"Permisi Pak Arayan."
"Iya, ada apa?"
Aku menghampiri Pak Ayang yang sedang mengerjakan tesis di perpustakaan. Harusnya hari ini aku bimbingan sesuai permintaan Pak Yafiq. Namun, beliau mendadak sakit dan tidak bisa ke kampus. "Saya ingin mengumpulkan proposal skripsi."
"Duduk," ucapnya tanpa mau melihat calon makmum Sholehot nya.
"Di sini, Pak?" tunjuk ku pada kursi di depannya.
"Hmmmm."
Senyumku mengembang setelah duduk di depan Pak Arayan. Meski wajahnya tak ada ramah-ramah nya sama sekali tak masalah bagiku. Yang paling penting bisa memandangnya secara langsung.
"Mana?"
"Apanya, Pak?"
Pak Arayan terlihat menghela nafas saat aku tak mengerti yang ditanyakan nya. "Kamu kesini mau apa?"
Saking gugupnya otakku tiba-tiba ngelag. Aku sampai lupa tujuanku mencarinya. "Eh, iya. Maaf, Pak."
Aku bergegas mengambil proposal ku dari dalam tas. Setelah itu, memberikan pada Pak Arayan.
Dia kembali memakai kacamata baca untuk memeriksa revisi ku. Ketampanannya meningkat ribuan persen ketika mode serius. Jika tidak sedang di kampus sudah aku goda sejak tadi.
Selesai membaca dia mulai mencoret-coret lembar demi lembar proposal ku yang tak kunjung ACC. Perasaanku mulai tidak enak saat wajahnya berubah datar. Tanda-tanda aku akan mendapatkan omelan pedas. Pak Yafiq dan Pak Arayan itu adik Kakak. Mereka berdua terkenal serius dan galak.
"Sudah berapa kali kamu bimbingan sama Pak Yafiq?"
"Dari mulai judul lebih dari 13 kali." Aku langsung membuka kartu bimbingan untuk memastikannya. "Ternyata sudah 16 kali, Pak."
"Sebenarnya kamu niat skripsi apa tidak?"
Degh ...
Jantungku langsung berdetak cepat mendengar pertanyaan frontal dari Pak Ayang. Ternyata, ucapannya lebih pedas dari sang kakak.
"Pastinya niat, Pak. Buktinya saya rajin bimbingan."
"Kenapa revisi terus? Kamu tidak mendengarkan jika dijelaskan sama Pak Yafiq?"
Kedua tanganku saling bertaut di atas meja. Aku juga bingung kenapa sampai sekarang belum bisa seminar proposal. Setiap kali bimbingan selalu saja banyak coretan merah.
"Ya, nggak tahu, Pak. Saya kalau ngerjain selalu bersungguh-sungguh."
"Sungguh-sungguh yang kamu maksud itu yang bagaimana? Mengerjakan kebut semalam hingga telat bangun tidur. Begitu?"
Bibirku mencebik, Pak Arayan tahu banyak soal kebiasaanku. Semua itu ulah Nayeef. "Saya nggak bisa berfikir jernih kalau stres mikir revisi."
"Perbanyak cari jurnal pendukung sebagai referensi skripsimu. Jangan terlalu banyak membaca n****+. Apalagi, n****+ cinta-cintaan."
"Iya, Pak."
"Langsung revisi besok ketemu sama saya lagi."
Kedua mataku membelalak namun hanya sebentar setelah itu berbinar terang. “Bimbingan besok, Pak?” Aku bertanya ulang untuk memastikan.
“Hmmm.”
“Baik, Pak!” seruku dengan semangat.
“Oh, iya. Mulai dari sekarang kamu bimbingan sama saya. Selama proposal mu belum ACC.”
Mimpi apa aku semalam? Pagi-pagi dapat rejeki nomplok. Mau revisi sampai tua juga aku jabanin kalau dosbingnya Pak Ayang. Ah, hari-hariku akan lebih berwarna mulai besok. “Iya, Pak,” jawabku sambil mengulum senyum.
“Satu lagi ...”
Aku melihat ke arah Pak Arayan saat dia tak kunjung melanjutkan ucapannya. Mata kami tak sengaja saling pandang beberapa detik. Sebelum dia menundukkan kepala. “Apa, Pak?”
“Lain kali kalau bimbingan pakai pakaian yang sopan.”
“Ini ‘kan sudah sopan?” tanyaku pelan sambil melihat outfit yang kupakai hari ini. Memakai atasan kemeja oversize dan celana jeans kulot menurutku sudah sangat sopan.
“Rambutmu masih kelihatan,” jawabnya.
Hah? Aku tak mengerti maksudnya. Jelas saja rambutku bisa terlihat karena aku tidak memakai jilbab. “Terus gimana, Pak?” Daripada salah OOTD besok mendingan aku bertanya langsung.
“Kamu pikir saja sendiri. Bagaimana caranya agar rambut tidak terlihat?!”
***
Selesai bimbingan dengan Pak Arayan, aku menghampiri sahabatku ke kantin. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan syarat yang diberikan oleh Pak Arayan setiap kali bimbingan. Sebenarnya yang diinginkan olehnya sangat mudah namun terasa sulit bagiku.
“Mikir apa sih? Gak takut ngebul tuh otak.”
“Aku lagi bingung.”
“Bingung cara menggoda Pak Arayan?”
Aku melotot ke arah Amanda. Pertanyaannya sudah biasa bagiku namun ucapannya dengan nada tinggi hingga terdengar orang disekitar itu hal yang memalukan. “Itu mulut apa speaker masjid?” sindir ku padanya.
“Hehe, maaf. Lagian kamu mana pernah ada masalah kecuali soal Pak Ayang.”
“Kamu tau gak?”
“Enggak!”
“Ih, dengerin dulu bolu. Aku belum selesai bicara.”
“Silahkan doro putri,” ucapnya dengan menangkupkan kedua tangannya ke depan d**a. Lalu kepalanya ikut menunduk. Menyebalkan sekali memang sahabatku itu. Tapi, aku sayang.
“Besok aku langsung bimbingan lagi. Tapi, ada syaratnya.”
“Apa?”
“Rambutku gak boleh kelihatan.”
Amanda mengernyitkan keningnya. Pasti dia juga bingung dengan syarat yang diberikan oleh Pak Arayan. Sama seperti aku saat baru mendengarnya.
“Maksudnya kamu harus pakai hijab?”
“Iya, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutup rambut. Masak aku harus pakai helm sih?”
Bukannya kasihan dengan penderitaan yang aku alami sahabatku justru terkekeh pelan. Dia melanjutkan memakan bakso yang tinggal sisa sedikit.
Aku pun melakukan hal yang sama. Kembali fokus pada nasi pecel yang aku pesan sebagai menu makan siang. Kami tak lagi membicarakan soal syarat yang diajukan oleh Pak Ayang karena harus segera pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan revisi.
“Jadi, mau pilih yang mana?”
“Aku bingung, Manda. Jarang beli pakaian tertutup kok rasanya aneh begini ya?”
“Lagian kamu sih ada-ada saja. Harusnya tinggal beli hijab saja. Di rumah sudah banyak kemeja dan celana panjang.”
Selesai mengerjakan revisi aku mengajak Amanda pergi ke butik baju muslim langganan Mama. Aku berencana membeli satu set pakaian syar’i untuk bimbingan besok. Tapi, saat sampai di butik aku kebingungan memilihnya.
Semua baju yang biasa dipakai oleh Mama terlalu besar dan tidak sesuai dengan seleraku yang suka berpakaian sexi. Hingga, akhirnya aku hanya berkeliling lebih dari satu jam tanpa mendapatkan satu stel pakaian pun.
“Aku takut di tolak Pak Ayang kalau pakai celana jeans.”
“Di rumah ada rok panjang ‘kan?”
Aku mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Amanda. Memang aku memiliki banyak koleksi rok panjang namun jarang aku pakai. Mama yang membelikan karena setiap mengajakku ke acara kajian aku tidak boleh memakai celana.
“Ya, sudah pakai itu saja. Banyak teman-teman kita yang memakai kemeja oversize di mix sama rok panjang. Meskipun simple tapi terlihat elegan,” jelas Amanda.
“Baiklah, kalau begitu beli hijab saja.”
Amanda menghela nafas lelah. Dia malas jika diajak belanja apalagi mencari baju. Menurutnya akan membuang waktu rebahan dan menonton drakor.
“Wah banyak sekali model hijabnya.” Aku melihat ke sana-kemari pada rak hijab yang jumlahnya sangat banyak.
“Ambil semua model. Pilih warna gelap biar masuk ke semua kemeja yang kamu punya.”
Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan perintah sahabatku. Mengambil semua model hijab segi empat dengan warna gelap. Entah terpakai atau tidak yang penting aku punya hijab jika sewaktu-waktu Pak Ayang mengajak bimbingan.
Selesai memborong Hijab aku langsung pulang ke rumah. Langit sudah mulai gelap bukan karena sudah malam tapi sebentar lagi akan turun hujan. Untung saja aku menuruti perintah Papa membawa mobil. Jika, tidak pastinya aku basah kuyup seperti kemarin.
“Bawa apa itu, Mbak?”
“Takoyaki sama cilor.”
“Yeeaayy.” Teriak si gemoy setiap kali aku pulang membawa cemilan kesukaannya. “Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama, Ndut.”
“Hih, Nayeef sudah kurus.” Protesnya dengan bibir mengerucut. Pipi chubby nya menggembung membuatku gemas.
“Iya iya, percaya. Kurusan jempol kaki ‘kan?”
“Mbak Mimi nakal!” teriaknya dengan menggoyang-goyangkan badan gembul nya.
Aku langsung memeluknya dengan erat. Tak lupa mencium kedua pipinya berulang kali. “Bercanda, Sayang.”
Nayeef mengangguk lalu melepaskan pelukanku. Anak itu ikut berjalan mengikuti ku menuju kamar. Pasti dia kepo dengan tas belanja yang aku bawa.
“Belanja apa sih, Mbak? Banyak banget.”
“Hijab.”
“Mbak Mimi mau pakai Hijab. Alhamdulillah.” Nayeef bertepuk tangan dengan mulut penuh makanan.
“Hih, belum mau pakai, Adek.” Aku langsung menjelaskan agar dia tidak ember pada Mama. “Ini tuh dipakai kalau Mbak lagi bimbingan sama Pak Arayan.”
“Mau tebar pesona ya?”
Mataku membulat saat mendengar pertanyaan mengerikan dari adik gemoy ku. “Siapa yang ajarin bicara kayak gitu?”
“Mas Agung. Dia bilang kalau Mbak suka tebar pesona sama Pak Rayan padahal tidak pernah diperhatikan.”
Aku duduk di depan Nayeef dengan wajah serius. Anak itu juga ikut-ikutan menatapku dengan serius. “Jangan dengerin Mas Agung! Dia itu sesat,” ucap ku. “Lagian, bukan Pak Arayan tidak memperhatikan Mbak tapi belum.”
“Itu ‘kan sama saja artinya. Sama-sama tidak diperhatikan.” Wajah polos Nayeef sangat menggemaskan namun tidak dengan jawabannya barusan.
Hihhh ... awas saja kau Mas Agung! Berani-beraninya mengejekku karena selalu ditolak sama Pak Arayan.