bc

My Boss Is My Ex

book_age16+
26.7K
FOLLOW
183.6K
READ
billionaire
possessive
CEO
single mother
drama
sweet
bxg
highschool
office/work place
first love
like
intro-logo
Blurb

Dinda tak pernah menyangka, jika keputusannya untuk melamar di sebuah perusahaan malah membawanya pada kilasan masa lalu yang sempat membuatnya terlena akan indahnya cinta. Itu mudah jika lelaki yang dihadapinya mungkin hanya lelaki biasa, tapi kini sosok yang sedang dihadapinya adalah seorang Arya Bima Anggarajaya, CEO yang memiliki sikap angkuh dan dingin pada orang di sekelilingnya, tapi juga memiliki pesona cassanova yang sudah melekat pada dirinya, sejak Dinda mengenal Arya di bangku SMA.

Tak banyak yang Dinda harapkan. Meski Arya pernah mencintainya sedalam samudera, atau sekuat batu karang. Dinda sadar, hubungannya kini hanyalah sebatas karyawan biasa dan CEO. Terlebih Arya mengetahui, jika Dinda sudah memiliki seorang putri kecil.

Akankah masa indah antara Dinda dan Arya terjalin kembali, di tengah banyaknya kesalahpahaman dan konflik yang terjadi?

***

Cover By ; Audreana Ivy

chap-preview
Free preview
1. Prolog
Pagi. Di sebuah rumah besar, Jakarta Selatan. Arya terbangun setelah beberapa detik mendengar alarm dari ponsel pintarnya. Segera diraihnya, lalu mematikan bunyi yang terus berulang itu. Tak lama, pintu kamar terbuka. Sesosok lelaki paruh baya dengan setelan jas berdasi kupu-kupu berjalan masuk. Membuat Arya mau tak mau mengangkat tubuh, bersandar pada headboard ranjang dengan tangan kanan mengusap rambut ke belakang. "Selamat pagi, Tuan Arya." "Selamat pagi, Pak Dirga." "Cuaca cukup cerah hari ini. Semoga keberuntungan menyertai Anda." Pak Dirga berdiri di ujung ranjang. "Terima kasih," sahut Arya masih dengan suara serak. Dia pun turun dari ranjang, meraih piyama tidur yang tersampir di atas kursi. Sedang Pak Dirga dengan cekatan membuka tirai-tirai jendela kamar. Pintu balkon terbuka, tepat ketika selangkah lagi Arya melangkah keluar. Pak Dirga menepukkan kedua tangan, isyarat untuk seorang asisten rumah tangga yang sudah menunggu di depan kamar. Perempuan berseragam khas warna hitam putih itu masuk dengan nampan di tangannya. Segelas cappuccino dan sepotong roti panggang tersaji di atas meja. "Anda ingin tambahan sarapan yang lain, Tuan?" Pak Dirga bertanya pada Arya yang sedang menatap halaman, dengan kedua tangan bertumpu pada teralis pagar. "Cukup. Terima kasih," jawab Arya dengan suara nyaris tanpa nada. "Baik. Panggil saya jika Anda membutuhkan sesuatu," pamit Pak Dirga. Sedikit menganggukkan kepala, walau sebenarnya sang majikan tak melihatnya. Lalu berbalik dan berjalan ke arah pintu bersama perempuan berseragam yang sedari tadi berdiri menatap dua lelaki berbeda usia itu. Dengan hati-hati sekali Pak Dirga menutup pintu. "Apa memang seperti itu, setiap pagi?" Pak Dirga menoleh sekejap. "Ya." "Apa dia tidak bosan?" Lagi, perempuan dengan papan nama bertuliskan Lili itu bertanya heran. "Aku tidak pernah bertanya," sahut Pak Dirga tanpa ekspresi. "Jadi, bagaimana selama seminggu ini? Kamu mengerti apa pekerjaanmu." "Saya mengerti. Cappuccino dan roti panggang, harus masih panas ketika Pak Dirga naik ke lantai atas. Kemudian saya membawanya ke kamar Tuan Arya, dan menunggu kode berupa dua kali tepukan tangan. Begitu?" terang Lili. "Bagus. Lakukan dengan baik, jangan sampai ada kesalahan. Tuan Arya tidak boleh menunggu lama." "Siap," sahut Lili penuh semangat. Namun, beberapa detik kemudian, muncul pemikiran aneh di kepalanya. "Tapi, Pak. Apa selama ini Anda tidak pernah berpikir, jika rutinitasnya itu akan berubah?" Pak Dirga menghentikan langkah, mengangkat tangan, lalu jari telunjuk dan jempolnya menyentuh dagu berhias janggut putih itu. "Selama tiga tahun ini, sejak kepulangan keduanya dari Amerika, aturannya tidak pernah berubah." "Mmm," Lili ikut menyentuh dagunya. "Kira-kira, kenapa Tuan Arya seperti itu? Lalu, kapankah kebiasaannya itu akan berubah?" "Sepertinya, suatu hari nanti. Ketika seorang perempuan cantik hadir dan hidup bersamanya." Pak Dirga tersenyum membayangkan sosok Tuan Arya yang bersanding bersama seorang gadis. "Tapi, saya dengar dari asisten lain, Pak Dirga nyaris tidak pernah membawa perempuan ke rumah ini." "Itulah masalahnya. Aku sudah sering bertanya pada Pak Mali, tak pernah sekalipun dia melihat Tuan Arya pergi atau duduk bersama seorang perempuan di mobilnya. Hanya sekedar makan siang dan bertemu rekan kerja. Tidak ada yang lain." "Jujur, saya pun ikut terenyuh dengan kehidupan Tuan Arya yang berubah 180 derajat tersebut." Pak Dirga menatap Lili. "Kamu baru seminggu di sini, kenapa bisa tau kehidupan Tuan Arya?" Lili tercengang. "Oh, itu ... dari ... Mbak Sira sama Hana. Sebelum tidur, Hana selalu ...." "Cukup, kembali bekerja. Walau pun setiap pagi kamu harus menyiapkan kopi untuk Tuan, tapi setelah itu kamu sama seperti yang lain, harus ikut membersihkan rumah, menyapu halaman atau mencuci baju." "I-iya, Pak Dirga," sahut Lili gagap, merasa takut mendengar bentakan kepala asisten rumah tangga itu. "Bagus." Pak Dirga mengambil langkah lagi. Akan tetapi, baru dua langkah, dia berbalik kembali. Jelas itu membuat Lili merunduk ketakutan. "Dan satu, kurangi bergosip. Tuan Arya tidak suka ada karyawan yang berbisik-bisik di rumahnya." "I-iya, baik." Pak Dirga berbalik, lalu melangkah dengan senyum tertahan. Sementara itu, di lantai dua rumah, tepatnya kamar utama. Arya menikmati sarapan berteman laptop di depannya. Ditemani semilir angin pagi dan kicau burung yang berterbangan. Hiburan kecil baginya, bisa menikmati udara pagi yang cerah. Dialah Arya Bima Anggarajaya, sosok lelaki dingin, hidup seperti tanpa gairah. Rutinitas yang terulang setiap hari, bersama orang-orang yang sama selama bertahun-tahun. Semua karyawan memanggilnya Tuan Arya, padahal umurnya masih dua puluh sembilan. Namun, seolah dia adalah penguasa satu-satunya, dan paling tua di rumah besar ini. Bukan tanpa alasan nama Tuan tersemat, karena memang Arya-lah satu-satunya majikan mereka. Sebenarnya, sepuluh tahun lalu, sebelum sang ayah meninggal, Arya masih dipanggil Tuan Muda. Itu karena Tuan Besar masih hidup. Bukan hal mudah baginya, kehilangan sosok lelaki terhebat di hidupnya ketika masih usia belasan. Arya bahkan belum merasa cukup dengan kasih sayang dan kebersamaan yang ayahnya berikan. Namun, takdir memang tidak bisa dilawan. Tuan Banyu meninggal di usia empat puluh lima akibat serangan jantung. Sebenarnya, Arya masih memiliki ibu, Nyonya Adinda namanya. Sayang, semenjak kepergian suaminya, perempuan yang Arya panggil Mami itu lebih memilih tinggal di New York. Alih-alih tidak sanggup jika harus hidup di rumah yang selama ini telah memberinya banyak kenangan. Ingin sekali Arya protes, mengatakan, "Jangan terus membebani hidup Mami dengan kenangan. Lihat aku, putramu. Arya lebih membutuhkan Mami." Namun, Arya tak pernah sanggup mengatakannya. Dia pun tak tega jika harus menggores hati ibunya dengan kata-kata itu. Terkadang Arya selalu mengeluhkannya. Tentang hidup yang tak sempurna. Baginya, uang bukan masalah. Di usia muda, semua harta keluarganya sudah diwariskan atas namanya. Perusahaan, saham, rumah, mobil, dan jabatan. Sudah dalam genggamannya. Lalu, apa yang kurang? Ya, perhatian dan kasih sayang. Arya tidak mendapatkan dari orang tuanya. Kepergian sang ayah, seolah ikut membawa pergi sosok ibunya. Sedang di luar sana, banyak anak, remaja, dan lelaki dewasa yang ingin berada di posisinya. Padahal jelas-jelas mereka hidup diantara keluarga yang bergelimang kasih sayang. Itulah hidup, selalu memiliki dua sisi. Baik dan buruk. Lebih dan kurang. Benar dan salah. Begitu pun Arya. Seorang CEO yang dipenuhi keburukan, kekurangan dan kesalahan. Arya Bima Anggarajaya, pangeran tampan yang hidup di istana, dan selalu kesepian. Ketukan pintu terdengar ketika Arya baru selesai mandi. Seolah memang sudah diperhitungkan. "Masuk!" ucap Arya. Siapa lagi jika bukan Pak Dirga. Dia masuk bersama beberapa karyawan perempuan, yang masing-masing membawa pakaian kantor. Kelima pegawai itu berdiri tegap, memegang hanger masing-masing tiga ; celana, kemeja dan jas. Dari urutan kanan ; hitam, putih, abu-abu, coklat tua dan cream. "Abu-abu," ujar Arya hanya dengan sekali lirikan mata. Lalu berjalan ke arah lemari, mengambil handuk untuk menggosok rambut basahnya. Pak Dirga memberi isyarat keluar untuk yang memegang baju tak terpilih dan menyimpan untuk pegawai dengan baju terpilih. Dengan sangat hati-hati perempuan muda itu menyimpan setelan jas di atas kasur. Pak Dirga kembali memberi tepukan tangan. Seorang perempuan masuk membawa hanger lebih besar, berisi beberapa dasi. "Hitam dengan garis abu," tunjuk Arya. Pak Dirga mengambilnya, lalu menyimpan di atas kemeja. Lagi Pak Dirga memberi isyarat. Kali ini yang masuk adalah dua orang lelaki, mendorong meja berisi sepatu. "Baris kedua, nomor tiga," perintah Arya lagi. Pak Dirga mengambilnya, lalu meletakkan di atas meja kecil. Kemudian dia pun menyuruh dua lelaki itu untuk keluar. "Ada yang lain, yang Anda butuhkan, Tuan?" "Cukup," sahut Arya. "Ah, sebentar. Aku lupa. Siapa yang berbelanja kebutuhan mandi bulan ini?" "Mbok Darmi, Tuan. Ada yang salah?" Pak Dirga bertanya cemas. "Samponya bukan wangi mint." "Maaf, Tuan. Sudah berkali-kali saya larang, tapi dia tetap bersikeras untuk berbelanja kebutuhan Tuan. Lain kali akan saya larang--" "Tidak usah dilarang. Cukup suruh salah satu karyawan muda untuk menemaninya. Satu lagi, cari pegawai lelaki yang bisa membawa mobil untuk mengantarnya berbelanja. Jangan sampai aku melihatnya lagi kesulitan turun dari angkot. Kita tidak boleh menyalahkan dia atas gangguan penglihatannya." "Baik, Tuan." Pak Dirga menganggukkan kepala. Terselip rasa bersalah di hatinya, membiarkan Mbok Darmi, yang notabene adalah pegawai paling lama di rumah ini, untuk berbelanja sendirian. Di usianya yang sudah menginjak enam puluh lima, sebenarnya Arya sudah menawarkan uang pesangon untuk Mbok Darmi agar bisa pulang dan hidup tenang di kampungnya. Namun, perempuan tua itu menolak. Alih-alih, terlanjur betah dan enggan meninggalkan Tuan Arya, dia bersikukuh untuk tetap bekerja. Arya tak bisa berbuat banyak. Dia pun tak berhak mengatur hidup perempuan yang sudah merawatnya sejak bayi. Pukul tujuh lebih lima belas menit, Arya keluar dari kamar. Dengan setelan jas dan celana abu, sepatu hitam mengkilap dan tas kerja di tangan kanannya. Pak Dirga sudah menyambutnya di bawah tangga. "Aku langsung berangkat. Jangan menyiapkan makan malam, aku ada janji bersama kolega." "Baik, Tuan." Pak Dirga tetap berjalan di samping Tuan Arya. Setelah hampir dekat mobil, dia mempercepat langkah untuk membuka pintunya. "Terima kasih." Arya memberi seulas senyum. "Selamat jalan, semoga hari Anda menyenangkan," ucap Pak Dirga sebelum menutup pintu. "Hati-hati, Pak Mali!" lanjutnya setelah mobil mulai melaju. Pak Mali hanya melambaikan tangan dari jendela. Arya menikmati perjalanan ke kantor dengan duduk santai, menyandarkan punggung pada jok, dan satu tangan memegang ponsel pintar. Kebiasaannya membuka artikel berita setiap pagi, untuk memperbaharui informasi dalam negeri maupun luar negeri. Mobil pun memasuki jalan raya yang dipadati kendaraan. Arya memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Menikmati pemandangan yang menurutnya layak untuk disyukuri. "Yah, lampu merah," keluh Pak Mali. Arya mendengarnya, tapi tak memberi tanggapan apa pun. Lebih memilih memandang keluar jendela yang kacanya terbuka separuh, ke arah di mana ada seorang bapak pengendara motor, membonceng anak lelaki di belakangnya. Entah ada hubungan apa diantara mereka. Bapak dan anak, paman dan keponakan, atau supir ojeg dan penumpang. Yang jelas, mereka tampak asyik bercengkrama. "Astagfirullah," ucap Pak Mali tiba-tiba. Jelas Arya kaget. Segera dia merapatkan kaca jendela mobil. "Ada apa, Pak?" "Itu, Tuan. Ada anak menyebrang sambil lari, padahal lampu baru hijau. Hampir saja ketabrak motor dari arah sana," tunjuk Pak Mali. "Di perempatan ini memang jarang ada polisi," sambungnya. Arya memalingkan wajah. Ya, dari arah kanan, lampunya sudah berubah hijau. Lalu mengalihkan pandangan ke sisi lain, ke arah berlawanan. Ingin melihat anak yang terjatuh tadi. Tampak di bawah pohon rindang, seorang anak menangis. Sepertinya masih duduk di bangku TK, terlihat dari seragamnya. Tak lama, datang seorang perempuan berpakaian rapi khas kantoran. Dia berjongkok, mengusap lutut anak itu. Seperti berdarah, karena beberapa detik kemudian dia menempelkan plester luka. Arya terus menatapnya. Merasa tak asing dengan sosok perempuan itu. "Dinda," gumamnya tak sadar. Matanya terus mengawasi setiap gerakannya. Dengan penuh kasih sayang anak itu dipeluknya, diusap keningnya, lalu digendong. Seperti sedang berusaha meredakan tangis si anak. Mobil di depan melaju. Pak Mali segera menginjak pedal gas. Akan tetapi, tatapan Arya tak putus pada arah itu. Hingga mobil pun melewati perempuan yang sedang mengobrol dengan anak kecil digendongannya. "Dinda," bisiknya lagi. Seketika, ada denyut tak biasa di dadanya. Perempuan itu ... wajah itu, membuat detak jantung Arya berubah tak menentu. Pikirannya melayang. Entah dari mana datangnya suara-suara itu, tiba-tiba saja terdengar di telinganya. "Kak Arya!" "Dinda? Sini!" "Kak Arya, aku kangen!" Perempuan itu berlari, lalu memeluknya. Dinda, gadis belia yang memiliki sikap ceria. Selalu berhasil membuat Arya tertawa dengan berbagai ceritanya. Di lain waktu, sepasang sejoli itu berjalan bersama tanpa bersuara. Berdampingan, dengan tangan saling menggenggam. Usia remaja, masa-masa cinta seperti bunga yang bermekaran. Indah, harum, dan selalu ingin menikmatinya. "Kakak bilang aku cinta pertama Kakak," tukas Dinda, memiringkan kepala, menatap lelaki di sampingnya. "Iya, bawel. Enggak percaya?" Arya mencubit hidung gadis itu. Karuan Dinda memberenggut. "Kalau gini caranya, aku enggak percaya!" "Harus!" "Enggak!" "Harus!" "Enggak percaya juga, maksa-maksa, ih!" Dinda melepas tangannya lalu berlari sambil tertawa menggoda. Arya tersenyum menatapnya. "Hey, adindaku. Jangan tinggalin kakandamu!" teriaknya. Dinda memutar kepala, lalu menjulurkan lidah. "Enggak peduli, wew!" "Eh, nakal, ya!" Arya tertawa, lalu berlari mengejar Dinda. "Ayo, mau nanya apalagi sekarang?" tanyanya setelah berhasil memeluk erat tubuh kekasihnya. Dinda meronta, tapi kesulitan lepas. Akhirnya dia berbisik, "Bisa enggak aku jadi jadi cinta terakhir Kakak?" Arya tersenyum. "Ada dua akhir, dari cinta pertama. Kenangan, dan pegangan." Digenggamnya tangan gadis itu. "Pegangan seumur hidup." Kemudian, senyum itu kembali merekah. 'Ah, kenapa sesakit ini, hanya dengan mengingatnya,' batin Arya. Mobil sudah memasuki parkiran kantor, tapi entah kenapa pikiran Arya terasa masih tertinggal di sana. "Aku masih berharap bisa menggenggam tanganmu, hingga detik ini, Dinda," bisik Arya parau. *** --bersambung--

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bestfriend, I Love You

read
203.4K
bc

The Ensnared by Love

read
105.5K
bc

My Tomorrow

read
168.9K
bc

Not A Dreame Wedding ( Indonesia )

read
309.2K
bc

Nikah Dengan Kakak Ipar

read
219.5K
bc

My Husband is My Boss

read
128.7K
bc

BUKAN ISTRI SIMPANAN CEO

read
162.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook