Arisan Horor

1076 Words
Entah dorongan dari mana kali ini aku bisa lebih tenang dalam memohon petunjuk-Nya. Sosok itu langsung lari keluar dari kamarku menuju keluar rumah dan tidak terlihat lagi. Karena terdengar seperti suara pintu di dobrak dan jeritan mengaum yang begitu berat dan nyaring. Ketika tak lagi terdengar suara aneh, barulah ku buka mataku dan melihat sekeliling, nihil tak ada siapapun. Langsung ku berlari keluar kamar dan lari lagi keluar rumah. Begitu ku buka pintu… “Ibu kenapa? Kok seperti orang dikejar setan begitu” kata pembantuku sambil ketawa kecil. Rupanya bibi dan anak-anak sudah pulang dari jalan-jalan. “Ah tidak ada apa apa bi…” kataku. Tak berapa lama sang suamipun pulang kembali ke rumah. Dan aku yakin kalau ini pasti suamiku. Tin tin … terdengar suara khas klakson mobil suamiku. “Lho kok bapak cepat pulangnya bu…?” tanya si Bibi. Aku hanya diam, tak ku jawab pertanyaan si Bibi. Sambil kuamati betul-betul siapa yang datang apakah  benar suamiku. Baru dia memasuki pagar rumah, langsung ku berondong pertanyaan “Kenapa balik Yah?” “HP ayah ketinggalan” jawab suamiku sambil berlalu masuk rumah. Alhamdulillah ini benar dia suamiku, dalam hatiku. Ternyata dugaanku tadi benar yang pertama tadi bukan suamiku. Sepertinya itu sosok yang sering teman-teman ku ceritakan. Ya Allah syukurlah tidak terjadi. “Udah ya Mah, Ayah turun kerja dulu” sapaan suamiku menyadarkan ku. Beberapa hari berikutnya, ada teman-teman arisan pada ngumpul di rumahku. Kebetulan hari itu giliran aku yang menjadi tuan rumah. Suasana rumah menjadi ramai, padahal yang arisan cuma 10 orang tapi bawaannya yang bikin rusuh. Hmm gimana ga rusuh, klo semua pada membawa buah hatinya. Anakku pun jadi membaur dengan anak-anak mereka. Semua menu makanan dan minuman sudah siap untuk di hidangkan. Ketika sedang asyiknya kami menyantap makanan tadi, ada seorang anak temanku yang menangis. Mungkin tanpa sengaja selisih dengan temannya. Ku coba mendiamkan anak tersebut. Aku cari mamanya diantara teman-temanku. Ku tanya ke semua temanku, tidak ada yang melihat, kecuali “Sepertinya tadi ke dalam, ga tau mau ngambil apa?” ada salah satu orang menyahut pertanyaanku. Ku gendong anak temanku itu supaya dia bisa tenang. Ku ajak kedalam rumah, untuk menemui mamanya. Sampai di dapur, aku lihat seseorang dari belakang dan sepertinya temanku, mama si bocah ini. “Nah itu Mama mu De …” kataku. Si bocah yang menangis tadi langsung terdiam. Dan mengalihkan pandangannya ke belakangku serta memeluk dengan erat. “Lho kenapa? Itukan Mama mu de…” kataku lagi. “Mama Kiki, ini Kiki cariin nah …” kusapa temanku itu, tapi ia tidak menjawab sedikitpun. Kucoba sapa lagi “Ma, Mama Kiki, ini Kiki tadi nangis lho …” bukan temanku yang menjawab sapaanku. Melainkan si bocah yang ku gendong ini. Dengan suara pelan dan berat anak usia 2 tahun bisa bicara dengan lancarnya “dia bukan Mama ku Tante …” Astaghfirullah … Rasanya beban yang ku gendong ini terasa berat, berat dan semakin berat. Ya Allah jangan dekatkan aku pada ‘mereka’, jauhkan ya Rabb, doaku dalam hati. Mama Kiki yang kulihat tadi masih tetap pada posisinya, membelakangi aku dan anaknya. Karena aku merasa anak ini semakin berat, maka ku taruh dia di kursi dapur. Anak itu hanya tertunduk, tidak menangis dan tidak menatapku juga. Aku coba beranikan diri. Mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ketika kepalanya terangkat. Ya Allah, Astaghfirullah … Astaghfirullah … Astaghfirullah … Wajah anak itu menua, penuh dengan keriputan, matanya tak ada, mulutnya terluka robek yang lebar dan berdarah. “Itu bukan Mamaku, tapi …” anak itu malah menunjuk aku. “Ah bukan, kamu bukan anakku…” aku menjerit histeris. “Mba, mba, mba Meli, bangun mba …” aku mendengar seseorang memanggil namaku. “Eh mama Kiki, kenapa aku Mah?” tanyaku. “Mba Meli kenapa kok terbaring di sini dan teriak-teriak lagi …” tanya Mama Kiki sambil tersenyum. “Ga tau Mah, tadi anakmu si Kiki nangis, minta diantar ketemu kamu, ta kira kamu di dapur Mah ...” “Kiki lho lagi di depan main dengan anak-anak yang lain, aku tadi lagi kencing, ga tau kenapa kok susah betul buka pintu kamar mandimu itu, makanya agak lama” “Eh begitu kebuka kok aku melihat MbaMeli baring di lantai?” kata Mama Kiki. “Tadi aku juga lihat di belakang ada seorang nenek lagi jemuran, tak kira mertuamu, sudah gitu yang dijemur semuanya serba putih, begitu ku sapa, dia menunjukkan wajah jutek, langsung aja tak cuekkin” sambung Mama Kiki. Astaghfirullah, bukannya mertua sudah 5 tahun yang lalu telah tiada, dalam batinku. Lantas siapa Nenek yang dimaksud Mama Kiki tadi? Selesai acara arisan hari itu, badanku serasa pegal semua. Hari ini sungguh hari yang melelahkan. Aku tak sanggup lagi untuk membantu membereskan rumah. Anak-anak ku suruh adikku menjaganya, aku mau istirahat sebentar. Saat merebahkan badan di ranjang, langsung aku memasuki alam bawah sadar. Hadirnya seorang pria yang begitu tampan, dan wajahnya seperti pernah ku kenal. Pria itu ternyata mantanku waktu kuliah. Pria ini memang dulunya orang yang sangat ku cintai, tapi takdir berkata lain. Kami harus berpisah. Entah bagaimana kabarnya sekarang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya. Dalam mimpi itu dia membawa aku ke suatu tempat yang begitu indah, hingga dia berusaha untuk mengajak aku ‘berhubungan’. Aku menolaknya secara halus, tapi dia tetap berusaha dan akhirnya dia marah besar karena tidak mau menuruti keinginannya. Aku hanya bisa menangis. Dan dia bersumpah, jika aku tak bisa memilikinya, maka tak seorangpun boleh memilikinya juga. Aku langsung tersadar, dengan nafas yang tersengal-sengal aku coba mengulang memori mimpi itu. Mencoba mengurai arti mimpi itu. Hasilnya nihil, aku tak mampu mengartikannya. Seiring waktu, tingkat keimanan suamiku tak berubah malah semakin jauh. Ia pun jadi mudah kesurupan. Padahal sebelum-sebelumnya tidak pernah begini. Apalagi ibadahnya juga sering bolong, kadang malah lebih mementingkan kehidupan duniawi nya. Letak masjid yang begitu dekat dengan rumah tidak menggerakkan kakinya untuk melangkah ke masjid itu. Bahkan suara adzan ia selalu menutup telinganya seakan tidak ada suara itu. Puasa wajib pun tidak sebulan penuh dijalankan. Tiada habisnya aku coba menasehatinya agar menjalankan perintah-Nya. Tapi jawaban yang ku dapat malah hardikan, bahkan sering terjadi perdebatan kecil. Sedih melihat keadaan suami begitu, apalagi ketika melihat kedua buah hatiku. Aku yakin jika dalam tubuh Ridho masih ada ‘sesuatu’ yang buruk atau sosok yang kembali meraga di dalamnya. Bisa jadi pagar gaib yang dibuat Pak Ulil sudah runtuh karena tabiat suamiku sendiri. Aku jadi teringat dengan Mas Rey, orang yang memiliki kelebihan ketika melihat aku dan suami. Setiap hari aku terus berusaha membujuk suamiku agar mau datang ke rumah Mas Rey. Tetap saja dia bersikeras enggan kesana. Hingga akhirnya dia bersedia tapi tidak ke rumah Mas Rey, melainkan mengikuti acara ruqiah massal di sebuah tempat. Aku pikir tidak ada salahnya aku mencoba mengikuti keinginannya. Paling ga dia mulai ada sedikit perubahan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD