Sesampainya di rumah, Adelio dengan berjalan perlahan masuk ke dalam rumahnya. Dia bingung harus memulai bicara seperti apa saat berbicara kepada kedua orang tuanya. Merek terlihat sangat menyayangi Jovanka seperti layaknya keluarga sendiri, apalagi dia anak dari teman ibundanya.
"Adelio," panggil ibunya saat dia baru masuk ke dalam rumah.
Adelio menoleh ke arah ibunya. Dia berjalan menghampiri dengan menghela napas panjang.
"Iya, Bu. Kenapa?" tanya Adelio.
"Sini ikut, Ibu. Tadi, Ibu sengaja memintamu untuk menjemput sebab ingin meminta pendapatmu soal ini." Ibunda Adelio mengajaknya masuk ke dalam beliau. Kemudian menyerahkan sepaket baju kebaya bernuansa warna hijau.
"Apa ini, Bu?" tanya Adelio.
"Itu untuk Jovanka. Kalian sebentar lagikan mau tunangan, tadi Ibu juga lihat-lihat di toko cincin barang kalian mau ke sana." Ibu Adelio memberitahukannya.
"Bu, aku bingung harus mau ngomong gimana sama Ibu." Adelio bingung kala ingin mengatakannya.
"Ada apa? Apa di rumah sakit itu ada hubungannya dengan Jovanka.
Adelio menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, Nak? Ceritalah," pinta Nyonya Lynn.
Adelio terdiam. Dia tak mau melihat ibundanya kecewa. Apalagi melihat ibundanya menyiapkan pakaian yang istimewa untuk calon menantunya.
"Adelio, kenapa?" tanya Nyonya Lynn.
"Bu, sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu. Aku dan Jovanka tak bisa melanjutkan hubungan ini. Bukannya aku tak sayang kepadanya, tetapi ada hal lain yang mendasarinya," ujar Adelio belum menjelaskan dengan detail.
"Ada apa sebenarnya? Ibu beneran nggak paham," ujar Nyonya Lynn.
Adelio tak dapat membendung air matanya. "Dia hamil dengan laki-laki lain, Bu. Kurang apa sih, aku ini? Aku sayang sama dia. Kenapa dia tega menghianatiku?"
Nyonya Lynn terkejut. Dia nggak menyangka Jovanka seperti itu.
"Kamu tahu dari mana, Nak? Apa itu sudah pasti?" tanya Nyonya Lynn.
"Sudah, Bu. Tadi, aku waktu akan menjemput Ibu, lewat taman kota. Di sana aku melihat Jovanka dengan pria lain. Awalnya aku berpikir positif dan menghampirinya sebab melihat dia menangis. Namun, saat di dekatnya aku terkejut kala harus mendengar dari mulutnya sendiri jika dia mengandung," jelas Adelio.
"Astagfirullah," ujar Nyonya Lynn dengan cekatan merengkuh tubuh anaknya. Beliau kecewa dengan Jovanka, tak menyangka dia yang terlihat baik dan polos seperti itu kelakuannya. Mungkin, jika perpisahan mereka karena Jovanka menolaknya pelan-pelan atau pergi tanpa mendengar seperti itu, mungkin rasa kecewa tak sebesar itu. Apalagi, dia anak dari sahabat baiknya.
Nyonya Lynn melepaskan pelukannya, lalu meraih ponsel yang ada di mejanya.
"Ibu ngobrol sama ibunya Jovanka, sayang. Ibu kecewa banget rasanya," ujar Nyonya Lynn.
"Apa lagi aku, Bu. Aku ikut Ibu saja bagaimana baiknya. Sakit banget ya, Bu. Dia cinta pertamaku, entah kenapa malah seperti ini. Dulu, kukira dia akan menemaniku sampai nanti. Ternyata, kita tak bisa mengharapkan seseorang yang baik kepada kita. Kukira, jika orang itu baik dan terlihat tulus, memang memiliki sifat yang seperti itu, tapi kelihatannya aku salah besar." Adelio mengungkapkan rasa kecewanya.
---
"Halo," ujar ibunya Jovanka.
"Halo, gimana kabarnya, Nes?" tanya ibunya.
"Alhamdulillah, kenapa Lynn? Kok tumben," tanya ibunya Jovanka bernama Nesa.
Nyonya Lynn menatap anaknya terlebih dahulu. Adelio matanya memerah, karena masih terlihat menitikkan air matanya. Beliau memilih menghela napas panjang.
"Nes, kita berteman baik, jangan sampai pertemanan kita hancur karena suatu hal, ya. Maaf, jika hubungan Adelio dan Jovanka harus berhenti di sini. Apa alasanya, jangan sampai kita pecah, ya," pinta Nyonya Lynn.
"Kenapa, Lynn? Apa Adelio menemukan seseorang yang lebih dari Jovanka? Tapi kenapa harus mendadak? Apa nggak bisa dibicarakan lagi?" tanya ibunya Jovanka.
"Nggak, bukan Adelio tetapi Jovanka. Hem, nanti coba tanyakan ke dia, ya. Dia tahu kok apa yang terjadi, minta di jelaskan semuanya. Kami tetap berperilaku baik, kok. Cumq anak kita yang ada masalah, kalau kita jangan sampai. Kamu tanyakan ke dia, ya. Kita sebagai orang tua, kalau bisa sebagai penengah jika mereka ada masalah. Maaf nggak bisa jelaskan, takutnya kami yang kecewa malah keluar pikiran jelek. Mending kamu mendengar dari mulut Jovanka, ya. Bye Nesa." Nyonya Lynn memutuskan panggilannya.
-----
Di rumah Jovanka, ibunya bingung dengan maksud dari temannya itu.
"Apa sih, Lynn? Sumpah nggak paham," gumam Nesa ibunya Jovanka.
Beliau segera menghubungi Jovanka kala Nyonya Lynn memutuskan panggilannya. Ponsel Jovanka dapat dihubungi, entah kenapa dia sama sekali tak meresponnya.
"Kemana sih, ini anak?" Ibu Jovanka bertanya- tanya.
"Kenapa sih, Bu?" tanya ayah dari Jovanka.
"Ini, Yah. Si Lynn, tadi menyampaikan jika hubungan antara anak kita berdua nggak bisa dilanjutkan, tapi alasannya nggak dia jelaskan," ujar Nyonya Nesa kepada suaminya.
"Loh, ada masalah apa? Adelio sudah punya wanita lain, kah?" tanya ayah Jovanka yang terkejut.
"Nah itu, dia bilang nggak karena Adelio ada yang lain, tetapi malah Jovanka. Lynn minta kita dengar langsung dari mulut anak kita, sebab jika yang menjelaskan pihak mereka takut keluar omongan yang terdengar menjelekkan Jovanka," ujar Nyonya Nesa.
"Hubungi Jovanka sekarang. Kok bisa-bisanya dia menyia-nyiakan Adelio seperti itu. Ayah pengen tahu kejelasannya," pinta ayah Jovanka sedikit emosi.
Mereka berdua mencoba menghubungi hingga berkali-kali namun tetap tak ada jawaban dari Jovanka.
"Kemana ini anakmu, Bu? Minta pengawal mencarinya sampai ketemu. Kalau ada masalah malah ngilang, Ayah paling nggak suka. Ngobrol yang bagus, apapun keputusannya oke kita terima. Lah tapi, kalau menghilang menunjukkan dia itu bersalah. Aku nggak enak dengan keluarga Alberic dan Lynn." Ayah Jovanka melangkahkan kaki menghampiri para oengawal di rumahnya. Dia meminta untuk mencari Jovanka hingga ketemu. Dia pun ikut mencari, sebab di sisi lain tak hanya karena masalah itu, tapi takut terjais apa-apa dengan anak gadisnya.
Nyonya Nesa dan suaminya, mengendarai mobil sendiri mencari ke penjuru kota. Sedangkan pengawalnya beberapa ada yang mengikutinya dan sebagian di cari di tempat yang berbeda.
***
Sedangkan Jovanka, saat ini dia duduk di dalam mobil di taman kota. Dia menangis tersedu-sedu melihat kenyataan yang ada. Pria yang sudah mengambil semua masa depannya, malah pria b******k yang tak mau tanggung jawab. Sedangkan seseorang yabg sangat tulus mencintainya justru ia sia-siakan.
Jovanka merasa menyesal dengan kelakuannya. Dia tak tahu harus berbuat apa dengan semua ini. Anak yang ia kandung, tak punya salah namun Jovanka merasa kehadirannya tidak tepat untuk saat ini.
Jovanka sebelumnya berpikir, jika kehadiran ini akan mengekalkan dengan pria yang hadir di tengah hubungannya dengan Adelio, tetapi justru apa yang ia harapkan tak sesuai kenyataan.
"Memang kesalahan terbesarku mengenalmu. Kenapa kamu hadir dengan seolah-olah mencintaiku dengan tulus sehingga aku menduakan orang yang selama ini menemaniku. Aku kira kamu tulus, tapi nyaatanya kamu modus. Brenggsek kamu Rey!" sesal hanya tinggal sesal. Apa yang ia lakukan sudah menuai hasilnya.
Jovanka menangis dan berteriak menghadapi semua ini. Sedangkan Rey kekasih keduanya hanya tersenyum dan meninggalkannya seolah-olah tak terjadi apapun.
"Memang aku boddoh. Rey, aku benci kamu!" teriak Jovanka lagi.
Jovanka memukul perutnya, berharap semua yang ia alami hanya sekedar mimpi.
"Kenapa kamu hadir di hidupku, jika hanya menjadi tamu yang hanya singgah sekejap dan tak bisa tinggal bersamaku. Aku benci dengan mulut busukmu!" teriaknya lagi.