Part 20 : Kebohongan

1877 Words
Luisa memandangi cincin berwarna putih yang melingkar di jarinya. Untuk kesekian kalinya hari ini, Luisa tersenyum sendiri. Dia bahagia, sangat. Sepanjang hari gadis itu tersenyum. Meski sedang bekerja serius sekalipun. Teman-temannya jadi heran sendiri melihat tingkah lakunya. "Elah... pantengin aja terus tuh cincin! Gue sumpahin ilang baru tau rasa!" cibir Riska saat melihat Luisa tak henti memandangi cincinnya sambil senyam-senyum tidak jelas. Luisa mengerucutkan bibirnya. "Jahat lo!" Riska terkikik. Begitu pula dengan Desy dan Mona. Dua gadis itu geleng-geleng melihat kelakuan Luisa. Riko yang baru datang dari luar ruangan mengernyit melihat mereka. "Ada apa sih?" tanyanya. "Temen lu tuh, Ko! Baru dikasih cincin sama pacarnya!" Desy menunjuk Luisa dengan dagunya. "Beneran Sa? Lo punya pacar?" Luisa mengangguk cepat sambil tersenyum bahagia. "Iya dong, Ko. Bentar lagi gue mau dilamar sama dia." "Wah... ketinggalan berita nih gue. Pacar lo orang mana? Eh... bener kan dia orang?" gurau Riko. Luisa melotot geram. "Kurang ajar!" desisnya. Gadis itu melempar sebuah map ke arah Riko. Diiringi tawa renyah ketiga temannya. "Sorry, Sa. Gue kan cuma bercanda! Jangan diambil hati kek!" Riko mencoba mendekati Luisa yang sedang manyun seraya menatap lurus ke arah laptopnya. "Bercanda lo nggak lucu tau nggak!" sergah Luisa sembari memukul-mukul badan Riko. "Jangan ketawa! Awas ya! Ntar kalo gue nikah, kalian nggak bakal gue undang!" ujar Luisa mengancam teman-temannya yang sedang menertawakannya. Gadis itu memberengut kesal. Memfokuskan pandangannya ke layar komputernya. Tidak lagi menghiraukan suara tawa teman-temannya. Moodnya yang sangat bagus sejak tadi kini hancur sudah. Suara telepon di meja Luisa berdering. Dengan cemberut, Luisa mengangkat teleponnya. "Hallo!" sentaknya galak pada si penelepon. "Luisa?" Luisa langsung tergagap. Gadis itu buru-buru memperbaiki nada suaranya yang sengak tadi saat mendengar suara bosnya. Gadis itu menoleh pada teman-temannya lalu berbisik pelan, "Pak Raka udah balik dari Singapore ya?" tanyanya. Riska mengangguk sembari terkikik. "Iya. Fans lo udah balik tadi pagi!" jawabnya. Luisa mendesah kasar. Kembali menguping gagang telepon. Gadis itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Raka. "Kamu kenapa marah-marah? Kayaknya lagi bad mood ya?" Luisa meringis kecil. "Iya, Pak. Habis digangguin anak-anak nih. Maaf ya, Pak. Saya tadi nggak sopan." "Gapapa, Sa. Oh iya, kamu bisa ke ruanganku sekarang kan?" "Bis-" Belum sempat Luisa menyelesaikan ucapannya, Raka menyela, "Aku kangen sama kamu." Tubuh Luisa pun membeku. Dia kaget mendengar ucapan Raka. "Sa? Luisa? Kamu masih disana?" Luisa tersentak. Gadis itu buru-buru menjawab, "I-iya Pak." "Kamu kesini ya, sekarang!" "Baik, Pak. Saya kesana sekarang," ujarnya lirih. Luisa menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi setelah menerima telepon dari Raka. Hatinya langsung terasa gelisah. Dia jadi malas, enggan bertemu Raka. Tapi meskipun begitu, Luisa tetap memenuhi panggilan Raka. Gadis itu bergegas menuju ke ruang kerja Raka. Kedatangan Luisa ke ruangan Raka, rupanya membawa kebahagiaan bagi pria itu. Terbukti dari senyuman lebarnya saat melihat Luisa. "Saya boleh masuk, Pak?" Raka mengangguk mantap. "Masuk, Sa!" ucapnya. Luisa masuk sembari memasang senyuman kaku. Dia sadar jika Raka memperhatikannya secara intens. Karena itulah dia merasa tak enak hati. Gadis itu tersetak kaget saat secara tiba-tiba Raka menghampiri, lalu memeluknya erat. Luisa terpaku di tempatnya. "Aku kangen banget sama kamu, Sa," bisik Raka di telinga Luisa. Luisa mencoba melepaskan pelukan Raka dari tubuhnya. Namun Raka makin memeluknya erat. Gadis itu kembali mendorong tubuh Raka. "Maaf, Pak. Jangan kayak gini! Nggak enak kalo ada yang liat," ujarnya. Raka menggeleng pelan dengan masih memeluk Luisa. "Gapapa. Tolong jangan menghindar! Aku bener-bener kangen sama kamu," ucapnya. Gadis itu tertegun saat Raka mengecup pelipisnya dengan lembut. Luisa refleks mendorong Raka untuk menjauh. Buru-buru gadis itu berbalik, akan keluar dari ruangan Raka. Namun pria itu terlebih dahulu menahan lengannya. "Kamu mau kemana?" Raka menarik Luisa agar kembali mendekat. "Saya mau balik kerja, Pak." Luisa menepis tangan Raka yang memegang pundaknya. "Kamu nggak usah kerja hari ini. Soalnya aku mau ngajak kamu jalan. Kamu mau kan?" Luisa terbelalak. Cepat-cepat gadis itu menggeleng kencang. "Maaf, Pak. Saya nggak bisa!" tolaknya. Raka mengernyit. "Emangnya kenapa?" Luisa membuang pandangannya ke samping. Enggan bertatapan dengan Raka. "Saya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Pak." Rak tersenyum tipis. Pria itu mengambil tangan Luisa kemudian menggenggamnya erat. Raka makin mengeratkan genggamannya saat Luisa mencoba melepasnya. "Kamu nggak perlu khawatir masalah kerjaan. Kamu nggak kerja pun nggak bakal ada yang berani marahin kamu. Termasuk aku," ucapnya. Raka mencium punggung tangan Luisa dengan lembut. Pria itu tersenyum meski Luisa tak mau menatapnya. "Ayo ikut aku! Kita jalan!" ajaknya sembari menarik tangan Luisa. "Tapi, Pak..." "Aku nggak terima penolakan! Atau kamu aku pecat!" Raka tersenyum geli saat akhirnya Luisa menyerah. Gadis itu mengikuti kemauan Raka. Mereka berjalan sambil bergandengan memasuki lift. Sepanjang jalan menuju ke tempat parkir, Raka menggenggam erat tangan Luisa. Tidak melepaskannya sedikitpun. Dan itu sukses membuat Luisa risih. Namun meski begitu dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan Raka. *** "Yang ini kayaknya cocok deh buat kamu. Coba ya?" Luisa hanya diam tak menjawab saat Raka menyodorkan sebuah gaun kepadanya. Gadis itu menghela nafas lelah karena sejak tadi Raka begitu memaksa membelikan baju baru untuknya. Gadis itu masuk ke kamar ganti sambil membawa gaun pilihan Raka. Tak sampai lima menit, Luisa keluar dengan memakai gaun panjang berwarna peach tanpa lengan dengan pita berwarna hitam di pinggangnya. Raka tersenyum lebar melihat penampilan Luisa yang begitu sempurna. Gaun itu membalut indah tubuh ramping Luisa. Terlihat begitu manis di kulitnya yang putih bersih. "Kita ambil yang ini ya?" ujarnya. Luisa hanya diam tidak menjawab. Gadis itu kembali ke kamar ganti untuk melepas bajunya. Hatinya dongkol setengah mati. Kenapa juga Raka harus kembali dari Singapore dan merusak harinya? Harinya yang terasa begitu indah karena Al. Luisa kembali tersenyum saat mengingat Al. Mengingat betapa manisnya pria itu. Gadis itu merogoh saku celananya. Mencari ponsel miliknya. Dia berniat mengirim pesan singkat untuk Al. Dia rindu pada pria itu. Pesan Luisa kepada Al pun terkirim. Tak lama ponselnya berkedip. Menandakan ada pesan masuk ke ponselnya. Ya Sayang? Kenapa? Kamu udah makan siang? Luisa tersipu malu saat membaca pesan Al. Pria itu benar-benar manis kan? Luisa mengetikkan balasan ke nomor Al. Belum. Aku masih ada pekerjaan. Send. Tak lama balasan pesan kembali dia terima. Jangan lupa makan siang ya! Jangan sampai kamu sakit! Siap Pak Dokter! Ntar sore aku jemput ya! Aku mau ngajakin kamu makan malem sama keluargaku. Luisa tersenyum senang. Dengan cepat gadis itu membalas pesan Al. Oke! Apasih yang nggak buat Pak Dokter? Gadis itu terkikik sendiri saat membaca pesan yang dia kirimkan untuk Al. Kenapa sekarang dia jadi suka menggombal ya? Gombal deh! Harusnya yang gombalin itu aku, bukan kamu! Ye... gapapa dong. Sekali-sekali aku yang gombal. Ya deh. Aku juga suka kok. "Sa...." Luisa mendesah kasar. Belum sempat dia mengetikkan pesan balasan untuk Al, Raka sudah memanggilnya. "Ganggu aja sih!" gerutu Luisa. "Luisa?" Luisa segera keluar dari ruang ganti dengan muka kesalnya. Raka mendesah panjang. "Kamu ngapain aja di dalem? Kenapa lama banget?" tanyanya. "Maaf. Tadi resletingnya macet," jawab Luisa asal. "Apa perlu kita ganti aja gaunnya?" Luisa menggeleng cepat. "Nggak usah, Pak. Itu aja gapapa," tolaknya. "Beneran? Kalo kamu mau, kamu bisa pilih lagi." Pilih lagi? Dan menghabiskan waktu lagi? Sampai kapan dia akan berada disana? Berdekatan dengan Raka membuatnya gerah. Dia risih, ingin segera pulang. "Itu aja!" Luisa berjalan menjauh dari Raka. Lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan oleh butik. Dia lelah karena Raka mengajaknya berkeliling Mall. Dan membelikan sepatu juga tas mahal untuknya. Sebenarnya Luisa sudah menolak, tapi Raka terus memaksa. Pria itu benar-benar semaunya sendiri. Dan itu sangat menyebalkan untuk Luisa. *** "Ayo!" Raka menarik tangan Luisa. Mengajak gadis itu untuk masuk ke sebuah salon. Luisa menahan tangannya. "Kita mau ngapain kesini?" tanyanya. "Mau makan!" Raka terkekeh melihat wajah bingung Luisa. Pria itu mengusap dahi Luisa yang berkerut. "Aku pengen kamu didandanin Sa. Soalnya aku mau ngajak kamu makan malam," ujarnya lembut. Mata Luisa membulat kaget. "Kok Pak Raka nggak bilang-bilang mau ngajak makan malam?" protesnya. Raka mengendikkan bahunya sekilas. "Kan aku udah bilang barusan," balasnya. "Tapi saya ada janji, Pak. Saya harus pulang sekarang!" ujar Luisa. Raka menggeleng cepat. Menarik tangan Luisa untuk masuk ke dalam salon. "Ajakan saya nggak bisa ditolak!" "Tapi Pak..." "Kamu udah bosen kerja di Indo Milan?" ucap Raka sembari menatap tajam Luisa. Wajah Luisa tertunduk. Dia menghela nafas panjang. Menyerah akan ancaman Raka. Luisa pun mengangguk setuju. Raka tersenyum senang. Dia mengajak Luisa masuk ke salon tersebut. Al, kayaknya aku nggak bisa makan malem bareng kamu deh. Aku lembur hari ini. Luisa mengirim pesan singkat pada Al. Tak lama balasan pesan dari Al muncul di ponselnya. Ya udah gapapa. Kamu jangan lupa makan ya! Nanti pulangnya aku jemput! Nggak usah, Al. Aku pulang bareng Mona. Dia juga lembur hari ini. Luisa menggigit bibir bawahnya dengan kencang. Dia merasa bersalah sudah membohongi Al. Tapi biarlah, daripada dia dipecat nanti. Luisa berjanji akan menjelaskan pelan-pelan pada Al. Pria itu pasti mau mengerti keadaannya. Tapi itu nanti, karena saat ini, Luisa harus menghadapi si pemilik negeri Api yang tak henti tersenyum padanya itu. Luisa hanya bisa pasrah saat rambutnya ditarik sana-sini oleh salah satu pegawai salon. Hingga sekitar satu jam kemudian, Luisa selesai didandani. Wanita itu ternganga melihat bayangannya di cermin. "Kaget?" Luisa tersentak kaget saat melihat Raka yang tiba-tiba berada di belakangnya. Pria itu mengelus punggung Luisa dengan lembut sembari tersenyum. "Kamu cantik. Aku nggak salah pilih ternyata." Luisa menoleh pada Raka. Mengernyit mendengar ucapan Raka yang terasa janggal di telinganya. "Sekarang kamu ganti baju ya! Dan pakai sepatu yang tadi aku beliin!" bisik Raka di telinga Luisa. Gadis itupun langsung menurut. Tak perlu Raka mengulang ucapannya, Luisa bangkit menuju kamar ganti. Dia memang sedang malas menuruti perintah Raka. Tapi lebih malas lagi kalau mendengar Raka berbicara. "Pak..." Luisa berdiri di hadapan Raka setelah mengganti bajunya. Hal itu sontak memancing reaksi Raka. Pria itu sontak berdecak kagum melihat kecantikan Luisa. Raka tersenyum bangga melihat penampilannya. Dia memang benar-benar pintar mencari pasangan. Pria itu berharap dengan mengenalkan Luisa pada kedua orang tuanya, gadis itu tidak lagi bisa menolak Raka. Dia berfikir nanti Luisa pasti sungkan menolak dirinya di depan orang tuanya. Jadi Raka nanti akan melamar Luisa di hadapan mama dan juga papanya. Raka yakin taktiknya kali ini pasti berhasil. "Yuk!" ajak Raka. Luisa diam tak menjawab. Gadis itu berjalan mengekori Raka. Menuju ke mobilnya kemudian melesat meninggalkan halaman depan salon. *** Raka berjalan memasuki sebuah restoran mewah sambil menggandeng Luisa. Gadis itu terlihat canggung saat masuk kesana. Luisa yakin harga makanan disana pastilah sangat mahal. Matanya berkeliling, menjelajahi seluruh sisi restoran itu. Sementara Luisa mengagumi bangunan indah restoran itu, samarsamar dia mendengar Raka berbicara dengan seorang pegawai restoran. "Sa..." Raka mengagetkan Luisa yang asyik mengagumi restoran itu. "Ya?" "Itu meja kita disana!" Raka menunjuk pada sebuah di sudut restoran. Ada beberapa orang disana. Mendadak jantung Luisa berdebar-debar. Gadis itu menatap Raka lekat. "Pak Raka ngajak teman juga buat makan bareng?" tanyanya. Raka tersenyum tipis pada Luisa. "Aku undang orang tuaku buat makan malem bareng kita," balasnya seraya menarik tangan Luisa menuju kesana. Mata Luisa membulat. Gadis itu sudah hampir membuka mulutnya hendak memprotes tindakan Raka, namun keburu matanya menangkap sesuatu. "Ma, Pa, Al, kenalin! Ini Luisa, perempuan yang Raka ceritain waktu itu!" ucap Raka dengan lancarnya. Jantung Luisa berdebar kencang. Lidahnya terasa kelu. Matanya terbuka lebar melihat wajah-wajah yang sangat dia kenal. "Luisa?" Mata ketiga orang yang diperkenalkan oleh Raka sontak membulat, tak kalah kagetnya dengan Luisa. "Apa-apaan ini!" seru papa Raka dengan nada tinggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD