5. Hari Pernikahan

1567 Words
Di dalam kelas, Zayyan berpikir tentang situasi yang baru saja disaksikannya. Meskipun dia biasanya tegas dan tak kenal kompromi, dia mulai memahami tekanan yang dihadapi Kimmy setelah mendengar semua cerita tentang Kimmy dari sang bunda kemarin. Zayyan juga tahu dari bundanya tadi malam jika kakek Kimmy sedang dirawat di rumah sakit karena serangan jantungnya yang kambuh. Itulah yang menjadi alasan Zayyan mengizinkan Kimmy untuk memasukkan ke kelasnya. Perlahan, dia merasa ada tanggung jawab moral untuk mendekati Kimmy dan mungkin, memberikan bimbingan yang lebih daripada sekadar akademis, setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua kemarin, juga karena mendengar kisah hidup Kimmy dari sang bunda yang membuat hatinya sedikit tersentuh. *** Siang itu, Kimmy kembali ke rumah sakit. Hadi sedang terbaring dengan wajah yang sedikit lebih cerah daripada kemarin. Melihat cucunya datang, Hadi tersenyum lemah. "Kimmy, kamu sudah kembali, Nak?" sapanya dengan suara lirih. Kimmy mendekat dan menggenggam tangan kakeknya dengan lembut. "Iya, Kek. Kimmy di sini. Maaf ya, Kek, Kimmy sempat emosi kemarin. Kimmy cuma bingung dan sedih." Hadi menggeleng pelan. "Kakek yang seharusnya minta maaf. Kakek terlalu keras sama kamu. Kakek cuma ingin yang terbaik untuk kamu, Kimmy. Kakek harap kamu mau ngerti. Mungkin saat ini kamu menentang keputusan Kakek, tapi Kakek yakin, suatu hari nanti kamu justru akan bersyukur dengan apa yang Kakek lakukan sekarang." Kimmy mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kita cari solusinya sama-sama nanti ya, Kek. Kimmy nggak mau lihat Kakek sakit lagi karena masalah ini. Kakek harus cepat sembuh. Mulai sekarang, Kimmy akan berusaha keras di kampus supaya bisa cepat lulus dan bantu kakek ngurus perusahaan," bisiknya dengan penuh tekad. Hadi tersenyum lemah. "Kakek percaya sama kamu, Kimmy. Kamu bisa melakukannya kalau kamu sudah bertekad." Dengan hati yang masih dipenuhi dengan berbagai emosi, Kimmy bertekad untuk berubah demi kakeknya. Dia sadar, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi demi kebahagiaan kakeknya dan masa depannya, dia akan mencoba segala cara untuk memperjuangkan impiannya. Kimmy yang terus duduk di samping tempat tidur kakeknya, merasakan ketenangan yang perlahan-lahan kembali ke dalam dirinya setelah berbicara banyak hal dengan kakeknya itu. Tiba-tiba, pintu kamar rawat VIP itu terbuka dan masuklah Ciara, Naomi, Keenan, dan Evelyn. Kimmy terkejut melihat kedatangan para sahabatnya. "Kimmy!" seru Ciara, menghampiri dan memeluknya erat. "Kalian? Kok kalian bisa di sini?" tanya Kimmy, heran sekaligus senang melihat mereka. Karena seingatnya, dia belum memberitahukan siapa pun tentang kakeknya yang sedang sakit, kecuali Marcel. "Kita tau dari Marcel," jawab Naomi berbisik sambil berdiri di sisi Kimmy, di tepi ranjang Hadi. "Maaf banget ya kita baru tau. Gimana kondisi Kakek sekarang?" tanyanya pada pria berambut putih yang sedang duduk bersandar di atas tempat tidurnya itu. Hadi tersenyum lemah dan menjawab, "Kakek sudah lebih baik sekarang, terima kasih sudah menyempatkan datang ke sini." "Sama-sama, Kek," jawab mereka serempak kemudian mereka saling melempar pandangan dan tertawa. "Kok bisa barengan sih? Kompak banget kita," cetus Ciara. "Maklum, kita kan udah sehati, sejiwa," timpal Naomi sambil menaik-turunkan alisnya dengan gayanya yang tomboy. Evelyn menambahkan, "Kita semua khawatir banget sama lo, Kim. Lo dari kemaren nggak bisa dihubungin. Kita manggil-manggil lo di group nggak di sahutin sama sekali. Lo nggak apa-apa, 'kan?" Kimmy menghela napas dan tersenyum tipis. raut wajahnya terlihat sangat lelah. "Gue baik-baik aja. Makasih ya udah pada dateng. Kemaren hp gue ketinggalan di kamar Kakek pas mau bawa Kakek ke rumah sakit." Keenan menambahkan sambil meremas bahu Kimmy. "Kita semua sahabat, Kimmy. Kalo ada apa-apa jangan lupa kasih tahu kita. Jangan lo pendam sendiri. Kalo kita tau kan kita bisa gantian jaga Kakek. Muka lo keliatan banget kecapean tau." Hadi memandang mereka dengan mata yang mulai berbinar. "Terima kasih ya sudah peduli dengan cucu Kakek. Kimmy beruntung memiliki sahabat seperti kalian." Ciara tersenyum lembut. "Kita semua sayang sama Kimmy, Kek. Kita akan selalu ada buat Kimmy." "Iya, itu bener, Kek. Aku sebagai laki-laki satu-satunya di antara cewek-cewek ini, bakal jagain mereka semua dari pergaulan bebas," kata Keenan. "Yakin lo laki-laki? Tulen emang? Lo aja mainnya sama kita mulu," timpal Kimmy yang membuat semua tertawa, termasuk sang kakek. "Eh gue cowok tulen, ya. Lo pada nggak liat apa nih otot-otot gue? Apa mau liat sekalian perut sixpack gue, huh?" sungut Keenan yang tak terima dengan ejekan teman-temannya itu. "Terus kenapa lo maunya main sama kita mulu coba?" tanya Ciara. "Ya kan emang cuma lo pada sahabat gue dari SMP. Gue nggak mau main sama cowok tuh karena takut terjerumus ke pergaulan bebas yang aneh-aneh. Bukan karena gue nggak normal gaje! Lo pada kan tau cita-cita gue dari kecil," balas Keenan lagi dengan raut wajah kesal. "Iya tau yang calon dokter!" timpal Naomi mengejeknya. Para gadis di kamar itu pun kembali tertawa. "Sudah sudah. Kasihan Keenan, jangan diejek terus," kata Hadi menasehati para gadis muda itu. "Kalian seharusnya bersyukur ada Keenan di antara kalian. Jadi, ada yang jagain kalian kalau ada yang macam-macam sama kalian." "Jagain apanya, Kek? Yang ada Nom-nom yang jagain dia. Waktu SMP, dikejar soang aja dia takut, malah tuh soang takutnya sama Nom-nom, dipelototin doang tuh soang langsung kabur," balas Naomi yang membuat semua kembali tertawa. "Apa itu soang?" tanya Hadi dengan dahinya yang mengernyit. "Soang itu Angsa, Kek," jawab Kimmy. "Eh itu kan dulu, sebelum gue ikut taekwondo!" sungut Keenan lagi pada Naomi. "Dih, prik banget ini anak. Apa hubungannya takut sama soang sama taekwondo? Emang mau lo ajak duel tuh soang, huh?" balas Naomi yang tak kalah ngotot. "Udah ah udah! Lo berdua tuh kalo udah berantem gak kenal tempat, heran gue. Tar jodoh baru tau rasa lo pada!" kata Evelyn. "Idih najis banget gue jodoh sama cowok kek dia!" kata Naomi sambil bergidik. "Najis-najis nanti tau-tau jatuh cinta sama gue, langsung gue tolak tau rasa lo!" balas Keenan lagi. "Huussst! Udah diem!" omel Ciara pada kedua sahabatnya itu. "Maaf ya, Kek. Kita mau jengukin Kakek malah dengerin mereka berantem kayak gitu. Mereka berdua emang tiada hari tanpa berantem, Kek. Harap dimaklum ya, Kek," katanya pada Hadi dengan lembut. "Nggak apa-apa, Kakek justru merasa terhibur dengan kedatangan kalian," jawab Hadi tersenyum dengan wajah yang sudah terlihat lebih segar. Lantas Hadi pun meminta Kimmy untuk pulang saja beristirahat di rumah. Dia tidak tega melihat cucunya itu tampak begitu kelelahan. Awalnya Kimmy menolak, namun karena bujukan teman-temannya, akhirnya Kimmy bersedia untuk pulang. Karena Keenan berjanji akan menemani Hadi menggantikannya. Sepulang dari rumah sakit, Kimmy terus memeriksa ponselnya, berharap ada pesan dari Marcel. Namun, layar ponselnya tetap hening. Dia mengecek beberapa kali, bahkan sebelum tidur, namun tak ada satu pun pesan dari Marcel. "Apa dia beneran anggap kata-kata gue tadi itu berarti kita beneran udahan?" gumam Kimmy penuh sesal, lalu menghela napas panjang. Keesokan harinya, Kimmy kembali ke kampus, melaksanakan ujian berikutnya, untuk mata kuliah lain. Setelah ujian selesai, dia berharap Marcel akan menemuinya lagi seperti kemarin. Namun, Marcel tidak muncul. Rasa kecewa menyelimuti hatinya. Kimmy tersenyum tipis, lalu bergegas pergi menuju mobilnya. Kimmy mencoba tetap fokus dan segera menuju rumah sakit untuk menemani kakeknya. Saat tiba di rumah sakit, Hadi menyambut Kimmy dengan senyuman. Namun, Kimmy bisa melihat kekhawatiran yang tersembunyi di balik senyuman itu. "Kimmy, ada yang ingin Kakek bicarakan sama kamu, Nak. Duduklah," kata Hadi dengan suara pelan tapi serius. Kimmy duduk di samping tempat tidur Hadi dan menggenggam tangannya. "Apa itu, Kek?" Hadi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Kakek tadi mimpi ketemu sama nenek kamu. Kakek takut nggak sempat menjadi wali nikah kamu kalo tiba-tiba serangan jantung Kakek kambuh lagi dan malaikat bener-bener mencabut nyawa Kakek. Kakek mau kamu segera menikah besok lusa." Kimmy terkejut, hatinya bergejolak. Namun, dia tahu bahwa keinginan kakeknya ini mungkin yang terakhir. Hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk. Namun, karena dia berpikir bahwa Marcel sungguh tidak peduli lagi padanya, dia akhirnya berkata, "Iya, Kek. Kimmy setuju. Tapi tolong, jangan publikasikan pernikahan ini dulu. Cuma keluarga aja yang boleh tau. Nanti Kimmy sendiri yang kasih tau sahabat-sahabat Kimmy." Hadi mengangguk dan memeluknya, matanya berbinar-binar penuh haru, karena cucu semata wayangnya itu tidak bersikeras menolaknya lagi. "Terima kasih sudah menerima permintaan Kakek, Nak." Kimmy pun hanya mengangguk. Senyuman yang tampak getir terbit di wajahnya. *** Hari pernikahan Kimmy pun tiba. Rumah mereka hanya didekorasi dengan sederhana, sesuai dengan permintaan Kimmy. Segalanya tampak berjalan cepat, seperti dalam mimpi. Ketika Zayyan dan keluarganya tiba, mereka langsung melangsungkan ijab qobul setelah penghulu siap dengan dokumen-dokumennya. Sementara itu, Kimmy memilih menunggu di kamarnya, merasakan setiap detik yang berlalu seperti mengiris hatinya karena pernikahan paksa itu. Entah seperti apa wujud pria yang menikahinya itu, Kimmy tidak mau tahu. Pikirannya hanya terus fokus pada Marcel, pria yang benar-benar dia cintai. Setelah ijab kabul selesai, asisten rumah tangganya--Mbok Ratih--datang menjemput Kimmy. "Non Kimmy, ayo, saatnya Non keluar," katanya lembut dengan logat Jawa nya yang kental. Kimmy mengangguk dan berjalan perlahan, mengenakan kebaya putih yang membuatnya terlihat anggun dan cantik. Kepalanya terus menunduk, enggan untuk melihat siapa pria yang kini menjadi suaminya. Saat dia mendekati tempat akad nikah, dia merasakan aroma parfum yang tak asing di hidungnya. Setelah selesai menandatangani berkas-berkas yang disodorkan penghulu, dan ketika pria itu tengah memakaikan cincin di jari manisnya, matanya tertumbuk pada jam yang dikenakan pria itu. Jam itu tampak sangat familiar baginya. "Siapa sebenernya dia? Kok kayak kenal sama jam tangannya? Wanginya juga kayak nggak asing," gerutunya. Perasaan penasaran sungguh menguasai dirinya, dan dia mulai mendongakkan wajahnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok dosen yang paling dia benci di kampus, ada di hadapannya, dan sedang dia pegang jemarinya, saat hendak memakaikan cincin di jari manis pria itu. "Ba-Bapak?!" pekiknya terkejut bukan kepalang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD