dua

1322 Words
Setelah mengunci pintu dari dalam, Aku memandangi tubuh yang mereka bilang seperti gajah bengkak. Bukan lagi seperti gajah, tapi emaknya gajah, huhuhuhu. Mereka itu sangat kejam, padahal sama-sama gajah. Kalau bukan minder karena fisik, mungkin aku telah pergi meninggalkan keluarga ini. Cuma aku berfikir lagi, tidak mungkin ada lelaki yang mau denganku. Jadi mau tidak mau aku harus bertahan di rumah keluarga yang menjengkelkan. "Lihat saja dirimu! Dulu kamu sangat cantik saat kita menikah! Sekarang setelah menikah berat badanmu kian bertambah! Kamu malas merawat diri! Membuatku tidak betah di rumah! Jangan salahkan aku jika aku menduakanmu!" Cemohan Bang Bara kembali melintas di pikiranku. Apa yang dapat kukatakan selain membenarkan ucapannya? Memang pada kenyataannya seperti itu, hanya saja semakin Bang Bara menghina, membuat rasa percaya diriku menghilang dan pasrah dengan keadaan. Bukan hanya di keluarga ini aku dibilang gendut, bahkan dikeluargaku sendiri, mereka memanggilku Ndut. Seperti Ibu yang selalu menggoda "Diet kek jangan makan terus! Lihat tu badanmu sudah besar," goda Ibu. Bahkan abang dan iparku semua juga memanggil dengan sebutan gendut. Tetangga samping, depan, belakang rumah, mereka selalu menyebutku gendut. Pernah mendengar gosip tetangga. "Tiara suaminya tampan, tapi kok dia gak bisa rawat diri, gak takut apa suaminya kecantol janda." Bukan gak takut, aku sendiri pun tidak tahu kenapa seperti ini. Rasa-rasa tidak cocok bersanding dengan Bang Bara. "Ada banyak alasan mengapa sebuah pernikahan tidak berjalan mulus sehingga suami sampai tega menduakan bahkan sampai meninggalkan istri. Salah satunya bentuk fisik jadi alasan suami meninggalkan istri." Hah …! Ingin rasanya aku menjerit jika teringat kata-kata mereka. Sedih kalau dibilang gendut masal, tumbuh rasa minder, rasa sedih, sudah tahu aku gendut, bisa tidak jangan menyebutku seperti itu? Kelamaan candaan itu kurasa seperti bullyan untukku. "Tiara, coba deh luangkan waktumu untuk ikut GYM sambil diet, sambil minum Her****e gitu." Tiba-tiba aku terbayang ucapan Milka Kakak Iparku. ***** Setelah puas memandang tubuh di cermin, semangat untuk kurus berkobar hebat, tunggu tanggal mainnya Bang Bara. Aku bisa, aku pasti bisa, terkadang hinaan mampu memberi cambuk tersendiri. Tok …! Tok …! Seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya. "Ibu, ada apa?" tanyaku. "Kamu itu gak usah aneh-aneh mau kurus segala," ucapnya sinis. "Memang kenapa, Bu? Ibu cuma anggap Tiara babu di sini, Bang Bara juga mendua dengan alasan tubuh Tiara gendut, Bu. Tiara gak pernah cerita pada orang tua Tiara. Yang mereka tahu, Tiara hidup bahagia melihat tubuh Tiara yang besar. Padahal Tiara pun baru tahu kalau hanya dijadikan babu. Selama ini Tiara kira Ibu baik, ternyata …." Aku tidak melanjutkan ucapanku. Rasanya percuma saja. "Tapi percuma saja kalau kamu ngurusin badan juga! Gak bakal kurus Tiara! Ngaca!" sentak Ibu. "Lihat saja nanti, Bu. Ya udah, Tiara mau istrahat dulu, capek seharian jadi babu di rumah suami. Kembar juga udah tidur, waktunya Tiara pun tidur," ucapku "Kebo mah rajanya tidur, Bu!" celetuk Ida. "Haduh kalian ini, mulutnya gak bisa di saring. Mau ya, satu rumah sama kebo! Mending aku gemuk sehat Ida, lihat tubuhmu sendiri, jika kuinjak juga langsung patah," ucapku seraya menutup pintu. 'Ckkckcckkc' suka gitu mereka, gak mau sadar diri. Lebih baik sekarang aku beristirahat dan fokus untuk besok. **** Semalaman Bang Bara tidak pulang ke rumah. Agh sudah biasa, mungkin dia menginap di tempat Sandra itu. Setelah merapikan kebutuhan kembar, aku mengantarnya ke sekolah menggunakan sepeda motor matic. Dari sekolah, aku langsung menuju rumah Ibu. **** Sesampainya di rumah Ibu, aku melihat Bang Jaya dan Mba Milka sedang duduk santai di teras rumah. Setelah mengucap salam, aku duduk menghampri Mba Milka. "Tumben masih jam 08.00 pagi sudah main ke sini?" sapanya. "Ibu mana, Mba?" tanyku sambil menyomot kue bolu. "Woy, puasa! Udah gede juga," goda Bang Jaya. Mba Milka hanya cekikikan. "Gede juga suaminya sayang, ya-kan,Ra?" sahut Mba Milka. "Kalau gak sayang, gak mungkin Tiara bisa tumbuh subur seperti tanaman Ibu di halaman rumah, itu tu." Ibu menyambar seraya menggodaku dengan menunjuk tanaman Bougenville-nya. 'Haduh … setidaknya ucapan mereka tidak terlalu menyakiti seperti mertua dan suamiku.' "Bu, Tiara mau diet. Tapi gak punya uang," ucapku lirih. "Masa iya istri Bara gak punya uang," cetus Bang Jaya. Haduh … mereka kan tidak tahu kebenarannya. Mudah saja bagiku untuk pergi meninggalkan suamiku. Tapi, aku ingin melihat reaksinya jika aku berhasil menurunkan berat badanku nanti. "Tiara mau pinjam uang ya, Bu. Nanti kalau sudah kerja, Tiara ganti." ucapku lirih penuh permohonan. "Loh, suamimu kan banyak uang, kenapa kamu pinjam uang sama Ibu? Memang kamu gak dikasih uang sama suamimu?" selidik Ibu curiga. Aduh, aku harus jawab apa kalau seperti ini. "Jangan diam, Tiara. Jujur pada Ibu. Ibu dan Kakakmu tidak akan marah," lanjutnya. Terpaksa aku katakan pada Ibu bahwa mertua dan suamiku, tidak menyayangiku, mereka hanya menjadikan aku sebagai pembantu. Mendengar ceritaku, Ibu dan Bang Jaya menangis seraya tak percaya dengan apa yang kukatakan. Akhirnya, Ibu memberikanku uang untuk memulai program diet. Bukan tidak mensyukuri pemberian Sang Maha Pencipta, tapi perlakuan Bang Bara, Ibu mertua serta Ida sudah kelewatan. "Semangat, Tiara. Mbak Milka akan bantu kamu. Kalau perlu, selama program diet kamu tinggal saja di sini. Biar anak-anak berangkat sekolah dengan Wahyu." Wahyu adalah anak Mba Milka yang sudah menginjak bangku SMP. "Kembar bisa diantar jemput Mang Jaja. Jadi kamu tidak perlu khawatir, fokus sama perogram penurunan berat badanmu!" tandas Ibu. "Lihat kami! Kami sangat menyayangimu Tiara. Jangan pernah menjadi perempuan lemah, jangan mau kalau hanya dimanfaatkan. Kalau sudah tidak tahan dengan rumah tanggamu, urus saja perceraian kalian," lontar Bang Jaya. "Iya, Bang. Tapi Tiara mau memberi mereka pelajaran. Tiara sakit hati. Tiara mau lihat, sampai sejauh mana mereka memperlakukan Tiara secara tidak adil. Tiara mau lihat, reaksi mereka jika Tiara bisa bangkit, Tiara mau lihat, ketika Tiara sudah berhasil memiliki tubuh ideal dan menjadi wanita karir seperti Sandra," Terangku pada Bang Jaya. "Ya sudah, mulai besok kita lakukan program diet itu," ucap Mba Milka yang sudah sangat geram. "Jangan lupa, sementara waktu kamu tinggal saja di rumah ini," sambungnya. Melihat kekompakan Mba Milka dan Ibu, membuatku iri. Bagaimana tidak, mereka bisa akur, sedang aku? … Meski mencoba untuk mendekat, mertuaku mencari bahan untuk peperangan. Setelah lama mengobrol, waktu tidak terasa sudah pukul 11.00 waktunya aku menjemput anak-anak. "Bang, Mba, ibu … Tiara pulang, mau jemput kembar," pamitku. Dapat kulihat mereka masih ingin berbincang denganku. ***** Setelah menjemput Kembar, aku membawa mereka singgah di rumah makan Padang dekat rumah. Hari ini aku sengaja tidak memasak. Biar saja mereka kelaparan. "Kenyang, Bund." Kulirik piring mereka sudah kosong. Segera aku membayar ke kasir. "Nanda dan Nandi, ayok pulang," ajakku. "Siap, Nda." **** Sampai di rumah, wajah Ibu terlihat sangat judes. Takut kalau sampai si kembar mendengar, aku mneyuruh mereka untuk masuk ke dalam kamar. "Kemana aja kamu dari pagi? Keluyuran!" pekik Ibu membuat gendang telingaku sakit. "Ibu bisa gak suaranya dipelankan? Berisik." "Biar orang pada tahu, kalau kamu itu kerjanya cuma nggedein badan!" cemoh Ibu. "Sekarang kamu masak sana!" "Cela saja kekurangan fisikku, tapi nanti aku pasti bisa lebih sukses dari kalian." "Halah … sombong amat kamu! Buat jalan aja susah! Udah cepat mending ke dapur masak, sebentar lagi suamimu pulang memberi kejutan indah untukmu. Menantu tersayang." "Memang belum ada pembantu? Hari ini Tiara capek, Bu. Mohon maaf Tiara gak bisa masak. Bukan apa, niat ibu itu lho yang tidak baik, masa cuma mau manfaatin Tiara buat jadi babu aja. Kalau ibu lapar, beli makan aja di luar." Semenjak aku mendengar pembicaraan mereka, respectku pada Ibu mertua menjadi sedikit berkurang. Dan ia juga sudah menampakkan sikap aslinya. Pandai sekali menyimpan kebusukan untuk dapat terlihat baik. Yang keren darinya, selalu mampu bersikap baik pada Ibuku. Tapi bersyukur sekarang sudah kuketahui sifat aslinya. "Awas ya kamu, Tiara! Akan kuadukan pada Bara," ancamnya. "Silahkan, Bu. Bahkan aku tidak peduli apa yang akan Bang Bara katakan. Sudah cukup diamku selama ini," aku tersenyum sinis lalu meninggalkan Ibu yang masih termenung di ruang tamu. 'Maafkan aku, Ibu mertua. Menantu mana yang tidak kecewa mendengar ibu mertuanya berucap seperti itu.' Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa melupakan sikap buruknya. Sampai kapanpun, susah untukku melupakan semua hinaan-nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD