Hari Interview
Dyler merasa sangat canggung, hari ini ia akan di interview langsung oleh Richard, orang yang paling ia benci di dunia ini, dan ini adalah pertama kali bagi Dyler masuk ke kediaman Richard yang di jaga oleh banyak Pengawal.
Rumah mewah itu membuat Dyler semakin gugup, hawa dingin dan sorot mata para Pengawal yang membuat dirinya sedikit takut, bagaimana bila Richard tahu siapa dirinya dan tujuannya datang, sudah pasti Dyler pulang tanpa nyawa.
Itu bukan berarti Dyler tak memiliki kemampuan dalam bela diri, ia dan Lexon sejak remaja sudah melakukan kegiatan bela diri bersama-sama, Dyler juga sangat piawai dalam penggunaan senjata api maupun senjata tajam.
Dyler memiliki tubuh yang atletis, sorot mata yang tajam mampu membuat orang menundukkan kepala saat ia terlihat marah, hidung mancung dan rahang tegas yang seperti di pahat bak dewa Yunani membuat dirinya terlihat sempurna sebagai seorang pria dewasa, belum lagi kulit putih menambah kesan ketampanan pria itu.
Ia masuk dengan menggunakan kemeja biru yang di padukan celana kain berwarna hitam sambil menenteng map berwarna merah yang di berikan oleh Lexon, namun dari balik kemeja biru itu terlihat jelas otot-otot bisep yang membentuk tubuhnya. Dyler di kawal oleh dua orang Pengawal kediaman Richard Essel.
Mata Dyler kesana kemari memperhatikan dengan seksama setiap sudut rumah Richard Essel, Pengawalnya sangat banyak hingga membuat Dyler berulang kali menelan salivanya sendiri.
"Rubah licik ini pasti memiliki banyak musuh!" batinnya.
Sesampainya di depan sebuah ruangan, jantung Dyler tiba-tiba saja di pompa lebih kencang, sudah lama ia mempersiapkan hari ini, pertemuan pertama dengan pria paruh baya yang sudah ia benci selama bertahun-tahun, namun tetap saja rasanya hatinya belum siap. Rasa marah dan emosi masih menyatu dan tidak sabar ingin ia luapkan pada Richard Essel.
"Aku harus tenang," batinnya.
Seorang Pengawal membuka pintu dan menunjukkan sosok seorang pria yang masih membelakangi mereka.
"Kalian boleh keluar!" perintah Richard.
"Baik Tuan,"
Para Pengawal keluar dan menutup pintu itu dengan rapat.
Mendengar suara Richard saja membuat hati Dyler berkecamuk layaknya pasir yang di terjang ombak.
"Tenanglah Dyler," ucapnya dalam hati.
Richard memutar kursinya dan membuat Dyler terbelalak kaget.
"Jeff Andrew?" tanya Richard dengan wajah datarnya.
Dyler masih shock karena tak menyangka bahwa Richard yang ada di hadapannya masih terlihat sangat muda, dalam benak hati Dyler ia mengira kalau Richard adalah pria tua dengan perut buncit dan kepala plontos, ternyata Richard adalah pria yang sangat tampan.
Sosok Richard Essel memang sangat tertutup hingga tidak ada siapapun yang mengetahui wajah Richard Essel bahkan hanya sekedar foto pun tidak pernah tersebar. Itu sebabnya Dyler bahkan tak mengetahui bagaimana wajah musuhnya itu.
"Ada apa? kenapa kamu bengong?" suara bariton itu mengusik ketidaksadaran Dyler yang masih bengong.
"I-iya Tuan, maafkan saya," jawab Dyler.
"Duduklah," pinta Richard.
Dyler menarik kursi lalu duduk dengan tenang.
"Saya akan to the point, kamu Gay kan?"
"Be-nar Tuan," jawab Dyler terbata-bata.
Tentu saja hal ini membuat Richard tak suka, baginya seorang Asisten sekaligus Pengawal Putrinya adalah seseorang yang tak memiliki rasa takut.
"Sepertinya saya tidak bisa menerima kamu, percuma tubuhmu besar tapi menjawab pertanyaanku saja terbata-bata," ledek Richard.
Pria paruh baya itu bahkan melepas kacamatanya lalu meletakkannya di atas meja, tampak rasa waspadanya berkurang.
"Sialan!" batin Dyler.
"Maaf Tuan, saya hanya sedikit gugup karena bertemu dengan orang sehebat Tuan Richard," ujar Dyler.
Richard tertawa dan menyeringai.
"Pandai sekali mulutmu bersilat lidah," jawab Richard.
Dyler mengepalkan kedua tangannya di atas pahanya, namun hal itu tidak akan terlihat oleh Richard karena ada meja di antara mereka.
"Maafkan saya," jawab Dyler datar.
Kali ini sepertinya ia akan gagal masuk ke kediaman Richard Essel.
"Tenanglah, aku hanya bercanda," kekeh Richard.
"Bagaimana bisa pria berdarah dingin ini bercanda," batin Dyler.
Namun ada perasaan sedikit tenang saat mengetahui kalau Richard tak benar-benar marah padanya, itu artinya ia masih memiliki kesempatan untuk masuk ke kediaman Richard Essel.
Richard berdiri lalu menekan tombol telepon yang ada di atas meja.
"Bawa Furina ke ruang kerjaku," ucapnya singkat.
"Putriku yang akan menilaimu,"
Dyler mengangguk.
Dari awal ia memang akan menjadi Pengawal sekaligus Asisten Putri Richard Essel.
"Furina? nama macam apa itu?" batin Dyler.
Setelah lima menit, pintu terbuka dan menunjukkan sosok seorang gadis.
"Ada apa Papa?"
Suara lembut itu membuat Dyler memutar tubuhnya dan melihat ke arah Furina.
Mata Dyler membulat sempurna.
"Ca-cantik sekali," batinnya.
Selama ini Dyler banyak menemui berbagai macam wanita dari yang cantik sampai cantik sekali, tetapi baru kali ini ia merasa melihat wanita yang sangat sesuai dengan seleranya.
"Apa yang aku pikirkan? sadarlah Dyler," gerutunya dalam hati.
Ia tak boleh ketahuan oleh Richard, ia harus berpura-pura tak peduli dan memasang wajah datar di hadapan Richard.
"Bagaimana dengan pria ini, dia akan menjadi Asisten mu,"
Furina pun melihat ke arah Dyler yang sedikit menunduk.
"Tampan sekali Pa, dia tipeku," kekeh Furina dengan mata yang berbinar-binar.
Furina memang gadis yang blak-blakan dan suka bercanda, itu sebabnya ia bisa berteman dengan semua anak buah sang Papa.
Meskipun hidup dalam keadaan terkekang, nyatanya Furina bisa membuka hatinya untuk siapa saja.
Dyler yang shock dengan jawaban Furina bahkan sampai terbatuk.
"Jawaban apa itu Furi, kau sedang mencari Asisten bukan calon Suami," kekeh Richard.
Dyler masih tak percaya akan menyaksikan pembicaraan hangat seperti ini yang keluar dari mulut Richard, pria berdarah dingin.
"Aku tidak bercanda Pa, dia memang tipeku," kekeh Furi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Dyler.
Dyler merasakan jantungnya mau melompat keluar.
"Situasi macam apa ini? apa mereka ingin mempermainkan aku, a-pa rubah licik ini tahu siapa aku," batin Dyler.
"Ayolah Putriku yang cantik, apa ia cocok menjadi Asisten mu, lagipula jangan berpikiran aneh, pria ini Gay!"
"A-apa?! sial," kekeh Furina.
Furina bahkan tertawa terbahak-bahak membuat harga diri Dyler terasa tercabik-cabik.
Dyler yang merasa tidak enak hati karena merasa harga dirinya sedang di permainkan ayah dan anak ini tanpa sadar memasang ekspresi kesal. Furina menyadari hal itu dan langsung mendekati Dyler.
Furina mengulurkan tangannya "Maafkan kami, kenalkan namaku Furina, boleh panggil Furi," ucap Furina sambil tersenyum lebar.
Dyler bangkit dan berdiri berhadapan dengan Furina.
"Saya Jeff, Nona,"
"Senang berkenalan denganmu Jeff, mohon kerja samanya,"
Furina tersenyum lebar lalu pergi meninggalkan kedua pria itu begitu saja.
"Kamu di terima Putriku, kau boleh bekerja mulai besok,"
Richard menyodorkan kertas berupa kontrak perjanjian kerja, Dyler membaca kontrak itu dengan hati-hati dan seksama, meskipun ini hanya penyamaran ia tak boleh salah langkah.