3. Perjodohan

2065 Words
Kimmy masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa, meninggalkan hotel tempat semua kekacauan terjadi. Tubuhnya terasa lelah, sakit, tapi lebih dari itu, pikirannya berantakan. Dia hanya ingin melupakan apa yang terjadi semalam dengan Zayyan, dosen dingin yang selama ini dia benci. Sesampainya di rumah, Kimmy langsung masuk ke kamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang, menghela napas berat, berusaha menenangkan diri. Namun, ketenangannya tak bertahan lama. Suara ketukan pintu mengusik keheningan saat dia baru saja memejamkan kedua matanya. "Non Kimmy, Mbok masuk, ya?" Suara lembut Mbok Ratih, asisten rumah tangga keluarganya, terdengar di luar. "Masuk aja, Mbok," jawab Kimmy, berusaha mengatur nada suaranya agar terdengar biasa. Pintu terbuka pelan, dan Mbok Ratih masuk dengan langkah tenang. Wajahnya yang penuh kasih sayang menyiratkan sedikit kekhawatiran. "Non, tadi Tuan Hadi meminta Mbok untuk memanggil Non buat sarapan bareng di ruang makan." Kimmy memejamkan mata, menghela napas kasar. "Kakek?" Dia merasakan rasa nyeri kembali di tubuhnya, tapi mencoba menutupinya. "Baiklah, Mbok. Kimmy nanti ke sana abis cuci muka." Setelah Mbok Ratih keluar, Kimmy bangkit dengan hati-hati, menahan rasa sakit di bagian inti tubuhnya. Dia berjalan ke arah ruang makan, menjaga posturnya agar tidak tampak mencurigakan. Setibanya di ruang makan, suasana terasa sunyi. Sang Kakek, Hadi, sudah duduk di meja, fokus pada makanannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kimmy duduk di seberang kakeknya, mengikuti jejaknya, mulai menyantap sarapannya tanpa berkata apa-apa. Hening. Tak ada yang berbicara. Hanya suara alat makan yang beradu dengan piring terdengar samar-samar. Setelah beberapa menit berlalu, Hadi akhirnya meletakkan sendoknya dengan hati-hati, menatap Kimmy dengan sorot mata tegas yang penuh rasa kecewa. "Kimmy," panggil Hadi mulai memecah keheningan, suaranya berat namun tenang, "ke mana kamu semalam?" Kimmy tertegun. Dia sudah menduga pertanyaan itu akan datang, tapi tak menyangka secepat ini. Dengan cepat, dia mengatakan alasan yang sudah dia siapkan sejak tadi. "Tadi malam Kimmy perform di Sky Lounge, Kek. Habis tampil, Kimmy ngerasa nggak enak badan, dan nggak kuat bawa mobil, jadi Kimmy istirahat dulu di kamar hotel yang disediakan pihak penyelenggara sana sebelum pulang." Hadi hanya diam, tatapannya tak beranjak dari wajah Kimmy. "Dan kamu baru pulang pagi?" Kimmy menelan ludah, berusaha keras untuk tetap tenang. "Iya, kek. Abis minum obat Kimmy ketiduran sampe pagi, makanya baru bisa pulang." Hadi menarik napas panjang, lalu menatap cucunya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kecewa dan cemas. "Kimmy, kamu tau aturan keluarga kita. Pergi sampai larut malam tanpa kabar bukan hal yang bisa ditoleransi. Apalagi kamu perempuan. Nama baik keluarga kita yang jadi taruhan." Kimmy merasakan sekelebat rasa bersalah menusuknya, tapi dia mencoba menepisnya. "Kimmy tau, Kek. Kimmy minta maaf. Itu nggak akan terjadi lagi." Hadi mengangguk pelan, tapi sorot matanya masih menyiratkan keraguan. "Kakek harap begitu. Kamu cucu satu-satunya di keluarga ini, dan Kakek sudah terlalu tua untuk terus-menerus khawatir soal kamu. Tolong jangan buat kakek tambah cemas dengan masa depan kamu, Kimmy." Kimmy mengangguk kecil, menghindari tatapan langsung dari kakeknya. "Kimmy ngerti, Kek. Kimmy janji nggak akan pulang pagi lagi." Hadi bangkit dari kursinya, memandangi Kimmy sejenak sebelum berbalik pergi. "Baiklah. Kakek percaya kamu, Kimmy. Tolong jangan kecewakan Kakek." Kimmy duduk diam, matanya memandang punggung kakeknya yang perlahan menghilang di balik pintu. Tangannya mengepal di bawah meja, menahan semua perasaan yang bergejolak di dalam dadanya. Semua terjadi begitu cepat. Kenyataan yang baru dia alami semalam kini membebani pundaknya dengan berat. "Gimana kalo sampe Kakek tau yang terjadi tadi malem?" pikirnya dengan rasa takut yang tiba-tiba menyergap. *** Siang harinya, Hadi meminta Mbok Ratih untuk memanggil Kimmy lagi, dan memintanya untuk membawa Kimmy ke ruang keluarga. Kimmy pun segera menemui kakeknya itu. "Kimmy, Kakek sudah putuskan, Kakek akan menjodohkan kamu dengan anak dari sahabat Kakek," ujar Hadi dengan tegas, tampak tidak menerima penolakan. “Apa, Kek? Menikah?” pekik Kimmy seraya bangkit seketika, saat sang kakek tiba-tiba memberitahunya bahwa dia akan dijodohkan dengan anak dari sahabatnya. Hadi mengangguk, pria tua itu pun menghela napas dengan berat, dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. “Nggak! Kimmy nggak mau, Kek! Kakek kan tau Kimmy udah sama Marcel. Kenapa Kakek justru jodohin Kimmy sama laki-laki yang sama sekali Kimmy nggak tau tampangnya kayak gimana!” sungut Kimmy yang dengan tegas menolak perintah sang kakek dengan raut wajah yang penuh amarah. Hadi melepas dan meletakkan kacamata yang dikenakannya di atas meja di ruang keluarganya, kemudian bangkit berdiri perlahan. “Tidak ada penolakan, Kimmy! Kakek sudah lelah lihat kelakuan kamu sejak bersama lelaki b3rengsek itu. Dia sudah merubah cucu Kakek yang manis dan penurut menjadi seorang gadis liar yang senang sekali keluar malam! Kakek tidak bisa membiarkan lagi kamu menjadi semakin liar di luar sana!” tegas Hadi Atmaja—satu-satunya anggota keluarga yang Kimmy miliki—yang berprofesi sebagai seorang pengusaha konveksi. Kimmy yang semakin emosional pun menatap tajam kepada kakeknya itu sambil mendengus kesal. Tidak terima kekasihnya dianggap sebagai laki-laki perusak, karena dia merasa Marcel selalu melindunginya selama mereka menjalin hubungan dua tahun belakangan ini. “Dia nggak pernah merubah Kimmy, Kek. Marcel laki-laki yang baik. Kimmy ke klub juga cuma ngisi acara jadi DJ, bahkan Kimmy nggak pernah sentuh minum-minuman beralkohol seperti yang selalu Kakek ingatkan. Kimmy nggak seliar yang Kakek pikir, Kek!” Kimmy semakin meninggikan suaranya kepada sang kakek. “Lihat saja kelakuan kamu sekarang. Semakin lama kamu sudah semakin berani membantah Kakek dengan suara tinggi seperti itu! Tidak ada lagi penolakan, Kimmy. Pokoknya, kamu harus tetap menikah dengan anak dari sahabat Kakek!” tegas Hadi lagi pada cucu semata wayangnya itu. Kimmy memejamkan kedua matanya dengan mengepalkan kuat kedua tangan yang menggantung di kedua belah sisi pahanya, mencoba meredam amarahnya karena semakin kesal melihat kakeknya yang semakin keras kepala dan tak ingin dibantah. Kemudian dia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Gadis yatim piatu yang sejak kecil dibesarkan hanya oleh kakek dan neneknya itu, menghempaskan dirinya ke tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Perasaan marah, bingung, dan tidak berdaya bergulat di dalam dirinya. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil, di mana cintanya kepada Marcel dipertaruhkan oleh keputusan sepihak kakeknya. Diraihnya sebuah pigura foto yang ada di atas nakas, foto dirinya bersama kakek dan neneknya, ketika sang nenek masih ada di dunia ini. Karena sekarang neneknya yang selalu memanjakannya itu telah meninggal dunia dua tahun lalu. “Nek, kenapa sih Nenek harus pergi tinggalin Kimmy sendirian? Kimmy harus gimana sekarang, Nek? Kakek keras kepala banget, Kimmy kesel sama Kakek,” batinnya dengan air mata yang menetes dan jatuh tepat di kaca pigura itu. Namun, dengan cepat dia menghapus air matanya itu. Setelah beberapa saat terdiam, Kimmy meraih ponselnya dan dengan cepat mengetik pesan kepada sahabatnya, Ciara. “Cia, gue butuh curhat sama lo,” tulisnya sebelum menekan tombol kirim. Tak lama kemudian, layar ponselnya menyala, menandakan panggilan masuk dari Ciara. “Halo, Kim. Lo kenapa? Lo lagi galau? Lo lagi berantem sama Marcel?” Suara Ciara terdengar tenang di ujung telepon, memberikan sedikit rasa nyaman bagi Kimmy. “Cia, Kakek gue tiba-tiba mau jodohin gue,” kata Kimmy dengan suara bergetar. “Dia mau gue married sama anak sahabatnya. Gue bener-bener nggak tau harus gimana sekarang.” Ciara terdiam sejenak, menyerap informasi yang baru saja didengarnya, dan detik kemudian kedua matanya terbelalak. “Astaga, Kim … lo serius?” "Hmm." "Apa lo udah coba buat nolak?" "Udah." "Terus, Kakek lo masih nggak berubah pikiran?" Kimmy menggelengkan kepalanya meskipun tahu Ciara tidak bisa melihatnya. “Dia udah buta keputusan, Cia. Dia nggak akan mau dengar apa pun alasan dari gue. Karena dia cuma kasih tau gue, bukan minta persetujuan gue. Dia bilang gue jadi terlalu liar semenjak pacaran sama Marcel.” Ciara nampak berpikir sejenak sebelum membalas curahan hati sahabatnya itu. “Kenapa lo nggak coba kenalan dulu aja sama cowok itu? Mungkin dia nggak seburuk yang lo bayangin, Kim. Mungkin aja dia lebih baik dari Marcel,” saran Ciara dengan nada lembut. “Gue nggak bisa, Cia. Gue cinta banget sama Marcel. Gue nggak mungkin khianatin dia,” Kimmy menjawab tegas, suaranya dipenuhi dengan kepastian. Ciara menghela napas panjang. “Gue ngerti perasaan lo, Kim. Tapi lo juga perlu mempertimbangkan situasi ini dengan kepala dingin. Kalo lo terlalu keras menolak, bisa jadi malah semakin memperburuk hubungan lo sama Kakek lo. Inget, Kim, cuma dia yang lo punya sekarang sejak nenek lo nggak ada. Jangan sampe lo nyesel nanti karena nolak keinginan Kakek lo ini.” “Apa yang harus gue lakuin, Cia? Gue bener-bener bingung sekarang,” ujar Kimmy, air mata mulai kembali menetes di pipinya. “Gue akan selalu dukung lo, apa pun keputusan lo, Kim. Tapi, saran gue, coba lo pikir lagi, mungkin ada cara lain yang bisa lo lakuin untuk menunjukkan sama kakek lo bahwa Marcel bukan kayak yang dia pikirkan selama ini. Mungkin dengan cara itu, lo bisa selamatin hubungan lo sama Marcel, dan tetap menghormati Kakek lo." Kimmy terdiam, mencerna saran dari sahabatnya itu. Meskipun hatinya berat, dia tahu Ciara ada benarnya. Dia harus mencari cara untuk membuktikan bahwa Marcel adalah pria yang baik dan layak untuk dicintai, bukan hanya untuknya, tetapi juga bagi kakeknya. “Okay, Cia. Gue coba pikirin apa yang lo bilang. Makasih lo udah mau denger curhatan gue dan kasih saran ke gue,” kata Kimmy dengan suara yang mulai tenang. “Gue bakal selalu ada buat lo, Kim. Jangan ragu hubungin gue kalau lo mau curhat lagi,” balas Ciara dengan lembut. Setelah menutup telepon, Kimmy menghapus air matanya. Dia tahu perjalanannya tidak akan mudah, tetapi demi cintanya pada Marcel, dia harus mencoba segala cara untuk memperjuangkan kebahagiaannya. Dengan tekad baru, dia mulai merencanakan langkah-langkah yang harus dia ambil untuk meyakinkan kakeknya yang keras kepala itu. Kimmy meraih ponselnya dan segera menghubungi Marcel. Setelah beberapa nada sambung, suara hangat Marcel terdengar di telinganya. "Halo, Beib. Kamu ke mana aja dari tadi malem? Aku coba hubungin kamu tapi nomor kamu nggak aktif." Suara cemas Marcel terdengar dari ujung telepon. "Marcel, ada hal yang mau aku bahas sama kamu. Bisa nggak kita ketemu di kafe deket rumah aku sekarang?" tanya Kimmy, suaranya bergetar karena emosi yang belum mereda. Alih-alih menjawab semua pertanyaan Marcel, dia justru balik bertanya. "Okay. Apa sih yang nggak buat sayangnya aku," jawab Marcel tanpa ragu. "Ya udah. Aku on the way sekarang ya, Sayang. Bye." Kimmy menghela napas lega setelah mengakhiri teleponnya dan bersiap-siap untuk keluar rumah. Namun, begitu dia membuka pintu, dia terkejut saat melihat empat orang pengawal berdiri di depan pintu rumahnya dan berusaha menghalanginya. "Maaf, Non Kimmy. Kami mendapat instruksi dari Tuan Hadi untuk tidak membiarkan Anda keluar rumah," kata salah satu pengawal itu dengan tegas. Kimmy menatap tajam kedua pria itu, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamar kakeknya dengan penuh amarah. Dia membuka pintu kamar kakeknya tanpa mengetuk. "Kek! Apa-apaan ini? Kenapa Kakek suru bodyguard-bodyguard itu menghalangi Kimmy keluar rumah?" teriak Kimmy dengan suara tinggi. Hadi menatap cucunya dengan tatapan keras. "Kakek tidak ingin kamu bertemu dengan laki-laki b3rengsek itu lagi. Kalau kamu bersikeras menolak perjodohan ini, Kakek akan menarik seluruh fasilitas kamu. Mulai dari kartu kredit, kartu debit, handphone, bahkan mobil kesayangan kamu pun akan kakek tarik semuanya." Kimmy terkejut mendengar ancaman kakeknya. "Kakek serius?" "Hmm." "Ya udah, kalo Kakek bersikeras kayak gini, Kimmy siap keluar dari rumah ini, Kek! Kimmy nggak butuh semua fasilitas itu kalau Kakek terus memaksa Kimmy menikah dengan orang yang Kimmy bahkan nggak mau tahu siapa namanya!" Hadi memegangi dadanya, merasakan rasa sesak yang semakin kuat, karena mendengar cucunya yang sudah semakin berani menentangnya dengan nada tinggi. "Kimmy, kamu ... kamu sudah berubah ...," gumamnya dengan napas terputus-putus. Kimmy terdiam, menyadari bahwa kakeknya sedang merasakan kesakitan. "Kek, Kakek kenapa?!" tanyanya panik. Melihat kakeknya yang mulai kesulitan bernapas, rasa takut mulai memenuhi hati Kimmy. Dia sungguh takut jika kakeknya akan pergi meninggalkannya seperti sang nenek. Karena tidak ada lagi keluarga inti yang Kimmy miliki jika kakeknya pergi dari dunia ini menyusul neneknya. Sebab, sejak dia berusia 1 tahun, kedua orang tuanya sudah pergi meninggalkannya karena kecelakaan maut yang mereka alami, dan hanya Kimmy yang selamat saat itu. Maka dari itulah, hanya sosok kakek dan nenek yang Kimmy miliki sejak kecil. Hadi kemudian jatuh terduduk di tempat tidur, wajahnya pucat. "Kim ... jantung ... Kakek ...," ucapnya dengan suara lemah dan napas yang mulai tersengal, karena rasa sesak yang semakin menyakitkan. Menyadari serang jantung kakeknya yang mulai kambuh, Kimmy segera berlari keluar kamar dan berteriak kepada para bodyguard. "Tolong! Cepat bantu saya bawa Kakek ke rumah sakit! Jantung Kakek kumat lagi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD