang."
*****
Tiba dirumah Oma Arnita.
Rumah sepi sekali, kata bibi semua orang sedang pergi.
Di teras rumah, Abizar, dan Ziya berdiri berhadapan.
"Sampaikan salam buat Oma, dan orang tuamu. Aku gak bisa lama-lama di sini," kata Abizar.
Abizar mendekatkan mulutnya ke kuping Ziya dengan tiba-tiba.
"Aku pulang dulu ya, kekasihku," bisik Abizar, membuat wajah Ziya memerah.
"Abang! Aku mau besok Abang harus klarifikasi, kalau hubungan kita itu saudara sepupu, bukan pacar!" Suara Ziya sengit.
"Sandiwara baru dimulai, terlalu cepat untuk diakhiri. Aku pulang, Assalamualaikum," pamit Abizar.
"Waalaikum salam."
Ziya menatap punggung Abizar, ia berusaha mencerna ucapan Abizar tentang sandiwara tadi.
"Apa maksudnya? Apa tujuannya? Huh! Menyebalkan!"
***Bersambung***
100 komen untuk next part.
No spam.
No komen next, lanjut, satu kata, atau cuma emot.