Dua jam lamannya, Papa Bagaskara dengan Rega bermain catur, akhirnya selesai juga.
Alara merasa lega, sebab ia bisa segera istirahat. Sambil mendorong sang ayah keluar mengantar Rega, Alara melirik malas.
“Lain kali kalau ada waktu senggang mampir saja ke sini, Rega. Om sangat terhibur main catur denganmu. Kamu punya cara persis seperti ayahmu dalam memainkan pion-pion itu.” walau tidak bermain dengan ayah Rega, setidaknya rasa rindu Bagaskara terobati setelah ini.
“Apa tidak apa, kalau saya mampir ke sini, Om? Saya hanya takut mengganggu istirahat om saja.” Rega bicara dengan Bagaskara, tapi matanya melihat Alara.
“Semakin sering kamu ke sini, semakin om bahagia. Tidak perlu khawatir, jika kamu datang, walau aku sedang tidur, pasti langsung bangun.”
“Apa papa mau sekalian tinggal bersama Rega? Sepertinya papa sangat menyayanginya, kan?” tanya Alara di belakang mereka.
Bagaskara tertawa terbahak-bahak, disusul Rega yang tersenyum tipis meremehkan.
“Melihat om Bagaskara seperti itu, seharusnya kamu lebih peka, Alara. Itu berarti Om Bagas kesepian di rumah hanya dengan pengasuhnya. Beliau butuh teman,” ucap Rega.
“Jika kalian segera menikah, pasti papa tidak akan kesepian lagi, karena setiap hari ada Rega di rumah,” ucap Bagaskara tanpa memikirkan perasaan Alara.
Tidak ada sama sekali rasa keberatan di wajah Rega. Laki-laki itu justru tersenyum senang berjalan menuju ke mobil. Satu tangan berada di dalam saku, satu lagi melambai. Bagaskara hanya mengantar sampai depan pintu sedangkan Alara sampai ke depan pagar.
“Please, aku bahkan baru saja bercerai dengan Angkasa, bahkan pengadilan belum mengetuk palu resmi. Kamu jangan membicarakan pernikahan denganku saat bersama papa,” mohon Alara.
Rega tiba-tiba maju, membuat Alara mundur hingga terhimpit di dinding pinggiran pagar, jarak antara keduanya begitu dekat, sehingga Alara salah tingkah. Satu tangan Rega bertumpu pada di dinding belakangnya tatapannya mematri matanya.
“Kenapa kamu melarang ku membahas tentang perjodohan kita, hem?”
Terlalu grogi, Alara tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia terpaku dalam kekangan tubuh tinggi milik Rega.
“Apak arena kamu masih sangat mencintai mantan suamimu itu, dan berharap bisa kembali lagi padannya?”
Alara langsung menggeleng, mengelak. Mana mungkin Alara mau memungut sampah yang sudah dia buang?
“Kamu sama sekali tidak mengerti tentang apa yang aku pikirkan, Rega. Ini perasaan, bukan sekedar pertandingan, siapa yang cepat dapat pendamping, dia yang lebih unggul. Bukan begitu,” ucap Alara sambil memalingkan wajah ke samping sebab wajah Rega semakin dekat hampir menyentuh kulit.
“Aku akan mengerti kalau kamu memberiku kesempatan, Alara. Kamu sedang terluka kan, sekarang? Maka aku bisa menjadi obat untukmu.”
“Menyingkir lah, Rega.” Bahkan Alara sangat malu dengan posisi mereka disaksikan sopir yang sejak tadi menunggu di samping mobil untuk membukakan pintu. Tapi tampaknya, rasa malu Rega sudah tertutup, dia bahkan terus mendekati Alara.
“Orang-orang yang lewat melihat ke arah kita, Rega.”
Posisi mereka ada pinggir jalan tentu saja banyak orang berlalu lalang. Salah satunya mobil yang berada tidak jauh dari posisi mereka. Sejak tadi Alara merasa orang di dalam sana sedang memperhatikannya.
“Kenapa aku harus memperhatikan orang-orang? Apa peduliku?”
Alara memejamkan mata takut kalau Rega menciumnya, kedua tangannya mengepal di depan dadanya jadi penghalang.
Namun setelah beberapa detik, ia membuka mata ternyata Rega sudah menjauh darinya, bahkan sudah duduk di dalam mobil. Pipi Alara memerah karena malu saat Rega melambaikan satu tangannya dari balik jendela.
“Sampai jumpa besok, aku akan datang membawa aktris Perempuan ke kantormu.” Mobil yang dikemudikan oleh sopir itu akhirnya meninggalkan halaman rumah Alara.
***
Sedangkan di dalam mobil inova berwarna hitam legam, Angkasa duduk di kursi kemudi sambil mengamati sekitar posisi dia parkir.
Dia sengaja membuntuti mobil yang membawa Alara, dari kantor sampai ke depan rumah besar berpagar tinggi.
Angkasa mencengkeram stir saat melihat Alara ternyata keluar mobil bersama Rega, lelaki yang dia kenalkan sebagai calon suaminya.
Alara disambut oleh pria paruh baya yang di dorong menggunakan kursi roda oleh seseorang yang tidak bisa dia lihat dari tempatnya karena terlindung oleh tanaman bonsai.
“Kenapa Alara pulang ke rumah itu? Bahkan mencium tangan pria tua itu, sebagaimana seorang anak pada ayahnya?”
Posisinya yang begitu jauh membuat Angkasa tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Bahkan setelah mereka masuk, Angkasa menemui seorang security.
Kebetulan, seorang security sedang lewat membawa motor butut mendekat padannya, karena dinilai mencurigakan.
“Pak, sebenarnya aku sedang kebingungan mencari Alamat seorang teman di sekitar sini. Tapi aku mencoba meneleponnya tidak aktif. Bapak mau membantuku mengenali temanku, siapa tahu bapak tahu di mana Alamat rumahnya.”
“Boleh, tunjukkan pada saya fotonya.” Dengan baik hati security itu menerima bantuan yang diminta Angkasa.
Angkasa menunjukkan foto Alara dari dalam ponselnya. Security itu menggeleng tidak mengenal.
“Namanya Alara.”
“Iya, saya tidak kenal. Saya orang baru di sini."
"Lalu, bagaimana dengan tuan pemilik rumah itu?" Angkasa menunjuk rumah besar yang berjarak seratus meter dari posisinya.
"Oh, itu Pak Bagaskara, orang paling kaya di perumahan ini, Bagaskara adalah mantan pemilik Alba Hotel yang besar di depan.
Namun, sudah lama saya dengar kabar kalau Alba Hotel pindah kepemilikan menjadi milik istri kedua dan sekarang berganti nama menjadi nama lain. Dan Bagaskara cukup terkenal, yaitu sangat suka menikahi perempuan yang lebih muda darinya."
Angkasa mengucapkan terima kasih, lalu memberikan uang rokok sebagai tanda terima kasih. Laki-laki itu pergi dengan sangat senang.
Rasa penasarannya sangat bergejolak, sebenarnya apa yang Alara lakukan di rumah itu, hingga berjam-jam di dalam rumah hingga malam seperti ini.
Rahang Angkasa terus saja mengetat sama sekali tidak beralih ke mana pun.
Dari keterangan security dan posisi Alara yang mendadak menjadi direktur, membuat Angkasa menyimpulkan. Kalau Alara rela menjalin hubungan dengan pria tua itu untuk mengubah hidupnya.
Apa Alara semurah itu, menjalin hubungan dengan pria-pria berbeda?
Lalu, kenapa dia masuk dengan Rega? Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan.
Angkasa baru saja akan memutar kunci mobil untuk menghidupkan mesin, ternyata Alara bersama pria tua keluar.
Emosinya semakin meradang saat melihat Alara dengan Rega bermesraan di depan rumah tidak tahu malu.
Angkasa menghidupkan mesin sambil melirik. Rasa kesalnya telah bertumpuk bertubi-tubi. Siapa sangka, kalau Alara selama ini adalah perempuan licik, yang pintar memainkan keadaan.
Pantas saja, ibu Angkasa sering menghinanya orang yang tidak jelas asal-usulnya, anak haram dan penghuni panti asuhan, tapi memang benar tabiatnya.
Angkasa mengacak rambutnya sendiri kemudian memukul stir. Menjalankan mobil dengan kencang melewati Alara.
Alara yang baru saja akan menghampiri mobil itu, sudah tidak sempat. Padahal ingin sekali tahu, siapa orang di dalam sana, Kenapa mengintai rumahnya sejak tadi.
Ketika lewat di depan rumah, sekilas Alara melihat bayangan orang tersebut. Seperti Angkasa, tapi dalam hati Alara mengelak, sebab tidak mungkin, rumah Angkasa yang di Surabaya akan jauh-jauh untuk membuntutinya.
"Tidak mungkin itu Angkasa, untuk apa dia di sini?"