Bermalam

1933 Words
Syabil hanya membutuhkan perawatan di rumah sakit selama satu malam saja. Selepas maghrib nanti, ia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Inara tiba di sana sekitar pukul dua siang. Jadwal hari ini hanya dua mata kuliah saja. “Ini, Na.” Syabil mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya. “Nggak ada uang cash, ya?” Inara menerima benda pipih berbentuk persegi itu. “Nggak ada. Lagian pasti habis banyak. Ruang kayak apartemen gini.” Syabil memperhatikan ruang yang ditempatinya. Sekalipun VVIP, jika saat sakit tentu tidak akan terasa nyaman seperti saat sedang sehat. Inara terkekeh seraya menutupi mulutnya. “Ya, udah ayo. Kayaknya mesin ATM ada di lantai satu.” “Sama aku?” “Ya iyalah, mana bisa narik uang tanpa PIN.” “Kamu aja sendiri, Na. Masa pasien bayar administrasi sendirian?” “Terus PIN gimana?” Inara ragu untuk meminta nomor PIN. Baginya hal itu sangat privasi sekali. “060721.” Syabil menyebutkan nomor sandi untuk ATM miliknya. “Oke.” Inara pun segera berlalu dari ruangan. Langkah kecil gadis itu terasa ringan. Akhirnya, dirinya akan lepas menjadi baby sitter Syabil di rumah sakit. Inara turun menggunakan tangga, alih-alih memanfaatkan fasilitas lift yang disediakan oleh rumah sakit milik kampus tempatnya belajar itu. Letak mesin ATM berada di bagian depan dekat pintu utama. Inara bergegas melakukan tugasnya. Jemari Inara menekan angka 060721 seperti yang diinstruksikan Syabil. “Bentar, kayak nggak asing nomor-nomor ini.” Inara lantas mengedikkan bahunya. Saat akan menyentuh instruksi penarikan, ia mengurungkannya. Seringai jail terlukis di bibir gadis bertubuh langsing itu. “Berapa, sih, saldonya? Sok-sok nraktir pakai uang dari orang tua aja.” Inara mulai menekan info saldo. Matanya membeliak begitu angka-angka tertera di layar. “Du-dua puluh juta?!” pekik Inara tidak percaya. Dua orang yang ada di ATM center sontak menolah ke arahnya. Inara pun tersenyum kikuk. “Wah, besar banget uang sakunya. Papa apa sekaya itu?” Inara masih menggerutu melihat kenyataan yang tersaji di depan mata. Ayahnya saja hanya memberikan uang saku satu juta per bulan untuk makan dan keperluan sehari-hari. Inara segera menarik uang sejumlah tagihan rumah sakit. Beruntung hanya satu malam. Jika tidak, bisa saja dirinya membuat Syabil bangkrut. Ia pun bergegas menuju loket p********n. *** Syabil menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah lebih dari setengah jam, tetapi istrinya belum kambali juga. “Mampir ke mana anak itu?” Syabil menerka keberadaan Inara. “Aku telepon aja.” Baru akan membuka w******p, ponselnya bordering. Bukan dari Inara, tetapi dari Sahnaz, teman sekelasnya. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam. Bil, kapan ngerjain tugas kelompok?” Syabil menepuk keningnya. Pekan ini tentu dirinya belum bisa kembali normal beraktivitas. “Senin depan ya, dikumpulin?” “Iya. Besok gimana?” “Kayaknya besok aku nggak masuk, Naz. Tolong izinkan ke dosen, ya.” “Loh, kenapa?” “Baru jatuh dari motor. Tapi, nggak parah, kok. Lusa insyaAllah masuk kuliah.” “Sekarang kamu di kontrakan?” “Masih di rumah sakit. Habis ini pulang.” “Sampai opname? Parah pasti ini.” Nada suara Sahnaz terdengar panik. “Enggak. Cuma lengan aja.” Syabil menjelaskan pada teman terdekatnya di kelas. Mereka pun mengakhiri perbincangan. Tidak lama kemudian, Inara muncul. “Udah beres. Aku pesenkan taksi online dulu.” Inara mengeluarkan ponselnya. Ia sudah bersiap memesan mobil untuk mengantar Syabil ke kontrakan. “Nggak usah. Naik motor aja.” “Hah? Emang udah bisa?” tanya Inara heran. “Dibonceng kamu,” ujar Syabil seraya memperlihatkan deretan giginya. “Ogah! Lagian aku nggak bawa motor. Habis ini aku mau minta dijemput Resta.” Raut muka Syabil berubah. Bibirnya tampak manyun. Inara menautkan kedua alis matanya. Baru kali ini ia melihat ekspresi Syabil seperti itu. “Nggak lucu, udah gede gak cocok wajah melas, sok imut gitu.” Syabil masih bergeming. Ia lalu menundukkan kepalanya. Inara terkesiap. Ia sontak merasa tidak enak dengan ucapan yang tadi keluar dari bibirnya. “Maaf, Bil.” “Nggak pa-pa, Na,” ucap Syabil seraya mendongakkan kepala. “Aku bingung aja. Di Malang aku masih baru, belum ada dua bulan. Ditambah kondisi tubuh sekarang kayak gini. Tinggal di kontrakan sendirian. Apa aku hubungi Mama aja ya, biar datang ke Malang?” Inara tercengang dengan kalimat terakhir yang ia dengar. Ia seketika menggoyangkan kedua tangannya. “Jangan! Please jangan hubungi orang tuamu.” “Kenapa?” “Udah, pokoknya jangan.” Inara bersikukuh untuk menghalangi Syabil mengabari orang tuanya. Jika sampai mertuanya tau kondisi Syabil, bisa ia pastikan mereka akan memberitahu ayah dan ibunya. Inara sudah tentu akan diperintah untuk tinggal satu rumah dengan Syabil. Dan, itu petaka buatnya. “Nggak ada yang rawat aku, Na. Tanganku yang sakit kanan. Susah buat aktivitas kalau yang kiri.” Inara menghela napas pendek. “Aku bakal rawat kamu.” Mata Syabil berbinar begitu mendengar ucapan Inara. Ia kemudian tersenyum semringah. Rencananya berhasil untuk bisa mengajak sang istri menginap di kontrakan. “Terima kasih untuk semuanya ya, istriku.” Inara sontak menoleh ke arah Syabil. Decakan lirih terdengar dari bibirnya. *** Mobil Avanza berwarna putih yang mengantar Syabil dan Inara mulai memasuki kawasan perumahan Bukit Nirwana. Gadis itu mengamati dari jendela sebelah kiri. Lampu-lampu rumah terlihat seperti kerlip bintang dari arah gerbang perumahan. Jarak untuk sampai di kawasan hunian memang cukup jauh. Pemandangan hamparan sawah, tanah lapang, dan sungai besar menyambut kedatangan mereka. “Perumahan di sini sepi ternyata.” “Iya, apalagi di rumah sendirian. Makin sepi, padahal udah punya pasangan.” Inara sontak menoleh ke arah Syabil dengan tatapan tajam. Pemuda di sampingnya hanya terkekeh pelan. “Yang ini, Mbak?” tanya sopir begitu sampai di depan rumah dengan pagar berwarna hitam. “Iya, Pak.” Inara membuka pintu mobil. Ia lalu keluar, diikuti oleh Syabil. Gadis itu segera mengeluarkan uang kertas berwarna merah untuk membayar. “Wah, nggak ada kembalian, Mbak. Cuma ada lima puluh ini.” “Saya juga cuma ada ini, Pak,” kata Inara yang kemudian membongkar tasnya, berharap menemukan uang. Syabil yang menunggu di depan gerbang, mendekat ke arah istrinya. “Kenapa?” “Bapaknya nggak ada kembalian. Uangku cuma seratus ribu” “Habis berapa?” “Dua puluh ribu.” “Oh, “ ucap Syabil singkat sambil mengambil dompet di saku celana belakang. “Nih, aku nggak bisa ambil pake tangan satu.” Inara segera membuka dompet hitam itu. Ia mengambil uang kertas berwarna hijau, lalu menyerahkannya pada sopir. Namun, saat akan menutup benda berbentuk persegi panjang tersebut, matanya tertuju pada foto dua anak kecil. “Eits, dilarang lihat-lihat.” Syabil bergegas meraih dompetnya dari genggaman Inara. Helaan napas panjang terdengar dari bibir pemuda yang gemar menulis itu. “Ish, siapa lagi mau lihat,” ujar Inara seraya mencebik kesal. Ia segera membuka pagar. Namun, pikirannya masih penasaran dengan foto yang ada di dompet Syabil. Ia seperti tidak asing dengan sosok gadis kecil yang ada di gambar itu. “Au ah, gelap.” *** Mereka berdua sudah di dalam rumah. Syabil segera masuk ke kamar. Ia ingin berbaring. Rasa nyeri masih terasa di punggungnya. “Bil, kamar sebelah kenapa jadi dapur?” tanya Inara seraya menunjuk ruangan yang terletak di pojok belakang. “Emang itu dapur,” jawab Syabil dengan mata terpejam. “Terus, aku tidur di mana?” Inara menyilangkan kedua tangannya. Tanpa membuka mulut, Syabil menjawab pertanyaan Inara dengan tepukkan pada kasur. “Apa?! Jangan ngawur, ya. Aku nih, gadis baik-baik. Nggak mungkin tidur sama cowok.” Gelak tawa terdengar dari bibir Syabil. Pemuda itu menggelengkan kepalanya sambil menatap Inara. “Aku pulang ke kos aja, deh.” “Ya udah, aku telepon Mama.” Inara menggoyangkan kedua tangan. Ia bergegas mendekati Syabil. “Jangan, please jangan.” Syabil tersenyum jail. “Kamu tidur di sebelahku itu dapat pahala, bukan dosa.” Inara berdecak, kesal. Ia lalu menghentakkan kakinya. Gadis itu melangkah keluar kamar. “Aku tidur di ruang tamu!” pekik Inara di depan kamar Syabil. “Jangan, dong. Nanti kamu sakit, Na.” Inara menyandarkan punggungnya di dinding. Ia masih memasang wajah muram. Kedua tangannya bersedekap. Syabil menarik napas panjang. Ia harus memosisikan diri untuk lebih sering mengalah. “Aku janji nggak akan terjadi apa-apa.” Syabil lantas bangkit dari posisinya. Ia menaruh dua bantal dan guling di tengah kasur. “Nih, kayak gini. Aman, ‘kan?” Inara melongok ke dalam kamar. Ia lalu manggut-manggut seraya tersenyum lebar. Inara kemudian menjentikkan jemarinya. “Ditambah ini, aman,” jelas Inara sambil menambahkan koper besar di barisan bantal. Syabil mengerjap tidak percaya. Ia menatap Inara lekat. Gadis di hadapannya itu benar-benar unik. Ponsel Inara bordering. Ia segera mengangkatnya. “Assalammualaikum.” “ ....” “Lagi baring aja. Kenapa, Mas?” “ ....” “ Insya Allah, siap." “ .... “ “ Harus fit, dong. Kesempatan emas nggak boleh dilewatkan,” ucap Inara dengan raut wajah semringah. “Nggak sabar nunggu seminggu lagi.” Syabil yang sedari tadi mendengarkan obrolan gadis itu, mulai penasaran. Ia terus menatap Inara, terutama saat mulutnya berbicara. Bagian wajah yang paling ia sukai dari istrinya adalah bibir mungil Inara. “Astagfirullah,” ucap Syabil seraya mengusap wajah dengan tangan kirinya. Pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. “Kamu nguping, ya?” tanya Inara usai menyelesaikan panggilan telepon. Syabil menggeleng cepat. “Kamu mau ke mana?” “Tuh, ngaku juga kalau nguping,” kata Inara sambil tergelak. “Ada acara?” “Ada seminar koperasi di Surabaya. Pokoknya dalam satu minggu ini kamu harus udah sembuh. Kalau bisa lebih cepat lebih baik.” “Emang kenapa harus gitu?” “Aku di Surabaya nginep dua malam.” “Kamu sama Arfa?” tanya Syabil dengan menebak nama sang penelepon. Inara mengangguk pelan. Ia lalu menarik selimut hingga menutupi leher. Gadis itu kemudian berbaring dengan posisi memunggungi Syabil. Hati Syabil merasa tidak nyaman mengetahui sang istri akan bepergian bersama laki-laki lain. Rasa cemburu mulai menguasai perasaannya. “Naik apa ke Surabaya?” “Motor,” jawab Inara singkat. Ia sudah diserang rasa kantuk “Malang ke Surabaya berapa jam?" “Dua jam kalau nggak salah.” “Boncengan sama Arfa?” “Iya.” Inara menoleh ke arah Syabil. Ia merasa aneh dengan pertanyaan-pertanyaan laki-laki di sampingnya. “Kamu lagi interogasi?” Syabil menggelengkan kepalanya pelan. Ia lalu memejamkan matanya. Inara mendesah kesal. Ia pun kembali ke posisi asalnya. “Aku nggak bisa jamin, bantal-bantal dan koper tetap pada tempatnya pas kamu tidur.” Inara yang sudah memejamkan mata, tercengang mendengar ucapan lirih Syabil. “Aku pulang ke kos sekarang!” ancam Inara yang sudah duduk menghadap Syabil. Ia sudah bersiap berdiri. Namun, pergelangan tangannya ditarik tiba-tiba. Inara pun terjatuh ke kasur. “Ish, lepas, Bil.” Syabil bergeming. Matanya terpejam tetapi pegangannya pada tangan Inara tidak dilepas. “Sudah malam ayo tidur. Kamu pasti capek. Aku juga udah ngantuk.” Inara bersungut seraya menatap tajam sang suami. Laki-laki itu tidak bereaksi apa pun dengan kemarahannya. Inara pun kembali merebahkan tubuhnya. Mereka tidur dengan saling memunggungi satu sama lain. Tiga puluh menit kemudian. Syabil membuka matanya. Ia kembali memikirkan telepon Inara dengan Arfa tadi. Istrinya akan melakukan perjalanan ke luar kota. Hal yang ditakutkannya saat mereka berboncengan motor. Bukan permasalahan cemburu lagi tetapi menyangkut tanggung jawab seorang suami. Dengkuran halus yang mulai akrab di telinga, membuat Syabil mengubah posisi menjadi duduk. Inara sudah tidak memunggunginya. Gadis itu tidur dengan kedua tangan terangkat sejajar dengan kepala. Syabil menatap wajah sang istri. Pemuda itu tersenyum. Konon, kecantikan sebenarnya seorang wanita adalah saat ia sedang pulas. “Sabar, Syabil. Insya Allah akan saling mencintai sampai jannah,” ucap Syabil lirih. Dirinya tidak pernah lelah meminta pada Allah untuk membukakan hati Inara. Syabil yakin jika suatu hari, istrinya pun akan mencintainya dengan tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD