Chapter 18 : Dua hati yang tersakiti

2522 Words
Al tersenyum lebar saat melihat wajah cantik Luisa di depan pintu ruangannya. Pria itu pun memberi isyarat agar Luisa masuk. Luisa membalas senyuman Al dengan pipi bersemu merah. Gadis itu melangkah masuk dan duduk di sofa ruang praktik Al. "Lagi sibuk banget ya?" tanyanya seraya meletakkan sebuah rantang dia atas meja. Al mengangguk pelan. "Iya. Bentar lagi selesai, kok. Tunggu ya!" balasnya tersenyum tipis. Pria itu kembali fokus pada layar laptopnya. Cukup lama Luisa menunggu Al menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu menghela nafas lega saat Al menutup layar laptop. Kemudian berdiri dan menghampiri Luisa. "Udah selesai?" tanya Luisa. "Belum sih. Tapi kita makan dulu aja. Kasian kamu kalo nunggu lama-lama." Luisa membuka rantang yang tdi dia bawa. Mengeluarkan nasi putih, ayam bumbu kecap dan juga sup serta tempe. Tak lupa kerupuk pun dia sediakan. Al melirik pada Luisa yang terlihat bersemangat mengambilkan makan siang untuknya. "Ini kamu sendiri atau Della yang masak?" ucapnya curiga. Luisa menoleh dengan cepat. Gadis itu cemberut saat melihat seringai di wajah tampan Al. "Masakan aku! Kan tadi aku udah bilang kalo aku belajar masak!" ketusnya. Al terkekeh. "Ya maaf. Kirain masakan Della yang kamu akuin masakan kamu kayak waktu itu." Luisa mendengus. Tidak menjawab ucapan Al. Dalam hatinya dia terus mengutuk mulut ember adik sepupunya yang kurang ajar itu karena sudah membocorkan rahasianya pada Al. Jadi sekarang Al sudah tidak percaya kalau Luisa benar-benar memasak. Pria itu masih berpikiran kalau Luisa mengakui masakan Della sebagai masakannya. "Enak. Kamu diajarin masak sama Della?" ujar Al di sela-sela makannya. Luisa tersenyum bahagia. Matanya berbinar mendengar ucapan Al. "Beneran, Al?" Al mengangguk. "Enak. Cuma kurang asin dikit. Tapi aku suka." Pria itu tersenyum melihat wajah bahagia Luisa saat dia memuji masakannya. Al tertawa kecil. Luisa begitu mudah sekali bahagia hanya karena hal-hal kecil. "Aku ngambil resep dari google. Terus dicoba di rumah." "Serius?" Luisa mengangguk antusias. Membuat Al tersenyum geli. "Hebat dong kamu. Baru belajar udah seenak ini. Gimana nanti kalo udah ahli? Bisa-bisa Chef Marinka kalah sama kamu." "Iya dong. Siapa dulu! Luisa..." gadis itu tersenyum bangga. "Calon istrinya Al dong!" sahut Al membuat Luisa merona. Pria itu mencubit pipi Luisa yang terlihat malu-malu. Kemudian mengusap kepalanya lembut. "Nanti ikut aku yuk!" "Kemana?" "Ada deh. Pokoknya! Kamu pasti seneng!" ujar Al. Luisa mengangguk cepat. "Aku mau kemana aja. Asal sama kamu," balasnya. Al mendelik tajam saat melihat Luisa terkikik. Pria itu menarik badan Luisa untuk memeluknya. "Bisa gombal juga ternyata!" ucapnya seraya menarik hidung Luisa dengan gemas. Luisa tertawa. Balas menarik hidung mancung Al sampai memerah. Keduanya makan sembari bercanda. Sampai suara ketukan pintu menghentikan kegiatan mereka saling meledek. Salsa masuk dengan senyuman lebar. Namun seketika lenyap saat melihat Luisa duduk bersama dengan Al. Gadis itu berdiri kaku di depan pintu. "Salsa?" panggil Al yang merasa heran melihat Salsa tak kunjung masuk ke dalam ruangannya. Salsa tergagap. Gadis itu dengan cepat berjalan ke arah Al meski langkahnya terasa begitu berat. Salsa memaksakan senyumnya pada Al. "G-gue pikir lo belum makan siang, Al. Tadinya gue mau ajakin bareng." "Oh... ya udah. Lo ikut makan bareng kita aja. Ini masih ada kok," balas Al. Salsa sudah akan menolak, namun Luisa terlebih dahulu memotongnya. "Iya, Mbak. Ikut makan bareng kita aja. Tadi aku masak banyak kok." Gadis itu tidak mampu menolak saat Al menarik tangannya. Menuntunnya agar duduk di sebelahnya. Salsa mengambil nasi dengan berat hati. Karena di sebelahnya, Al tengah bercanda mesra dengan Luisa. "Oh iya, Sal. Gue mau nikah." Kalimat yang diucapkan Al itu bagaikan petir disiang hari. Salsa membeku dengan masih memegang piring berisi makanan. Gadis itu benar-benar syok mendengar perkataan Al. "Lo... mau n-nikah?" ucapnya terbata. Al mengangguk. Pria itu tersenyum bahagia kemudian merangkul pundak Luisa di sampingnya. "Sama Luisa." Sakit. Itulah yang dirasakan oleh Salsa. Gadis itu sampai tidak mampu menelan makanan yang terlanjur masuk ke kerongkongannya. Salsa terdiam kaku. Mendapatkan pernyataan seperti itu dari bibir Al secara langsung rasanya beribu kali lebih sakit ketimbang mendengarnya dari mulut Suster Mia tadi pagi. Jadi benar Al akan menikah? Dengan gadis itu? Gadis bernama Luisa yang belum lama dia kenal. Kenapa harus Luisa? Al bahkan lebih lama mengenal Salsa daripada Luisa. Tapi kenapa justru gadis itu yang kini menjadi pilihannya. Bukan hanya pilihan menjadi kekasih. Namun seorang istri. Mereka akan menikah. Dan itu artinya kesempatan Salsa untuk bisa bersama Al lebur sudah. "Kenapa?" Al menoleh pada Salsa yang menatap datar padanya dan Luisa. Pria itu mengernyitkan dahinya. "Kenapa apanya, Sal?" tanyanya. Kenapa bukan aku, Al? "Kenapa cepet banget?" Al tersenyum, menoleh pada Luisa. Dan dibalas pula dengan senyuman oleh gadis itu. "Kenapa harus lama kalo udah yakin?" ujarnya yang membuat hati Salsa semakin teriris. Gadis itu menahan tangis sekuat tenaga. Salsa menyendok nasinya dengan kaku. Melahapnya dengan tangan gemetar. Kenapa harus Luisa? Bukankah dia yang selama ini menemani Al? Padahal dia menjadi pendampingnya saat pria itu terpuruk karena diusir papanya. Padahal dia adalah anak pemilik salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Dia bisa dengan mudah menjadi pimpinan disana. Tanpa perlu repot-repot menjalankan klinik dari nol. Bekerja dengan gaji tak seberapa. Menggunakan semua waktu dan tenaga juga ilmu yang dia punya di klinik kecil. Apalah arti semua usahanya saat Al malah memilih wanita lain. Sungguh Salsa merasa sakit hati. Salsa memalingkan wajahnya ke samping. Gadis itu sedang berusaha menahan sesak di dadanya. Salsa memutuskan untuk memakan habis nasinya. Meski rasanya nasi itu tak sampai ke lambungnya. Satu tetes air matanya jatuh. Namun dengan cepat ditepisnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa jika Al sudah memilih. *** "Al... kita mau kemana?" tanya Luisa dalam perjalanan mereka sore itu. Al tersenyum tipis. Mengusap kepala Luisa dengan lembut. "Ke rumah temen aku. Aku mau kenalin kamu sama dia." Luisa hanya manggut-manggut menanggapi ucapan Al. Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan oleh Al berhenti di depan sebuah rumah besar berpagar tinggi. "Turun yuk!" ajak Al pada Luisa. Pria itu membuka seat beltnya lebih dulu sebelum turun dan ganti membukakan pintu untuk Luisa. "Ini rumah temen kamu?" Luisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah mewah itu. Al mengangguk sembari tersenyum. "Kenapa?" tanyanya. "Rumahnya bagus banget. Besar lagi." Al tertawa melihat kekaguman Luisa pada rumah itu. Dia pun menarik tangan Luisa untuk masuk ke dalam. "Ayo buruan! Kalo nurutin mata kamu, bisa sampe besok kita disini," ujarnya. Luisa berdecak. Lalu memukul lengan Al pelan. Membuat tawa Al makin menjadi. Pria itu merangkul tubuh Luisa. "Maaf..." "Mas Al, disuruh Mbak Ai masuk aja. Mbak Ai lagi di ruang tengah Mas," ujar seorang wanita paruh baya yang Al kenali sebagai pembantu rumah tangga disana. Al mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lalu menggandeng tangan Luisa untuk masuk ke dalam. Luisa mengernyit mendengar nama Aisyah disebutkan. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Luisa mengendikkan bahunya. Tidak mau memikirkannya lebih jauh. Toh yang bernama Aisyah bukan hanya satu orang. Pasti kebetulan mereka bernama sama. "Ai!" Suara Al menyapa seseorang menyentak Luisa dari pemikirannya tadi. Luisa melihat seorang gadis cantik bangkit dari sofa. Berjalan ke arah Al. "Juliet!" Mata Aisyah berbinar begitu melihat Al, "Gue kang-" ucapannya terhenti saat matanya bertatapan dengan Luisa. Aisyah dan juga Luisa saling bertatapan. Keduanya sama-sama kaget. Al mengernyit melihat ekspresi mereka. "Hei!" Al mengibaskan tangannya di depan wajah Luisa. Yang otomatis memutus kontak matanya dengan Aisyah. "Kalian kenapa sih?" Luisa menggeleng kaku. Begitupun Aisyah yang juga langsung mengalihkan pandangan. Gadis itu beralih memandang tangan Al dan Luisa yang saling bergandengan. "Lo nggak kerja, Ai?" Al menarik tangan Luisa. Mengajaknya duduk di sofa. Aisyah tersenyum tipis. "Ini kan sabtu Al," jawabnya. Al menepuk dahinya pelan. "Oh iya. Gue lupa, Ai." Pria itu terkekeh geli melihat Aisyah mencembikkan bibirnya. "Oh iya. Kenalin, Ai. Ini Luisa, calon istri gue!" Bagi Aisyah, langit seakan runtuh saat itu juga. Gadis itu benarbenar terkejut dengan ucapan Al barusan. Aisyah menatap Al tak percaya. "Calon istri?" Al mengangguk cepat. Tersenyum pada Aisyah. Tangannya masih berkaitan dengan tangan Luisa. Al menatap lembut pada gadis itu. "Iya, Ai. Gue mau nikah sama Luisa. Makanya gue bawa dia kesini. Biar bisa kenalan sama lo! Sebelum nanti gue ketemuin Papa sama Mama." Tubuh Aisyah membatu, dia tak lagi bisa merasakan tubuhnya. Gadis itu bahkan tidak tau apakah jantungnya masih berdetak atau tidak. Senyuman Al yang biasa membawa kehangatan dan membuat darahnya berdesir-desir, kini tidak lagi. Tubuh Aisyah menolak semua efek yang selalu diberikan Al. "Doain gue ya, Ai. Semoga nanti Mama sama Papa kasih restu." Sungguh, seandainya bisa, Aisyah ingin menangis saat itu juga. Meskipun air matanya sudah mendesak ingin keluar. Tapi Aisyah sudah tidak mampu lagi menangis. Al sudah sering membuatnya meneteskan air mata. Air matanya sudah habis untuk Al seorang. "Lo serius?" Aisyah menatap Al lekat. Berharap semua ini hanya bercandaan Al seperti biasanya. Al mengangguk dengan sudut bibir terangkat. "Iya, Ai. Gue cinta sama Luisa." Al menoleh pada Luisa. Mengusap pipi gadis itu dengan lembut. "Cinta banget," imbuhnya. Tubuh Aisyah bergetar. Dadanya terasa sesak. Gadis itu segera berbalik badan. Dia tidak sanggup lagi melihat tatapan penuh cinta Al pada Luisa. Berjalan tertatih, Aisyah menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Tubuhnya meluruh ke bawah begitu pintu berhasil dia tutup. Aisyah memegangi dadanya yang terasa berat. Bagai dihimpit sebongkah batu besar. Sakit, sesak dia rasakan. Aisyah menggeleng pelan. Rasanya dia sudah tidak sanggup untuk hidup lebih lama. Karena alasanya untuk tetap hidup kini tidak ada lagi. Al menatap nanar kepergian Aisyah. Rasa bersalah menyeruak di dalam hatinya. Saat melihat wajah Aisyah tadi sebenarnya dia tidak tega. Namun dia harus melakukannya. Dia ingin Aisyah tau, jika mereka memang tidak mungkin bersama. Karena sampai kapanpun Al tidak akan pernah bisa mencintainya. *** Al mengusap dahi Luisa dengan lembut sementara gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Al. Matanya menatap lurus ke depan, memperhatikan jalan dengan seksama. Sembari menyetir dengan tangan kanannya, Al menggenggam tangan Luisa dengan tangan kirinya. Pria itu tersenyum melihat mata Luisa yang sudah sayup. Gadis itu sudah mengantuk. Karena memang hari sudah malam. Lima belas menit lagi tepat jam sembilan malam. Dan kini mereka masih di jalan. Menuju ke kontrakan Luisa setelah puas jalan di mall sejak sore tadi. "Kamu ngantuk ya?" tanya Al. Luisa mengangguk di bahu Al. "Banget," ujarnya manja. Al terkekeh. "Ya udah. Kamu tidur aja. Nanti kalo udah sampe aku bangunin deh." Luisa mencembikkan bibirnya. "Nyanyiin yah?" pintanya. Al menoleh dengan dahi mengernyit. "Nyanyi apa?" "Apa aja! Yang penting bisa bikin aku merem." Al menghela nafas panjang, mengusap kepala Luisa yang bersandar nyaman di bahunya dengan lembut. Pria itu berdehem sejenak sebelum membuka suara. Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini Bila habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia Karena tlah kuhabiskan sisa cintaku haya untukmu Luisa menatap Al tanpa kedip. Memandangnya lekat-lekat. Al bernyanyi dengan sangat biasa. Suaranya mengalun lembut namun penuh arti. Seolah mengungkapkan sesuatu dari lagu itu. Tangannya tak henti membelai kepala Luisa. Karna tlah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu... Saat Al menoleh, pria itu terkejut begitu mendapati Luisa menatap lekat padanya. Al pun terheran. "Belum tidur juga? Kayaknya tadi aku nyanyinya cukup lama loh," ujarnya. "Gimana bisa tidur? Kamu nyanyinya lagu gitu!" gerutu Luisa. "Emang kenapa sama lagunya? Lagunya bagus kok. Suara aku juga kayaknya bagus juga." Luisa menghela nafas panjang. "Lagunya romantis gitu. Orang mau tidur jadi gagal kan?" omelnya. Al terkikik. "Tadi katanya terserah. Kenapa sekarang protes?" Luisa berdecak. Melepaskan tangan Al dari bahunya. Kemudian beringsut menjauh dari pria itu dan memilih mendekat pada jendela. Al menggeleng pelan. Pria itu memutuskan tidak lagi menanggapi gadis tercintanya yang banyak mau itu. Baru setelah sampai di depan rumah kontrakan Luisa, Al menoleh pada gadis itu. "Turun yuk! Udah sampe nih!" Luisa terdiam. Seperti berat untuk melangkah. Gadis itu menoleh pada Al dengan muka sedihnya. "Al..." panggilan lirih nan menyedihkan gadis itu membatalkan niat Al untuk membuka pintu mobil. "Kenapa?" Luisa menghembuskan nafas berat. Menunduk dengan bibir mengerucut. Al terheran sendiri. Pria itu menyentuh dagu Luisa. Mendongakkan wajahnya. "Ada apa?" tanyanya. Luisa terdiam sejenak. Kemudian membuka mulutnya. "Ke Surabaya nya nggak bisa ditunda bulan depan gitu?" "Emang kenapa harus ditunda?" tanya Al. Luisa berdecak lemah. "Aku belum siap," lirihnya. Al menggeleng pelan. Pria itu menatap Luisa yang sedang menunduk dengan lekat. "Terakhir kali, aku kabur tanpa pamit. Ninggalin Surabaya ke Jakarta tanpa seijin orang tuaku. Hatiku terlalu sakit waktu itu. Aku bahkan begitu yakin nggak bakal balik lagi kesana," ujar Luisa. "Aku bener-bener nggak siap, Al." Al menangkup wajah Luisa yang terlihat sendu. Mengusap pipinya pelan. "Ada aku. Jangan khawatir. Ada aku yang akan selalu di samping kamu," ujarnya meyakinkan. "Tapi Al..." Ucapan Luisa terhenti saat Al menutup bibirnya dengan jari telunjuk pria itu. Tak mengizinkan Luisa bersuara lagi. "Kamu nggak boleh lari lagi. Jangan lari. Kita berjalan bersama. Jangan takut!" ucap pria itu mantap. Hening selama beberapa lama. Sebelum kemudian Luisa mengangguk pelan. Gadis itu menyerukkan wajahnya ke d**a Al saat pria itu memeluknya. Al mengusap kepala Luisa sepenuh hati. "Jangan khawatir lagi. Ada aku." Luisa mengangguk dan makin merapatkan pelukannya pada Al. Suara ketukan di jendela pintu mobil membuat Al dan Luisa saling melepaskan diri. Dengan cepat Luisa menurunkan kaca mobil. Wajah sinis bercampur iri Della terpampang jelas saat ini. Gadis itu mendengus pada Luisa. "Ngapain aja sih di mobil? Dari tadi nggak masuk-masuk!" omelnya. Luisa menyeringai. "Bukan urusan kamu! Ngga usah sok ngaturngatur!" balasnya pedas. Gadis itu segera membuka pintu mobil. Della mundur perlahan. Menatap Luisa yang kini berwajah tak kalah sinis dengannya. "Awas khilaf!" Luisa mendelik. Gadis itu sudah akan maju meraup wajah tengil adik sepupunya, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Al. "Udah ah! Masuk sana! Udah malem!" suruhnya. "Tapi Della cari gara-gara, Al!" adunya pada Al. "Udah! Emang kita yang salah kok. Della bener. Untung tadi nggak khilaf," godanya seraya mengedip genit pada Luisa. Sontak hal itu membuat Luisa malu tak terkira. Dia berjalan dengan buru-buru masuk ke dalam rumah dengan wajah memerah. Al tertawa kecil melihatnya. Pria itu ganti menoleh pada Della. "Maaf ya, Dell. Kamu pasti belum tidur karena nungguin Kakak kamu pulang ya?" ucap Al. Della meringis. "Ah, enggak kok. Ngapain nungguin Kak Luisa. Dia ngga pulang juga bodo amat. Aku tadi nungguin Mas Al. Mau ngasih ini!" Gadis itu memberikan sebuah kotak kecil pada Al. "Tadi aku nyoba buat cup cake. Ternyata enak, Mas. Mas Al harus coba deh. Pasti Mas Al suka!" ujarnya dengan senyuman lebar. Al tertawa kecil. Mengacak rambut Della lalu mengangguk. "Iya. Insyaallah Mas Al pasti suka. Makasih ya, Dell." Della mengangguk. Tak lama suara teriakan Luisa dari depan pintu terdengar begitu kencang. Membuat Della mendengus. "Udah ya, Mas. Macan aku udah manggil. Paling juga minta makan," pamit Della. Al terkekeh. "Udah Mas Al kasih makan banyak tadi. Nambahnambah malah." Della berdecak. "Emang gitu Mas, Kak Luisa kalo makan." "Della!" Della menggeram tertahan. "Iya! Iya!" balasnya. Al tertawa sembari menggeleng kecil. Dua saudara ini tidak pernah akur. "Udah dulu ya, Mas. Dadah Mas Al!" Della berlari masuk ke dalam rumah setelah mengunci pintu gerbang terlebih dahulu. Al menghela nafas panjang. Semoga hubungannya dengan Luisa akan berjalan lancar. Dia sudah mengorbankan banyak hati untuk bisa bersama Luisa. Al merasa dirinya menjadi pria paling b******k di dunia karena telah mematahkan hati kedua sahabatnya. Namun bagaimana lagi, dia hanya mencintai Luisa dan ingin bersama gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD