Perusahan Cahaya Pictures sudah mulai menggarap proyek film yang akan tayang di layar lebar. Karena seiring berjalannya waktu, perusahan Cahaya semakin berkembang pesat, Angkasa memutuskan untuk mengajak Gania pindah ke Jakarta ke kantor pusat.
Gania dan Karina pun juga sepakat, mengurus semua kepindahan mereka dari Surabaya, menempati rumah baru yang telah dibeli oleh Angkasa.
Kali ini Karina tinggal serumah dengan Angkasa, sebab rumah baru itu cukup besar, empat lantai dan memiliki delapan kamar.
Gunanya Karina di sana juga untuk pengawas di rumah, mengawasi para asisten rumah tangga dan menjaga Yara.
Angkasa hari-harinya sangat sibuk di kantor sering pulang malam hari lalu kembali pergi saat pagi. Sebenarnya alasan pindah selain untuk kebutuhan pekerjaan, ada alasan lain, Alara.
Sedangkan Gania sekarang lebih banyak dengan urusannya sendiri, yang berencana akan memproduksi brand parfumnya sendiri.
Gania sibuk mencari investor-investor untuk membangun usahanya sendiri. Dia ingin membangun bisnis dan dikenal sebagai Perempuan hebat, bahkan kehebatannya melebihi Angkasa.
Kali ini di akhir pekan Angkasa mengajak Gania dan Yara pergi ke pusat perbelanjaan untuk sekedar berjalan-jalan. Baby sitter menggandeng Yara di belakang Angkasa dan Gania yang sedang melihat toko-toko di sekelilingnya. Tanpa mereka ketahui ternyata di dalam toko pakaian tersebut ada Alara, yang memilih baju yang Gania pilih.
“Alara, kamu ada di sini? Apa kamu sedang mengikuti kami?” tanya Gania sambil melihat Alara curiga.
Begitu juga dengan Angkasa, yang menatap Alara sinis.
“Mengikuti kalian? Untuk apa?”
“Tentu saja untuk cari muka dengan Angkasa, mau apa lagi memang? Tidak usah pura-pura tidak peduli, padahal masih mau kembali, kan?”
Alara tidak tahan dengan suara Gania, ingin mendorong tubuh Perempuan itu, tapi tangannya dicegah oleh Angkasa yang menatapnya tajam.
“Kemarin aku mendengar, kamu bersikap arogan pada Gania? Sekarang mau menyakitinya lagi?!” bentak Angkasa.
Sedangkan Gania tersenyum senang melihat Alara diintimindasi seperti itu. Alara sudah menebak, pasti Gani mengadukan pertengkaran mereka beberapa hari yang lalu, dan playing victim.
“Aku hanya membela diriku sendiri, apa salah? Seekor semut yang terus diusik juga lama-lama akan mengigit.”
Alara memilih menjauhi mereka tidak jadi membeli barang di toko tersebut. Pada saat di depan toko dia melihat Yara sedang berdiri digandeng oleh pengasuhnya, mereka berpapasan di depan pintu.
“Yara, Sayang ….” Alara tanpa memperdulikan apa pun langsung menekuk kedua lututnya duduk memeluk Yara.
“Mama kenapa nais … Mama kangen adik?” tanya Yara polos.
Selama ini celoteh-celoteh Yaralah yang membuat Alara terhibur dan menjadi betah di rumah, tak ingin keluar ke mana-mana. Walau bukan darah dagingnya, Yara adalah anak Perempuan yang Alara besarkan dengan penuh kasih sayang. Oleh sebab itu saat berjauhan dengan anak kecil ini, Alara sangat merindukannya menjalani hari-hari dengan berat.
Seperti selayaknya seorang ibu, Alara memeluk putrinya erat menciumi kening, pipi kemudian memeluk lagi tak ingin lepas.
“Adik mau mama …” ucap Yara.
“Mama peluk Yara, Sayang.”
Alara merasakan tubuh dalam dekapannya tampak ringan dan lesu, rambutnya pun tak beraroma sampo seperti biasanya. Alara mendongak ke atas melihat pengasuh Yara.
“Kenapa badan Yara jadi kurus seperti ini? Dia habis sakit?” tanyanya.
Pengasuh itu menggeleng. “Yara kurang bernapsu makan belakangan ini, makanya badannya kurus seperti sekarang.”
Alara miris melihat ini. Dia tahu makanan kesukaan Yara, dia tahu selerannya yang bagaimana. “Yara ikut sama mama ya? Kita makan sama-sama, bagaimana mau?”
Yara langsung mengangguk mau.
Alara beranjak berdiri menggandeng Yara, tapi tanganya segera disentak oleh tangan kekar Angkasa.
“Sashy, gendong Yara, jangan biarkan siapa pun menyentuhnya tanpa seizinku!”
“Angkasa, tapi aku ingin mengajak Yara makan, hanya itu saja, lihat dia lesu dan katanya kurang bernafsu makan. Aku tahu kalau selama aku tidak ada, pasti kalian memberikan pola makan yang buruk.” Alara memaksa menggandeng Yara.
“Kamu sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan kami, dan memilih orang lain. Kalau saja kamu tidak keras kepala, tentu saja, sekarang ini masih bisa bersama-sama.”
“Kalau kamu tidak memutuskan menikahi Gania, tentu saja aku tidak akan pergi, Pak Angkasa yang terhormat. Buat apa aku mempertahankan orang yang sama sekali tidak mencintaiku, he um?” Alara menatap tak kalah tajamnya dibanding dengan Angkasa.
Hingga memancing kesabaran Angkasa, jari kekarnya mencengkeram kedua bahu Alara, membuat Alara meringis kesakitan. Tenaga Perempuan seperti Alara tentu saja tidak ada apa-apanya dibanding dengan tenaga Angkasa, membuat Alara lemah dalam cengkramannya.
“Tau apa kamu tentang cinta? Dan aku dan Gania adalah orang tua Yara, sedangkan kamu orang lain yang tak memiliki ikatan darah apa pun tidak berhak menyentuhnya atau pun menemuinya!” Angkasa mengguncang tubuh Alara sambil menekan.
“Sebagai ibu kandungnya pastinya aku lebih tahu apa yang harus kulakukan pada Yara.” Gania ikut menimpali.
“Aku tidak yakin kalau kalian bisa merawat Yara. Lebih baik biarkan dia tinggal bersamaku kalau kalian tidak sanggup.” Alara tersenyum miring, meremehkan mereka tidak ada aura ketakutan sama sekali di wajahanya, berbeda dengan dulu.
“Yang pasti Yara akan kami didik, supaya besar tidak sepertimu yang menjual harga diri untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Angkasa menatap tajam Alara. Interaksi antara keduannya menyalurkan memory saat mereka masih bersama.
Mata indah, berbulu lentik bermanik coklat itu pernah menatapnya penuh cinta.
“Kamu sudah menyakitiku!” teriakan Alara membuat Angkasa tersentak mengembalikan kesadarannya.
Teriakan Alara menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, Angkasa langsung melepaskan tangan Alara, semakin menjauhinya mencoba mengejar baby sitter yang membawa Yara. Hingga mereka di area parkir, dengan cepat Angkasa menutup pintu mobilnya setelah semua masuk.
Kedua tangan Alara mengetuk-ngetuk kaca pintu tengah. “Yara, ini mama Yara … Angkasa, buka pintunya, biarkan Yara keluar!”
Di dalam mobil Yara menangis keras, dipegang erat oleh baby sitternya. “Mama… Yala mau mama ….” Teriaknya histeris sambil melihat jendela.
“Sus, bukakan pintunya, Suster….” Alara terus saja menggedor sambil memelas, memohon dengan sangat pada Angkasa.
Namun Angkasa sama sekali tidak mengindahkan rengekannya, justru menekan gas tinggi meninggalkan Alara sendiri.
Arah jalan keluar harus memutar, Alara masih berdiri pada posisinya ia tak peduli dengan mobil Angkasa yang berjalan ke arahnya.
“Tabrak saja dia kalau tidak mau minggir, Sayang!” ucap Gania mengompori.
Tatapan mata Angkasa tajam ke depan menatap Alara yang tengah berdiri mematung. Alara sengaja melakukan itu, dia ingin melihat, seperti apa perasaan Angkasa, apa dia sangat membencinya?
Angkasa terus saja menekan gas, menatap lurus ke depan.
Suara deru mobil memekik semakin mendekat, Alara melindungi kepala dengan kedua tangan kala mobil itu begitu dekat, hanya seperskian saja dari tubuhnya.
Tiba-tiba tangan kekar menarik tubuhnya hingga membuat terjatuh ke sisi kiri. Sedangkan mobil Angkasa berhenti tepat satu jengkal di hadapan Alara, mengerem mendadak sambil mengepalkan tangan memegang stir saat melihat Rega memeluk Alara erat.
“Apa kamu sudah gila, Alara?” tanya Rega berusaha menyadarkan Alara, kalau berbuatannya salah. Kemudian ia beranjak akan menghampiri mobil Angkasa.
“Keluar kamu!”
Namun belum sempat ia mendekat, Angkasa dengan perasaan emosi menancap gas kencang keluar dari area tersebut.