Begitu pulang dari pantai, Dela baru teringat akan uang baju peminatan yang belum ia bayar sampai sekarang. Uang bulanan yang biasa diberikan Alicia, akhir-akhir ini berkurang. Dela saja sering dibayarin Andin jika makan di kantin.
“Yah, ibu di mana?” Dela berdiri di samping sofa, bertanya pada Anton yang sibuk menonton televisi.
“Di dapur.”
Dela sedikit speechless mendengar jawaban Anton. Ibu-nya berada di dapur? Hampir 17 tahun lamanya, Alicia tidak pernah menyentuh dapur. Untuk minum saja, terkadang dia menyuruh Dela agar diambilkan.
Alicia terlihat sedang mengeluarkan ayam Mc’Donald yang baru saja ia beli. Pantas saja wanita itu mau ke dapur. Dia tak ingin membagi makanannya dengan Dela, maka dari itu dia sendiri yang melakukannya.
“Bu,” panggil Dela.
Alicia tersentak kaget. “Setan!” umpatnya. “Ada apa?” tanya Alicia, membalikan tubuh, fokus pada makanannya.
“Dela belum bayar uang baju peminatan, Bu.”
Suara dengusan Alicia terdengar. “Urusan sama ibu apa?”
Dela memilin jari telunjuknya. “Aku mau minta duit, Bu.”
Alih-alih mendengarkan Dela, Alicia malah berjalan menuju ruang tamu, di mana Anton berada. Dela menahan rasa sakit kakinya karena berjalan ke sana dan ke mari.
“Bu,” panggil Dela lagi.
“Apa sih?! Nggak sopan kamu, ya. Orang tua lagi makan kamu ganggu!”
Alicia menoleh tajam kala mendengar suara perut Dela yang minta diisi. Tadi, dia memang tidak sempat makanan bersama Dave karena takut dimarahin ibu-nya.
“Dela lapar, Bu. Boleh minta ayamnya satu?” kata Dela.
Tangan Dela yang terulur langsung ia pukul dengan kuat, menimbulkan bercak merah di sana. Air mata ingin jatuh, nama sebisa mungkin ia tahan.
“Kalau mau makan enak kerja bukan belajar!”
***
Tak mendapat jawaban dari Alicia tentang uang pembelian baju peminatan, Dela memasuki kamarnya. Duduk di lantai dengan melentangkan kaki, di sampingnya terdapat kertas-kertas yang harus Dela susun malam ini.
Matanya dengan cepat melihat urutan laporan yang sejak kemarin diberikan. Itu bukan laporan milik Dela, melainkan milik Revo.
Seperti biasa, laki-laki itu memang selalu memerintahkan Dela untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya. Jika tak selesai, Revo pasti akan marah besar.
Pernah dulu, Dela tak sempat mengerjakan tugas yang diberikan laki-laki itu karena harus sedang jatuh sakit. Begitu bertemu di kampus, Revo memarahi Dela dimuka umum, tak jarang dia menggcengkram pergelangan tangan Dela dan meremasnya dengan kuat.
Dela tahu dia berada di hubungan yang tak sehat. Banyak yang mengatakan itu. Tapi, tetap saja dia tak bisa lepas dari Revo, bahkan tak pernah berpikir untuk meninggalkan laki-laki itu. Dela terlalu terbiasa dengan semua hal yang ia rasakan.
Suara Anton yang memanggilnya, menyadarkan Dela dari lamunan. Dia menghela napasnya. Berharap kali ini Anton memanggilnya karena ingin memberikan uang baju yang ia minta tadi.
“Dela …,” jerit Anton lagi yang terdengar dari luar kamar.
Dela mendesah pelan, memijit pelipisnya pelan. “Iya, Yah,” jawabnya.
Dengan pelan-pelan, tangannya membuka pintu kamar, kemudian berjalan menuju Anton yang berkecak pinggang dan menatapnya dengan tajam di ruang tamu.
“Kenapa, Yah?” tanya Dela.
“Lama banget kamu jalan! Mulai Lumpuh?!” kata Anton dengan sinis.
“Kaki dan tangan Dela sakit, Yah. Luka-luka.”
“Halah, alasan aja kamu! Di mana baju hitam Ayah?” tanya Anton masih dengan posisinya seperti tadi.
Ya, semua baju memang Dela yang mengurus. Padahal dia sudah mencuci, menyetrika, dan menyusunnya di lemari kedua orang tuanya, tapi tetap saja mereka bertanya pada Dela.
“Baju kemeja atau kaus, Yah?”
“Kemaja, besok ayah dan ibu ada undangan tempat tante Lia. Kamu pasti pulangnya lama, karena sibuk melakukan hal yang tidak menghasilkan uang. Jadi, ayah tanya sekarang.”
Pupus sudah harapan Dela. Ayah dan Ibu-nya tak akan memberikan uang yang ia butuhkan.
“Di lemari, Yah,” jawab Dela.
“Nggak ada! Makanya kalau ngurus apa-apa itu yang benar.” Anton menoyor kepala Dela dengan kuat.
“Kamu kan nggak buat, punya mata dipakai! Letakin baju ditempatnya.!”
Dela menatap Anton dengan tatapan tajam. “Semua baju sudah aku letakan pada tempatnya. Ayah aja yang tidak pernah mencari bajunya sendiri, makanya tak tahu di mana letaknya.”
“Berani kamu melawan?”
Dela tak menjawab, dia hanya menatap Anton. Sudah lelah akan semua hal yang dia rasakan.
“Kenapa mata kamu begitu melihat ayah? Melawan sama orang tua kamu?”
“Orang tua?” tanya Dela yang diiringi dengan tawa yang terkesan merendahkan. “Siapa orang tuaku?” jerit Dela. Kali ini dia sudah tak memikirkan bahwa orang yang didepannya ini adalah pria yang membesarkannya meski dengan tanpa kasih saying.
“Sejak kapan kamu kami ajarkan berbicara begitu, Dela? Sekolah kamu tinggi tapi tidak bisa menghargai orang tua?” tanya Alicia yang sudah ikut berdiri di samping Anton.
“Sejak ibu dan ayah tidak menganggapku anak kalian!” ujar Dela sedikit berteriak.
Air mata yang sudah dia tahan sedari tadi, jatuh juga. “Apa pernah ibu anggap aku anak ibu? Apa pernah ibu dan ayah mikirin aku? Apa kalian pernah nanya aku baik-baik aja? Bahkan aku dirampok orang, tanganku luka, aku susah jalan, itu nggak kelihatan di mata kalian kan? Ayah dan Ibu tidak perduli itu kan?” tanya Dela dengan isak tangis.
“Dela!” bentak Alicia
“Kenapa, Bu? Kenapa Ibu cuma perduli dan sayang sama Kak Callista? Kenapa Ibu menganggap aku bukan anak Ibu setelah kepergiannya? Bukan aku yang bunuh Kak Callista, Bu. Bukan aku! Aku tau, aku yang salah. Tapi, aku juga nggak mau begini, aku nggak mau Kak Callista pergi!”
Alicia berdecih. “Alasan! Kamu pasti senang setelah membunuh anakku!”
“Lalu aku siapa, Bu? Aku siapa? Aku juga butuh kasih sayang Ibu. Aku butuh waktu untuk belajar. Apa pernah Ibu mikirin itu? Enggak, Bu! Ibu hanya bisa bertanya, kenapa belum masak? Kenapa bahan habis? Kemana baju Ibu? Kemana baju Ayah? Hanya itu, itu, dan itu!” Dela menutup kedua telinganya dan menjerit histeris. Sungguh dia lelah hidup begini.
“Tugas kamu memang itu! Saya nggak pernah minta kamu buat sekolah tinggi-tinggi! Kamu yang mau itu, buang waktu dan uang saja!”
Masih dengan air mata yang berurai, Dela tertawa. “Buang uang? Lihat sekarang, saat aku meminta uang untuk membeli baju peminatan, apa ibu memberinya? Ibu cuma memberiku 150 ribu perbulan. Aku yang mati-matian belajar buat dapatin beasiswa. Aku mati-matian menahan lapar di kampus, agar aku bisa membeli kertas untuk kuliah. Aku rela pulang berjalan kaki panas-panasan, agar uangku tetap tersimpan untuk membayar kebutuhan kuliah yang mendadak! Aku berusaha sendiri untuk hidupku, Bu! Tapi, Ibu tetap menyuruhku untuk mengurus pekerjaan rumah sendirian. Kenapa ibu begitu membenciku, Bu? Kenapa juga Ibu melahirkan aku di dunia ini? Kenapa, Bu? Kenapa!!!!”
Dela berlari menuju kamarnya, meninggalkan Anton dan Alicia yang hanya diam menatapnya. Bahkan melupakan bahwa kakinya yang masih terluka dan menimbulkan bercak darah di lantai
***
Setelah satu malaman menangis di dalam kamarnya. Pagi ini, begitu bagun Dela langsung menuju dapur, memasak makanan untuk keluarga yang entah masih pantas disebut keluarga atau tidak. Menu pagi ini nasi goreng kesukaan semua orang, ditambah telur mata sapi di atasnya. Dela menyusunnya dengan rapi di atas meja makan, tak lupa segelas kopi untuk Anton, dan teh hijau untuk Alicia.
Setelah selesai, Dela tersenyum miris. Berjalan menuju kamarnya untuk bersiap menuju kampus seperti biasanya. Dilihatnya jam yang bertengker di dinding, pukul enam lewat lima menit. Sangat cocok untuk keluar rumah dengan barang banyak yang akan dibawanya.
Sebelum meninggalkan rumah, Dela melihat rumahnya dengan senyum getir. Berjalan pergi meninggalkan rumah itu untuk selamanya mungkin.
Ini sarapan terakhir yang Dela buat, untuk seterusnya nggak akan ada Dela lagi di rumah ini. Ibu dan Ayah akan terbebas dari siksaan karena harus melihatku hidup, sedangkan anak kalian tidak. Dela tau kok kalau kalian nggak akan mungkin nyari Dela. Maaf, Bu, sekarang Maroon nggak bisa mengurus rumah lagi, Maaf, Bu.
Dela
Kertas yang berisi tulisan tangan itu, Dela tinggalkan di atas meja makan. Entah akan dibaca atau tidak, Dela tidak perduli lagi.
***
“Lo serius minggat dari rumah?” tanya Andin sedikit berbisik.
Dela menatap Andin. “Lebih tepatnya pergi untuk selamanya dari sana.”
“Kenapa?”
“Lo tau alasannya, Din. Gue ngerasa mental gue rusak kalau terus-terusan di sana,” jawab Dela dengan mata yang masih terlihat bengkak.
Andin merotasikan matanya, mengeluarkan semua buku yang dia perlukan. “Jadi maksud lo pacaran sama Revo nggak merusak mental?”
Dela menghela napasnya pelan. Bertahan tinggal di rumah dan menjalin hubungan dengan Revo sama-sama membuat mental Dela terguncang. Tapi, Dela belum siap sepenuhnya untuk lepas dari Revo. Hubungan mereka memang toxic, tapi Dela membutuhkan Revo.
“Terus lo mau tinggal di mana?” tanya Andin lagi, menopang dagu dengan satu tangan.
“Gue mau coba minta bantu Revo dulu, entar gue cari tempat tinggal kalau udah mulai kerja.”
“Jangan!” cegah Andin. “Ngapain lo minta bantu Revo coba? Kalau dia nawarin tinggal di rumahnya aja gimana?”
“Ya nggak masalah, Ndin.”
Andin mengulurkan tangannya, memeriksa jidat Dela, terasa panas atau tidak. “Kayak jiwa lo benar-benar rusak deh, Del. Lo bilang nggak masalah tinggal serumah sama Revo? Lo mau bunting dibuat tuh anak?”
Dela tampak berpikir, benar juga yang Andin katakan. Revo laki-laki yang tidak bisa menahan nafsunya. Kalau mereka tinggal bersama, bisa-bisa Dela selalu dijadikan bahan pemuas nafsunya.
***
Meski tampak ragu meminta bantuan Revo, tapi Dela tetap melakukannya. Setelah selesai kelas Administrasi Rumah Sakit, Dela berpamitan pada Andin dengan alasan mencari tempat tinggal. Tadinya, Andin sudah menawarkan indekosnya saja untuk Dela tempati sementara, tapi Dela menolak, merasa segan karena selalu merepotkan Andin.
Dela sudah mendial nomer Revo lebih dari lima kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Dengan koper yang besar, Dela duduk di kursi yang disediakan pihak kampus untuk dipakai para mahasiswa menunggu kelas.
Delavv
Vo, kamu di mana?
Tidak sampai lima menit, Revo sudah membalasnya.
Revooo
Maaf sayang, aku libuk sibuk. Nanti aku hubungi lagi, ya.
Dela menghela napasnya membaca balasan dari Revo. Sepertinya satu-satunya tempat untuknya adalah indekos Andin. Perempuan itu menarik kopernya, berjalan menuju pintu keluar.
Niat hati ingin segera cepat keluar dari kampus, tertunda kala Dela melihat Revo yang sedang bercanda dengan Angela. Mereka bercanda layaknya pasangan serasi yang terlihat sangat bahagia.
Dela memegang dadanya yang terasa sakit. Perempuan mana yang tak sakit hati melihat pacarnya bermesraan dengan perempuan lain? Dengan menahan air mata, Dela berjalan menuju perpustakaan, dan langsung memuju sudut ruangan yang gelap itu.
Dela memeluk lututnya, pundaknya bergetar. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Hidupnya begitu tidak beruntung. Keluarganya membencinya, dan Revo mengkhianatinya. Lalu, siapa yang perduli pada Dela?
“Lo bisa nangis nggak ngeluarin suara gitu?” Suara itu mengagetkan Dela, bahkan Dela hampir menjerit karena terkejut.
Ia menoleh ke samping kanan, melihat sosok Dave yang ikut berjongkok.
“Ini.” Dave melemparkan tisu di depan Dela
Dengan cepat Dela menyembunyikan wajahnya. “Gue nggak nangis.”
Dave mengangguk. “Iya, tau. Lo keringatan karena di sini panas kan? Air keringat lo sampek basahin pipi.”
Perempuan itu mengambil tisu yang diberikan Dave, mengelap sisa air mata yang ada di pipinya.
“Makasih.”
Dave mengangguk. “Kalau sakit jangan dipaksa.”
“Maksudnya?”
Dave mengindikan bahunya. “Lo dilahirkan ke dunia ini bukan untuk merasakan sakit, bukan untuk mencintai satu orang aja yang belum tentu jadi jodoh lo. Jangan bodoh!”
Dave berdiri. “Kalau uda siap nangisnya, dan lo mau makan, temui gue di kantin. Gue mau beli minum, kerongkongan gue gatal.”
Dela mengangguk saja. Mencoba mencerna arti kata-kata yang diucapkan Dave.
‘Lo dilahirkan bukan untuk merasakan sakit.’
“Bahkan keluarga gue sendiri yang ngasih rasa sakit itu, Dave.”
‘Lo dilahirkan bukan untuk mencintai satu orang aja’
“Tapi hanya Revo yang sayang sama gue, maka dari itu gue rela ngerasa sakit asal masih bersama Revo.”