Bab 15. RDK

1186 Words
Ayah Jovanka semakin jauh melajukan mobilnya, bahkan melewati daerah perumahannya. Hal ini membuat Nyonya Nesa sebagai istrinya merasa kebingungan. Dia sama sekali tak pernah tahu akan ke mana suaminya membawa dirinya dan Jovanka pergi. "Loh, Yah. Kita mau ke mana ini?" tanya Nyonya Nesa. "Sudah diam saja!" bentak suaminya. Nyonya Nesa yang merasa takut saat suaminya murka, memilih untuk diam. Sedangkan Jovanka hanya merengkuh tubuh ibunya, sebab dia tahu sosok ayahnya yang keras tak akan tinggal diam dengan permasalahan seperti ini. Perlahan mobil bagus yang mereka kendarai menerjang pepohonan kecil masuk area perhutanan. Ibu Jovanka merasa khawatir dengan tindakan suaminya saat ini. Ayah Jovanka tak memperdulikan bagaimana keadaan mobilnya saat keluar dari sini nanti. Mulut Ibu Jovanka seakan-akan terkunci karena rasa takutnya. Semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan, semakin gelap suasana di sini. "Yah, kita mau ke mana?" tanya Jovanka memberanikan diri. Tempat yang begitu asing dalam penglihatannya. Dia hanya menatap setiap jengkal lingkungan yang tak pernah ia singgahi sebelumnya "Mau menjauhkan kamu dari kehidupan kami. Kamu memalukan, lebih baik kami tak memiliki anak seperti kamu jika hanya untuk mempermalukan kami seperti ini!" cecar Ayah Jovanka. Di dalam hati ayahnya begitu sakit, tapi hanya hal ini satu-satunya cara bagi dia untuk menyelesaikannya. Dia tak mungkin membiarkan Jovanka bersamanya, dalam keadaan seperti ini. "Ayah, apa maksud kamu seperti itu? Ini anak kita, Yah. Kok tega banget kamu seperti itu. Dia perlu dukungan kita, bukan malah kamu buang dia seenaknya sendiri. Aku nggak mau tahu, kita pergi dari sini!" bentak Nyonya Nesa. Dia tak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya saat ini. Bahkan, dalam hal ini Nyonya Nesa pun tak diajaknya untuk sekedar berembuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. "Hahaha, dia aja yang boddoh. Punya otak nggak dipakai. Sebelumnya itu mikir kalau mau tindak sesuatu, jangan seenaknya sendiri. Menyesal? Hahaha rasakan apa yang harus kamu jalani ke depannya," ujar ayah Jovanka terdengar tanpa belas kasihan. Tawa hanya untuk menutupi luka yang ia pendam. Sikapnya yang keras, tapi didalam hatinya juga memiliki rasa tak tega dan kasihan. Hal ia tutupi dengan sikapnya yang sangat tegas itu. "Iya, nggak apa-apa kok, Bu. Aku memang pantas untuk dibuang. Memang aku ini sampah, kok. Apa yang aku perbuat, memang harus aku yang bertanggung jawab untuk ini semua. Bukan kalian yang mendapatkan imbasnya," gumam Jovanka pasrah dengan keadaan. Bahkan, saat ini di otaknya terlintas untuk mengakhiri hidupnya. "Ayah, jangan. Kasihanilah putri kita ini, Yah. Buka hati nurani kamu," rengek Nyonya Nesa. Dia bak anak kecil yang meminta mainan kepada orang tuanya. "Apa yang sudah keluar dari mulutku, tak akan aku tarik lagi. Apa gang menjadi keputusanku, tak akan pernah kurubah lagi. Camkan itu!" tegas Ayah Jovanka. Jovanka dan Ibunya hanya bisa bungkam tanpa ada perlawanan lagi. Mereka sangat hafal bagaimana sosok laki-laki yang saat ini bersama mereka. Sosok orang yang tegas apapun itu konsekuensinya. Namun, Jovanka yang sangat mengenali ayahnya seperti itu, lupa jika itu juga berlaku bagi dirinya. 'Memang aku bodoh, Yah. Maafkan aku, kenapa aku harus mengenal kamu, Rey. Entah kamu Rey atau siapa, maksud kamu apa? Jahat banget ninggalin aku seperti ini.' "Yah, Jovanka sedang hamil. Lalu, nanti siapa yang akan merawat dia?" Nyonya Nesa merasa khawatir. "Tenang, bakal aku siapkan segala keperluan dia hingga melahirkan nanti. Dia boleh kembali ke rumah, jika sudah tak ada janin dalam kandungannya. Itupun dengan catatan, tubuhnya harus seperti saat ini. Ayah tak mau tahu, bagaimana dia merawatnya yang terpenting Ayah tak menginginkan janin itu tak bersamanya saat sudah lahir nanti," pinta ayah Jovanka. "Kenapa tak menggugurkan kandunganku saja, Yah. Kalau itu membuat Ayah dan Ibu bahagia, aku rela. Walaupun taruhannya nyawa, aku rela deki Ayah dan Ibu," ujar Jovanka. Ayah Jovanka tertawa terbahak-bahak. "Memang, Ayah tak menginginkan dia dalam kehidupan kita, tapi bukan berarti mengugurkannya. Ayah bukan pembunuh, yang buang janin begitu saja. Nanti ke depannya seperti apa kita lihat saja nanti. Ayah nggak mau, kamu sampai melukai perut kamu dan bahkan bunuh janin itu," tegas ayahnya. "Maksudnya gimana sih, Yah? Kamu tak ingin kehadirannya, tapi menolak untuk mengugurkannya. Mumpung janin itu masih kecil, berita ini belum tersebar. Kenapa nggak dibuang aja sekarang!" Nyonya Nesa menggunakan nada tinggi. Ayah Jovanka hanya siam, malas untuk menggubris celotehan istrinya. Beliau tak ingin, mengajarkan anaknya untuk lari dari tanggung jawabnya saat ini. Ayah Jovanka tak ingin mengajarkan anaknya untuk jadi seorang pembunuh apalagi darah dagingnya sendiri. Beliau hanya takut, apa yang saat ini terjadi akan terulang kembali. Jika Ayah Jovanka mengizinkan untuk menggugurkannya, ada kemungkinan juga ke depannya dia melakukannya kembali. Apa yang dilakukan Ayah Jovanka saat ini, hanya untuk melakukan efek jera dan bertanggung jawab dengan segala perbuatannya. Beliau memang tak ingin kehadiran anak Jovanka nantinya, tetapi beliau saat memikirkan siapa orang yang tepat untuk mendidiknya meski bukan dari golongan mereka. Bahkan, beliau juga berpikir menyiapkan segala sesuatu untuk masa depan anak itu hingga dewasa nanti. Tetapi, hal ini sengaja disembunyikan tanpa anak dan istrinya tahu. Semakin jauh mobil ini masuk ke dalam hutan, Jovanka dan ibunya hanya bisa pasrah dengan keadaan saat ini. Tak begitu jauh dari tempatnya saat ini, terlihat rumah besar di tengah hutan. "Rumah siapa, Yah?" tanya Jovanka. "Rumah milik Ayah. Nggak ada orang yang tahu kecuali Ayah dan beberapa pengawal kepercayaan Ayah. Kamu mulai hari ini dan seterusnya akan tinggal di sini." Ayah Jovanka menghela napas. "Mau nggak mau ini adalah bentuk hukuman buat kamu. Ini bentuk kasih Sayang Ayah, sebab tak membiarkanmu lontang lantung di jalanan seperti orang gila." "Tapi, Yah. Kenapa harus di tengah hutan? Di rumahkan juga bisa?" sahut ibunya Jovanka. "Sudahlah, kalian diam dan ikuti saja. Turun!" bentak Ayah Jovanka. Rumah mewah ini terlihat kotor dan tak terawat. Dedaunan jatuh dan berserakan di halaman dan bahkan teras rumah ini. "Yah, aku tinggal sama siapa saja? Di sini kalau ada binatang buas bagaimana?" Jovanka merasa ketakutan. "Kalau ayah sudah menyiapkan semuanya di sini berarti semua aman. Dan bahkan tak akan ada satu orang pun yang tahu kecuali kita sendiri. Rumah ini, tak akan nampak jika bukan kita yang mengizinkan masuk, jadi jika ada binatang buas pun tak akan tahu keberadaan kalian saat ini," ujar Ayah Jovanka. "Tapi, Yah," elak Jovanka. "Sudah nggak usah protes aja. Kalau kamu mau hukuman lebih untuk kamu ya silahkan," ujar Ayahnya dengan tegas. Jovanka pun segera menutup mulutnya dan mengekor di belakang ayahnya. Pintu pun terbuka dengan sendirinya. Gelap dan pengap yang pertama kali mereka rasakan. "Kamu yakin, nyuruh anakmu tinggal di sini? Sembilan bulan bukan waktu yang sebentar, loh," ujar Nyonya Nesa berharap suaminya terketuk hatinya. Entah mengucapkan apa, ayah Jovanka mengangkat tangannya tiba-tiba lampu tiba-tiba nyala sendiri. Jovanka dan ibunya hanya terperangah karena tingkah ayahnya. "Yah, lalu malam ini aku sendirian di sini?" tanya Jovanka sembari matanya mengelilingi sudut ruangan ini. "Nggak, nanti ada teman untuk kamu dan dialah yang akan melindungimu. Dia juga, yang akan melaporkan segala kegiatanmu di sini pada ayah. Garis bawahi, Ibu dan Ayah tak akan pernah ke sini hingga kamu waktunya kembali ke rumah. Ini hari terakhir ketemu semasa kamu hamil!" tegas ayahnya. Meski dalam lubuk hatinya merasa tak tega, tapi ini semua dilakukan demi kebaikan dirinya di kemudian hari. Dia tak ingin anaknya dipandang sebelah mata karena aib yang sudah ia lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD