Al dan Luisa tiba di rumah sakit dengan diantar taksi yang tadi sempat dinaiki oleh Luisa. Al buru-buru membuka payungnya sebelum keluar dari taksi. Menunggu Luisa keluar dari taksi dan memayungi tubuh Luisa.
Menuntun gadis itu masuk ke dalam Klinik. Al mengusap rambutnya yang basah kuyup. Meletakkan payungnya di rak payung yang tersedia di samping pintu masuk Klinik.
"Ayo masuk!" ajaknya pada Luisa.
Gadis itu mengekori langkah Al dengan meringis karena rasa perih di lututnya yang tadi bergesekan dengan tanah.
Al masuk ke sebuah ruangan yang terletak di sebelah ruangannya. Tak lama kemudian pria itu keluar lagi sambil membawa sebuah baju.
Luisa terdiam saat Al menyodorkan baju di tangannya pada Luisa.
"Ini buat ganti baju kamu kan basah. Ganti di ruangan aku aja. Aku nggak akan ngintip kok," ucap Al sembari mengerling.
Gadis itu mengangguk pelan. Sedikit malu saat melihat Al terkekeh kecil melihatnya. Kemudian Luisa menerima baju itu dan berganti pakaian di ruang praktik Al.
Pasien-pasien Al yang tadi berjajar di depan ruangan itu entah menghilang kemana. Suasana Klinik saat itu sepi. Hanya ada satu pegawai resepsionis di depan, yang senyum-senyum melihat Luisa sejak tadi.
Luisa melipat bajunya yang basah. Memasukkannya ke dalam paper bag. Baju teman Al yang tadi niatnya ingin dikembalikan juga ikutan basah kena air hujan.
Gadis itu mendesah pelan. Niatnya tadi mengembalikan baju. Sekarang malah nambah pinjeman baju lagi. Tambah cucian lagi deh. Padahal dia kan paling malas mencuci baju.
Seringnya dia membayar jasa cuci laundry daripada mencuci sendiri. Daripada mencuci, mendingan dia tidur saja. Betapa malasnya dia, tidak pernah sekalipun mengerjakan tugas rumah.
Semua pekerjaan rumah, Della yang mengerjakan. Luisa hanya terima jadi. Bangun pagi, mandi, sarapan terus berangkat kerja. Pulang kerja, mandi, makan, nonton TV terus tidur.
Mungkin benar yang dibilang Della. Luisa itu pemalas. Makanya susah dapat jodoh. Luisa berdecak kesal saat mengingat ledekan Della.
Dia bukan susah dapat jodoh. Tapi belum nemu yang pas. Yang sesuai sama kriteria dia. Udah nemu yang pas, tapi tukang selingkuh. Ya maleslah. Ogah banget kalo dapet jodoh kayak gitu. Mending nggak usah kawin sekalian.
Memutus pikirannya tentang jodoh, Luisa bergegas keluar ruangan. Saat membuka pintu, gadis itu tertegun. Melihat Al yang sudah berganti baju duduk di kursi tunggu.
Al begitu terlihat berbeda dari sebelumnya. Kali ini pria itu terlihat makin tampan dengan kaos pendeknya yang berwarna hitam. Yang mencetak jelas bentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
Luisa buru-buru menelan air liurnya. Membuang muka ke samping sambil bernafas keras. Al yang sedang menunduk sembari memainkan ponselnya kini mendongak.
Pria itu menghampiri Luisa yang berdiri diam di depan pintu. "Udah selesai?" tanyanya.
Luisa mengangguk pelan. "Udah."
"Kakinya mau aku obatin dulu? Setelah itu aku anterin pulang."
Luisa diam. Menatap Al lama. Seolah sedang berpikir entah apa. Kemudian gadis itu mengangguk pada Al. Membuat Al tersenyum manis dan mengajak Luisa untuk kembali ke ruangannya.
***
Al berjalan ke arah mobilnya. Diikuti Luisa di belakangnya. Pria itu membuka pintu penumpang dan mempersilahkan Luisa untuk masuk.
"Al!" Seorang gadis mungil berlari-lari dari dalam Klinik menghampiri Al. Dengan senyuman manisnya gadis itu mendekati
Al.
"Besok jadi kan?" tanyanya.
Al mengendikkan bahunya. "Gimana ya, Sa? Aku bingung nih. Besok emang nggak ada jadwal pasien yang mau kontrol. Tapi kita tetep nggak bisa ngambil libur di hari yang sama."
Gadis bernama Salsa itu mendesah kecewa. "Yah... nontonnya batal dong, Al?"
Al menggaruk tengkuknya. Terlihat bingung harus mengatakan apa. "Ya mau gimana lagi, Sa. Salah satu dari kita harus ada yang jaga. Gimana kalo nanti ada pasien darurat?"
Salsa mendesah frustasi. "Ntar aku minta tolong Aldi biar gantiin kamu sehari disini."
"Nggak. Aldi kan bukan dokter sini. Nggak mungkin kita minta bantuan Aldi," tolak Al.
Salsa merengut. "Al nggak asik ih! Ya udah aku ntar mau nonton sama cowok lain. Awas kalo cemburu!" ketus Salsa.
Gadis itu pun berlari meninggalkan Al sambil bersungut-sungut. Kembali ke dalam Klinik dengan menggerutu mengatai Al.
Al menggeleng pelan. Kemudian kembali menoleh pada Luisa yang memasang wajah datarnya.
"Pacar kamu?" tanyanya.
"Bukan."
"Terus siapa?"
"Cuma temen."
"Temen doang?"
Al mengangguk. "Salsa dokter juga disini. Dia Dokter Spesialis Anak."
Luisa melengos. "Temen kok pake cemburu-cemburuan segala!" balas Luisa ketus.
"Kita udah biasa gitu, kok. Saling bercandaan sih udah biasa. Lagian Salsa udah aku anggap adik sendiri."
Luisa diam tidak menjawab. Hanya mengendikkan bahunya sekilas. Al menatap Luisa bingung. Kenapa sikap Luisa seakan seperti...
Al terkekeh kecil sembari menggeleng pelan. Tidak mungkin, batinnya. Itu pasti tidak yang seperti dia harapkan. Beranjak menuju ke dalam mobil, Al pun menjalankan mobilnya. Mengantar Luisa pulang ke rumahnya.
***
"Kita mampir makan dulu gimana?" tanya Al saat mereka berada di dalam perjalanan menuju ke rumah Luisa.
"Boleh," jawab Luisa singkat. Gadis itu terlihat jelas sedang kesal pada Al. Dan Al tidak tau apa penyebabnya.
Al tersenyum. "Maaf ya, kamu jadi nggak bisa langsung pulang."
Luisa menoleh. Menatap wajah Al yang terlihat sendu. Mungkin dia sedih karena Luisa bernada tidak enak saat menyahutinya. Luisa jadi merasa bersalah.
Padahal Al kan sudah begitu baik mau mengantarnya pulang. Tapi Luisa malah menanggapi ucapannya dengan ketus. Dia menyesal sudah bersikap jutek pada Al tadi.
"Aku juga laper kok," ucap Luisa melembut.
Gadis itu tersenyum tipis saat Al menoleh.
Al mengangguk. "Ya udah. Kita cari restoran di sekitar sini," ucapnya senang.
Luisa balas mengangguk pula. Dia membiarkan Al membelokkan mobilnya ke sebuah restoran lesehan dengan senyuman yang terus tersungging di bibirnya.
"Mau makan apa?" tanya Al saat mereka melihat-lihat buku menu yang diberikan oleh sang pelayan restoran.
"Apa ya? Kamu pesen apa?" balas Luisa.
"Mau coba bebek bakar sambel ijo? Enak banget itu," ujar Al sambil menujuk gambar menu andalan restoran itu.
Luisa menelan air liurnya melihat tampilan bebek bakar yang begitu menggoda. Gadis itu langsung mengangguk antusias.
"Mau!" jawabnya bersemangat.
Al tertawa melihatnya. Kemudian pria itu berganti menatap si pelayan. Memesan dua porsi bebek bakar dan dua gelas jus mangga.
"Kamu kerja dimana?" tanya Al saat mereka sedang duduk menunggu pesanan datang.
"Di perusahaan furniture," jawab Luisa.
Al manggut-manggut. "Daerah mana?"
"Daerah sini aja kok. Nggak jauh dari rumah kontrakan."
"Oh... udah lama?"
Luisa mengangguk pelan. "Udah setahun lebih."
"Bagian apa?"
"Staff marketing."
"Oh ya? Udah jadi staff aja," puji Al.
Luisa tersenyum bangga. "Iya gitu deh. Alhamdulillah bisa dapet posisi itu. Apalagi di perusahaan sebesar itu."
"Oh ya? Kantor kamu sebelah mananya Hotel Paris?" tanya Al.
"Nggak jauh dari sana. Kalo dari rumah aku sebelumnya Hotel Paris. Itu loh, PT Indo Milan. Anak perusahaannya CH Milan Group."
Al terdiam. Senyuman di bibirnya mendadak hilang entah kemana. Pria itu mematung. Wajahnya pucat pasi. Dia begitu terkejut dengan ucapan Luisa.
Namun Al buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, anak temen kamu yang waktu itu udah pulang loh."
Luisa tersenyum. Gadis itu terlihat senang mendengarnya. "Iya? Kapan?"
Al mengangguk pelan. Berusaha memunculkan senyum tipisnya. "Kemarin sore. Alhamdulillah dia udah sehat. Jadi bisa dibawa pulang."
"Alhamdulillah, syukur deh. Ikut seneng aku," balas Luisa.
Tidak berapa lama kemudian, pesanan mereka datang. Al dan Luisa pun sama-sama makan dengan lahap.
"Kamu kalo mau nambah, pesen aja! Aku yang traktir," ujar Al.
Mata Luisa langsung bersinar cerah. "Beneran?"
Al mengangguk. Senyumnya melebar melihat wajah senang Luisa. "Pesen aja sesukamu! Nanti aku yang bayar."
Senyum sumringah Luisa langsung muncul. "Kalo gitu aku mau pesenin sepupuku ya? Nanti dibawa pulang aja. Kasian itu anak.
Biar nyebelin tapi kalo makan enak gini aku selalu keinget sama dia di rumah."
Al tertawa kecil, mengizinkan Luisa memesankan makanan untuk Della.
***
Luisa melambai pada Al saat mobil pria itu berjalan meninggalkan halaman rumahnya. Gadis itu tersenyum menatap mobil Al yang berjalan kian jauh.
Dalam hatinya dia berharap semoga Al benar-benar jodohnya. Meskipun belum lama dia mengenal Al, tapi dia merasa menemukan sosok impiannya dalam diri Al.
Pria yang baik hati dan penyayang. Bertanggungjawab, tampan, komplit pokoknya. Semua ada di diri Al. Apalagi profesinya yang membanggakan, seorang dokter.
Jika nanti Al benar-benar menjadi pacarnya, dan Luisa bisa mengajaknya ikut pulang ke Surabaya, entah bagaimana reaksi orang-orang disana. Mereka pasti syok berat melihat pacar Luisa yang tampan seperti seorang pangeran.
Luisa berjanji pada dirinya sendiri. Dia akan mendapatkan Al. Bagaimanapun caranya, Al harus bisa menjadi miliknya. Dia harus bisa membuat Al jatuh cinta. Bertekuk lutut di hadapannya. Harus, batinnya.
"Hayoloh! Dianterin dia lagi ya?" goda Della yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Luisa.
Luisa mendengus kesal. Menoyor kepala Della yang sudah membuatnya kaget setengah mati. "Kamu ini! Ngagetin aja sih!" geramnya.
Della terkekeh. Gadis itu melangkah masuk ke rumah mengekori Luisa yang sudah terlebih dahulu masuk.
Luisa berlenggang menuju ruang makan. Meletakkan bungkusan dari restoran tadi di atas meja makan. "Tuh makanan buat kamu!" ujarnya.
Della buru-buru membukanya. Gadis itu memekik girang. "Wah!! Kak Luisa tau aja kalo Della lagi laper. Makasih Kak. Della sayang deh sama Kakak," serunya senang.
"Kalo dibawain makanan aja ngomongnya sayang-sayang. Coba kalo nggak. Pasti ngeledekin mulu!" cibirnya.
Della terkekeh. "Iyalah. Kan ada makanan Kakak Sayang. Nggak ada makanan Kakak Sialan!"
Luisa mendelik. Menatap Dela tajam. Sementara Della tidak ambil pusing melihatnya. Gadis itu sudah langsung mengambil nasi dan menikmati makanan yang dibawakan oleh Luisa.
***
Keesokan paginya, kedatangan Luisa disambut antusias oleh Riska. Gadis itu buru-buru menarik Luisa untuk duduk di kursinya. Riska sangat tidak sabar mendengar cerita Luisa tentang kejadian kemarin.
Setelah Luisa bercerita, Riska langsung memekik kegirangan. Gadis itu meloncat-loncat di depan Luisa. Sungguh dia tidak menyangka akan ada orang semanis Al di dunia ini.
Setelah mendengar cerita Luisa tadi, Riska setuju dengan perkataan Luisa kemarin. Al sepertinya juga tertarik pada Luisa. Pria itu juga ada rasa pada sahabatnya.
Jika tidak, mana mungkin Al akan mengejarnya saat melihat Luisa keluar dari Kliniknya. Lalu rela hujan-hujanan untuk mencarikannya taksi. Mengobati kakinya dan mengantar pulang.
"Em... manis banget sih Dokter Romeo. Gue jadi meleleh nih, Sa!" ucap Riska tersipu.
Luisa tersenyum kecil saat mengingat kembali perlakuan Al yang begitu manis. "Sekarang gue udah bertekad, Ris. Gue harus bikin Al jatuh cinta sama gue. Terus nikahin gue!" ucapnya yakin.
Riska berpikir sejenak. "Iya. Gue setuju kalo itu. Gue bakal bantuin elo bikin Dokter Romeo jatuh cinta!" serunya gembira.
Luisa mengangguk. Gadis itu membayangkan jika nanti Al benarbenar menjadi suaminya nanti. Dia akan membuat Ello dan Angel terkaget-kaget sampai terkena serangan jantung.
Membayangkannya membuatnya senyum-senyum sendiri. Iya, dia harus bisa menjadi Nyonya Romeo Al. Agar semua orang yang meremehkannya menjadi tunduk padanya. Dan mereka tidak lagi bisa menghina Luisa Luisa, gadis malang yang dikhianati oleh tunangan dan juga sahabatnya.
Suara langkah kaki mendekat mengagetkan Luisa. Memutus lamunannya yang begitu indah. Gadis itu bingung melihat teman satu divisinya terburu-buru menaruh tas dan beranjak ingin keluar.
"Lo kemana Des?" tanya Luisa pada Desi, temannya yang menjabat sebagai staff marketing. Sama sepertinya.
"Anak-anak disuruh ngumpul di bawah semua tuh! Ada tamu di bawah!" jawab Desi.
"Tamu siapa, Des?" Kali ini Riska yang bertanya.
"Bos baru. Katanya mau gantiin posisi Pak Haria disini."
Luisa mengernyit. "Emang Pak Haria udah nggak kerja lagi?"
Desi mengangguk. "Iya. Terus sekarang posisinya katanya sih dialihkan sama anaknya atau kerabatnya gue juga kurang tau. Makanya buruan turun. Kenalan sama bos baru!" ujar Desi.
Riska dan Luisa saling pandang. Mereka pun mengikuti Desi turun ke bawah. Untuk melihat langsung wajah bos baru mereka.
Sesampainya di bawah, tepatnya di aula, semua karyawan ternyata sudah berkumpul. Mendengarkan sambutan dari bos barunya. Ada asisten pribadi bos besar mereka, Pak Johan.
Beliaulah yang memperkenalkan calon pengganti Pak Haria. Bukan pengganti, sebenarnya. Karena bos baru mereka ini tetap memimpin kantor induk. Tapi juga memegang kepemimpinan kantor cabang tempat Luisa bekerja.
Luisa berjinjit. Berniat ingin melihat wajah sang bos baru. Gadis itu terdiam saat melihat wajah sang bos. Bersamaan dengan itu, si bos baru juga melihat ke arahnya.
Oh My God, batin Luisa saat melihat pria itu tersenyum padanya. Kenapa dia, batinnya bertanya-tanya.