Another night to party?

1225 Words
                Pukul tiga sore, ibu sudah menelepon ku untuk segera pulang sebab pesanan kue nya sudah sampai di rumah lima belas menit sebelum ibu menelepon, aku tentu saja mengiyakannya toh aku juga sudah janji kepada ibu bahwa aku akan pulang tepat waktu, bukan hanya sekedar janji belaka. Pekerjaan ku sudah jauh lebih ringan di banding kemarin, tepat pukul lima sore, aku membereskan meja kerja ku lalu berjalan santai menuju parkiran. Ku lihat telepon ku tidak ada panggilan tidak terjawab dari ibu, padahal biasanya ibu akan terus menelepon ku jika menyuruh sesuatu hingga aku melakukannya, aku postif thinking, mungkin ibu sedang sibuk.                 Sesampainya di rumah, ku lihat ada sebuah box kue dengan desain yang sangat mewah di letakan di meja makan, mungkin box kue itu lah yang harus ku bawa ke rumah teman-teman ibu. Ku lihat jam, masih pukul enam, harusnya aku masih sempat mandi dulu sebelum mengantar kue tersebut, setelah mandi baru lah aku turun ke bawah, bersiap mengantar kue-kue itu. namun aneh nya, aku bahkan sampai tidak melihat di mana letak kue itu sekarang.                 “Kue nya mana mbak?” Tanya ku kepada Mbak Siti. Pembantu di rumah kami.                 “Kue nya sudah di bawa sama non Cena, non.” Jawab Mbak Siti. Wait… sejak kapan Cena pulang secepat ini?                 “Pakai apa? kan mobil nya lagi di bengkel?” Tanya ku, lagi.                 “Di anter sama temennya kayak nya non, saya lihat nya sih temennya yang pakai mobil putih. Gak ngerti saya merk nya apa, mirip sama punya non Sheila.” Jawab Mbak Siti. Mirip punya Sheila, sepupu ku. Berarti Honda Civic? Honda Civic berarti punya Mas Al? Sejak kapan mereka jadi sedekat itu? Tapi kan yang punya Civic putih bukan Mas Al saja… Tapi kan Cena temannya sedikit.                 “Oalah, yaudah Mbak, yaudah Mbak istirahat aja.” Ucap ku. Aku kembali lagi ke kamar. Niat nya aku ingin mengintip lagi malam ini, tentu saja pada posisi yang bagus sehingga aku tidak harus ketahuan oleh dokter kaku itu. namun belum beberapa saat aku di kamar, teman SMA ku, Sania, tiba-tiba mengajakku ke sebuah club malam baru yang belum sempat kami kunjungi. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengganti baju dan memakai riasan pada wajah ku, tidak peduli dengan Mas Al dan Cena, aku dalam sekejap melupakan mereka. Setelah menghabiskan setengah jam lebih hanya untuk merias wajah, kini aku siap, aku hanya tinggal menunggu Sania datang menjemput ku. Dan benar saja, tidak lama setelahnya ku dengar suara klakson dari bawah, pasti itu Sania. Tanpa mengecek nya aku buru-buru menyambar tas dan juga ponsel ku yang terletak di atas meja rias, kemudian berlari ke bawah sembari menenteng heels lima cm ku untuk ku pakai di atas mobil nya. Sial nya, tebakan ku salah, aku malah mendapati Mas Al sedang berdiri di hadapan ku di saat aku sedang berusaha membuka pintu pagar. Tidak ada Sania di sana, yang ada hanya Mas Al dan juga Cena yang baru saja keluar dari mobil. What the hell? Pemandangan macam apa ini?. Ucap ku dalam hati.                 “Kamu mau kemana?” Tanya Mas Al, matanya menatap mata ku dengan tajam. Tatapan mengintimidasi, persis dengan tatapannya ketika di hotel beberapa malam yang lalu.                 “Mau keluar lah, emang mau kemana lagi?” Balas ku. Sok berani, padahal di tatap seperti itu saja sudah ciut.                 “Pakai pakaian seperti ini?” Tanya nya. Ia memandang ku dari bawah hingga atas berulang-ulang berusaha mencari celah pada diriku.                 “Iya, emang kenapa?” Balas ku, lagi. Kali ini aku sudah berharap Sania segera datang agar aku bisa langsung naik ke mobil nya, sekarang aku malah terkurung dengan posisi seperti ini.                 “Sebaiknya kamu ganti baju dulu, yang sedikit tertutup, ini terlalu mengundang perhatian laki-laki.” Ucap nya dengan sangat lembut. Aku bahkan sampai tidak sadar telah diam selama beberapa detik karena mendengar ucapannya yang terdengar begitu lembut di telinga ku.                 “Celine?” Panggil nya lagi. Aku tersadar kemudian dengan cepat aku mundur se langkah agar tidak terlalu dekat dengannya. Kenapa dia mau mengatur ku? Memangnya siapa dia?                 “Nggak! Orang gak mau. Kenapa sih, ngatur-ngatur mulu? udah ah, mau pergi.” Balas ku dengan kesal, aku berusaha menjauh dari dirinya, bersamaan dengan mobil Sania yang berhenti tepat di depan mobil Mas Al. ku kira pria itu berhenti ketika aku menepis tangannya, ternyata tidak, ia malah semakin gencar untuk melarang ku untuk pergi. Ia berjalan mendahului ku, menahan tangan ku ketika ingin naik ke mobil Sania.                 “Kamu duluan saja ya? Celine saya yang antar.” Ucap nya. Entah kenapa Sania malah menurut, padahal aku sudah setengah mati berteriak kepada Sania agar menungguku, namun gadis licik itu malah meninggalkan ku bersama dengan dokter kaku di hadapan ku ini.                 “Apaan sih mas?! Kamu kenapa sih! aku mau pergi sama dia, kamu kenapa larang-larang mulu? di suruh siapa?” emosi ku memuncak, selama ini tidak ada yang berhak melarang ku pergi kemana saja, bahkan papa dan ibu ku sendiri.                 “Bahaya Celine… kamu mau apa ke club malam pakai baju begitu? Kamu mau di bawa pulang sama laki-laki hidung belang? Nurut ya? Kalau kamu ngotot mau kesana ganti baju atau saya yang antar.” Ucap nya.                 “Ya terus masa iya ke tempat gituan pake nya baju gamis? Astagaaa kamu ini bergaul di mana sih mas?!” Ucap ku dengan geram.                 “Ayo saya antar.” Ucap nya dengan penuh kesabaran.                 “Gak usah, aku bakal lama di sana.” Jawab ku.                 “Saya tungguin.” Balas nya lagi. Ia berjalan menuju mobil nya, membukakan pintu untuk ku, setelahnya ia masuk dan duduk di kursi kemudi. Aku melirik Cena yang menatap geram ke arah ku. Cih apa-apaan dia, kenapa dia menatap ku seperti itu? aneh.                 Di mobil, kami berdua diam saja, tidak ada percakapan di antara kami. Aku masih marah sebab ia dengan sengaja membuatku terlambat pergi bersama Sania. Sania juga sama, ia bisa-bisa nya lebih mendengarkan Mas Al yang bahkan ia tidak tahu siapa, di bandingkan aku, sahabatnya sendiri.                 “Habis ini pulang aja, aku mau sampai pagi.” Balas ku dengan nada sinis.                 “Saya tungguin kamu sampai pagi.” Jawab nya. Aku melotot, entah apa tujuan dari manusia menyebalkan ini sampai ia rela menunggu ku hingga pagi. Padahal ia bisa saja pulang dan tidur nyenyak di rumah nya tanpa harus repot-repot menunggu ku.                 “Kamu ini sadar gak sih mas? Kamu lagi buang-buang waktu kamu sekarang. Mending kamu pulang deh, dari pada harus nungguin aku. kamu kan tau aku kalau udah party gimana? Gak usah sok jadi superhero deh. I can handle my self. Gak butuh bantuan kamu juga.” Balas ku dengan ucapan yang sedikit kasar. Hell yeah biar saja, biar dia sadar.                 “Sepulang dari party sama kamu. Saya dapat pasien yang celaka gara-gara di bawa sama laki-laki hidung belang ke hotel setelah party di dalam. Kamu ini gak baca berita ya? Di club ini memang baru, tapi keamanannya nol. Mau apa kamu kalau  ada di posisi orang itu? kamu kalau mabuk sadar nya lama. Apalagi pakai pakaian begitu.” Ucap nya dengun penuh ketegasan. Belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. Aku mematung di tempat ku ketika melihat seseorang di seret keluar oleh satpam dengan keadaan babak belur dan berdarah. Aku menatap Mas Al dengan tatapan takut, ia langsung menggelengkan kepalanya kemudian tanpa basa-basi ia tancap gas.                 “Kita pulang, saya gak mau kamu kenapa-kenapa.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD