4. Empat
“Gaji yang kamu ajukan cukup besar, bagaimana jika kami tidak mampu menggaji kamu sebesar itu?” tanya Thariq. Wanita yang semula menunduk itu mengangkat wajahnya, tampak matanya sedikit berembun.
“A-apa, saya tidak bisa diterima bekerja di sini? Saya memiliki pengalaman bekerja yang baik, sudah berpengalaman lima tahun di bagian accounting, s-saya sangat butuh pekerjaan ini,” ucapnya, yang setelah mengucapkan itu dia kembali menunduk. Kiki bisa melihat tangannya yang bergetar, juga kakinya yang terus bergerak. Kiki melihat sepatunya yang tampak usang, bahkan sedikit sobek, namun dia menutupinya.
“Saya mungkin bisa menerima kamu, tapi perusahaan kami perusahaan yang masih baru, saya tidak bisa menggaji kamu sebanyak yang kamu ajukan, mungkin perusahaan kamu sebelumnya itu sudah perusahaan besar sehingga gaji kamu cukup besar di sana, namun kami tidak yakin pemasukan di tahun pertama ini besar,” ucap Thariq. Kiki memandang Thariq dan wanita bernama Wati itu bergantian.
“Saya dibayar setengah dari yang saya ajukan juga tidak apa-apa, Pak, Bu. Saya sangat butuh pekerjaan ini, saya ... single parent dan anak saya akan masuk sekolah tahun ini. Maaf bukannya saya meminta belas kasihan namun ... saya sudah mencoba melamar tempat lain dan tidak ada yang menerima saya,” ucapnya. Kiki bisa melihat raut kesedihan dari wanita berusia tiga puluh tahun itu. kiki membuka lagi formulir wanita itu, memang terlihat status pernikahan dia, anaknya dua dan suaminya meninggal tahun lalu. Pasti berat menjadi dirinya yang merupakan tulang punggung keluarga. Kiki menoleh ke arah Thariq dan Thariq tampak berpikir.
“Wati, saya mungkin memang hanya bisa membayar setengah dari gaji yang kamu ajukan, tapi jika perusahaan kita berkembang dan pekerjaan kamu bagus, saya bisa menaikkan gaji kamu. Nanti kamu memegang catatan keuangan sementara account keuangannya akan dipegang Kiki, jadi kalian harus bekerja sama nantinya.” Ucapan Thariq membuat Wati yang semula menunduk itu mengangkat wajahnya.
“A-apa itu berarti saya diterima bekerja di sini?” tanya Wati, sejujurnya dia menjadi tambah kurang percaya diri ketika berbincang dengan pria yang interview sebelumnya, yang memamerkan pengalamannya, yang datang interview dengan mengendarakan mobil sementara dia hanya mengendarai motor bututnya.
“Ya, kami akan menerima kamu, besok kamu sudah bisa langsung bekerja, dan Kiki akan menyiapkan kontrak kerja kamu,” ucap Thariq. Wati tampak terharu dan berdiri lalu membungkuk hormat seraya menyeka air matanya.
“Terima kasih Pak Thariq, bu Kiki, terima kasih banyak, saya berjanji akan bekerja dengan sangat baik,” ucap Wati.
“Panggil kami Mas, dan Mbak saja,” ucap Thariq. Wati mengangguk senang dan kemudian dia berpamitan ke luar ruangan.
Sepeninggal Wati, Kiki tampak tersenyum bangga ke Thariq yang langsung menerimanya.
“Setelah ini masih ada pelamar untuk bagian Editor, publikasi, advertising dan juga pengembangan IT,” ucap Kiki yang memang telah mengatur jam pertemuan mereka yang akan diadakan setelah makan siang.
“Hmmm hari yang panjang, minta Ibra pesan makan untuk kita berempat dulu Ki,” ucap Thariq.
“Empat?”
“Iya, untuk aku, kamu, Ando dan Ibra, jika nanti tim kita sudah full kamu buat grup chat agar kita lebih mudah berkomunikasi, saya ingin perusahaan ini dibangun atas dasar kekeluargaan,” ucap Thariq membuat hati Kiki menghangat, dia tahu sejak pertama bertemu, bahwa Thariq tidak hanya tampan namun juga sangat baik. Tipe ideal untuk dijadikan suami. Ups!
.
.
Nasi Padang menjadi pilihan menu makan siang pertama, tim pertama di kantor Finnix ini, ada pantry dengan meja yang didesign seperti meja bartender, juga sofa panjang untuk bersantai. Karena ada yang harus dilakukan, Thariq memakan makan siangnya di ruang kerjanya. Sementara Kiki makan bersama Ando dan Ibra. Kiki meminta mereka tidak canggung karena dia pun baru pertama kali bekerja seperti ini.
Mereka bertiga tampak mulai akrab dan berbincang. Tak terasa Kiki sudah menghabiskan makan siangnya, yang diketahui bahwa nasi Padang yang dibungkus itu biasanya memiliki porsi nasi yang sangat banyak, Kiki bahkan tidak menyisakan barang satu butirpun. Ando dan Ibra tidak berani berkata-kata karena Kiki tampak sangat menikmati makan siangnya, padahal Ando dan Ibra baru menghabiskan setengah.
“Mbak Kiki, mau dipesankan nasi padang lagi?” tanya Ibra meski agak tidak enak hati, dia khawatir Kiki masih lapar.
“Enggak, cukup Ib,” jawab Kiki yang sengaja tidak memanggil Bra karena seperti penyebutan pakaian wanita.
“Mbak, kalau ada yang mau dibeli atau apa bilang aku aja,” ujar Ibra.
“Siap, kalian habiskan makannya ya, aku mau lanjut lihat aplikasi pelamar yang mau interview,” ucap Kiki seraya membawa piring kotornya ke wastafel.
“Mbak, biar aku yang cuci,” ucap Ando membuat Kiki tersenyum lebar.
“Thank you Ando,” jawab Kiki seraya cengengesan karena terbebas dari mencuci piring.
“Sama-sama,” jawab Ando riang.
.
.
Hari sudah cukup malam ketika Kiki ke luar dari kantor, hujan cukup deras, dia berkata pada ayahnya agar menjemput saat hujan reda saja. Hari ini dia pulang cukup telat karena harus merampungkan kontrak untuk besok ditanda tangani oleh karyawan baru. Karena kantornya memang masih kecil Thariq berkata Kiki menjabat banyak pekerjaan, hanya Kiki yang bisa dia percayai untuk saat ini. karenanya dengan senang hati Kiki melakukan pekerjaannya, merangkap sebagai HRD, Finance, Admin dan lain sebagainya. Dia pun sangat semangat menjalaninya, dia merasa hidupnya mulai berwarna kini. Kesibukan membuatnya lebih semangat.
“Ki, bareng aku aja mau?” tawar Thariq.
“Tapi kan kita enggak searah, Mas,” ujar Kiki karena kemarin dia melihat mobil Thariq yang datang dari arah berlawanan.
“Saya ada keperluan di Selatan, enggak apa-apa, lagi pula sepertinya hujannya masih awet,” ucap Thariq.
“Beneran nih?” tanya Kiki memastikan.
“Iya, yuk,” ujar Thariq membuka payung yang dibawanya, Kiki masuk ke bawah naungan payung itu, Thariq justru memberi bagian Kiki lebih banyak meski bahu dia basah karena air hujan yang mengenainya. Thariq membuka kan pintu untuk Kiki dan membiarkan Kiki masuk lebih dahulu. Tak bisa dipungkiri perlakuan Thariq membuat jantungnya terus berdebar, dia bahkan menahan napasnya agar Thariq tidak bisa mendengar napasnya yang memburu. Setelah duduk di kursi penumpang, baru lah dia bisa bernapas lega. Thariq memutari mobil dan duduk dibalik kemudi.
“Kabari ayah kamu dahulu Ki, agar enggak perlu jemput,” ujar Thariq sambil menstarter mobilnya. Kiki baru teringat dia perlu mengabari sang ayah. Thariq memang paket lengkap, perlakuannya sangat baik dan perhatian membuat Kiki merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Bahkan Kiki merasa baru pertama kali diperlakukan dengan baik seperti ini.
Dia selalu saja mendapat perlakuan tidak adil dari para pria yang memandang wanita dari fisiknya saja. Terutama di tempat-tempat umum, membuat Kiki semakin malas ke luar dari rumahnya. Thariq menyetel radio untuk memecah keheningan, hujan masih mengguyur deras, suara musik klasik membuat suasana menghangat. Kiki tak berani memulai pembicaraan karena Thariq tampak serius menyetir kendaraan.
“Ki,” panggil Thariq, Kiki yang melamun pun tampak tergagap dan menoleh ke arah Thariq yang sudah meliriknya dan tersenyum lebar. Senyum yang sangat memikat.
“Besok pagi minta tolong Ibra untuk memesan makanan yang banyak, setelah semua karyawan menanda tangani kontrak, aku mau adakan meeting sebentar untuk memperkuat Tim, karena jika lancar semuanya akan lengkap besok kan? Anggaplah syukuran kecil-kecilan sekaligus penyambutan. Bagaimana?”
“Aku setuju saja sih, Mas, biar saling mengenal juga,” ucap Kiki. Thariq pun meminta tolong ke pada Kiki untuk mempersiapkan segalanya besok. Kiki tentu menyanggupinya dengan senang hati. Thariq bahkan mengantar Kiki sampai depan rumah karena hujan masih juga turun. Thariq tidak singgah karena ada keperluan dan rasanya tidak enak jika berkunjung seperti ini, waktu pun sudah cukup malam.
Kiki segera masuk rumah ketika mobil Thariq meluncur pergi, sang ibu sudah menunggunya seraya memberikan handuk.
“Ibu sudah masak air untuk kamu mandi,” ucap ibunya membuat Kiki merengek manja.
“Makasih, Ibu,” ujarnya seraya memeluk tubuh ramping sang ibu yang ukurannya tentu setengah dari dirinya.
“Hishh sudah sana mandi, habis itu makan, tidur,” tutur ibunya. Kiki mengangguk senang dan masuk ke kamar mandi. Ayah Kiki yang baru ke luar dari kamar itu turut duduk di ruang makan, menunggu istrinya menyiapkan makan malam mereka.
“Kiki lembur tapi kelihatan senang?” tanya sang ayah, mendengar Kiki bersenandung di kamar mandi.
“Bagaimana enggak senang kalau diantar bosnya pulang,” cetus sang ibu seraya terkekeh.
“Bosnya baik memang, sopan pula,” ujar sang ayah yang sempat bertemu dengannya. Kedua pasangan suami istri itu saling tatap lalu melihat ke arah pintu kamar mandi dengan wajah yang sedikit sedih.
“Semoga Kiki ah ... pokoknya semoga dia bahagia di mana pun dia berada,” doa tulus sang ibu.
“Ayah berharap, dia enggak lagi mendapat kesakitan dan perlakuan enggak adil, ayah senang melihatnya saat ini,” balas sang ayah. Ibunya hampir menitikkan air mata jika saja Kiki tidak ke luar dari kamar mandi dengan pakaian santainya yang ternyata sudah disiapkan juga oleh sang ibu.
“Kelihatannya serius? Bicara apa?” tanya Kiki seraya menarik kursi dan duduk. Wajahnya tampak memerah karena jerawatnya yang meradang.
“Kiki makan udang tadi?” tanya sang ibu menunjuk wajah Kiki.
“Enggak kok, memang belakangan parah lagi jerawatnya,” ucap Kiki.
“Enggak cocok sama bedaknya kali Ki,” ujar sang ibu seraya duduk di samping Kiki.
“Enggak tahu, Bu. Nanti saja lah gantinya belakangan lagi sibuk.” Kiki mengambil piring dan menyendok nasi sebanyak dua sendok nasi penuh.
“Jangan lupa oles cream jerawatnya Ki, tetap cuci muka jangan malas,” saran sang ibu yang diiyakan Kiki.
“Mau ke dokter kulit Ki? Ayah ada uang kalau hanya untuk ke dokter,” timpal ayah Kiki.
“Nanti saja kalau gajian, pakai gaji pertama,” kekeh Kiki seolah tak mau ambil pusing, masih ada hal yang perlu diprioritaskan kini. Melihat betapa antusiasnya Thariq membuat dia juga ikut bersemangat dalam bekerja, dia akan melakukan yang terbaik untuk Finnix karena dia yakin perusahaan ini akan maju jika mereka bersungguh-sungguh. Kiki merasa ada secercah cahaya masuk ke hatinya membakar api semangatnya dan dia tak ingin cahaya itu padam saat ini.
.
.