Banyak games yang sudah ku mainkan dengan anak-anak dan suamiku. Dan tibalah saatnya kami menghilangkan rasa dahaga di tenggorokan karena cukup lama kami bermain tadi. Sekejap ku tinggalkan mereka yang sedang asik bermain. Aku mencari minum dan sedikit snack buat mereka. “Nah disana ada booth makanan dan minuman,” pikirku. Bergegas ku langkahkan kaki menuju booth itu. Agak sulit memang, karena aku harus menembus kepadatan pengunjung saat itu.
Begitu hampir mendekati booth minuman itu, tiba-tiba tanganku seperti ada yang meraih dan menariknya, dan itu sangat kasar. “Astaghfirullah …” pekikku. Begitu kulihat siapa yang menarik tanganku … “Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah …” hanya ini yang terus ku ucapkan dalam hatiku sambil memejamkan mata. Sosok yang menarik tanganku bukan seorang manusia normal.
Ya Allah, dia seorang nenek yang begitu renta, dengan rambut terurai tak beraturan, mata yang besar hampir terkeluar serta mengeluarkan darah yang begitu segar. Wajahnya hancur dan tangan nya penuh dengan luka yang bernanah. Bersikeras aku melepasnya dan menarik tanganku, terus ku paksa. Nenek itu hanya tersenyum. Dia tidak mau mengendurkan dan melepas tanganku. Padahal terlihat nenek itu memegangnya seperti pelan aja, tapi aku tetap tak bisa melepasnya. Seakan-akan tenagaku hilang saat itu juga. Aku terus membaca ayat-ayat Qur’an yang ku ingat.
Akhirnya … bruk!
Aku menabrak seseorang. “Mba hati-hati dong kalau jalan, main tabrak aja, punya mata ga sih …?!” kata orang tersebutdengan mata melotot. Aku langsung tersadar dan minta maaf pada pengunjung itu. Aku terdiam sejenak? Apa yang barusan terjadi? Aku berada dimana tadi? Siapa nenek tadi dan kenapa ia menarik tanganku?
Belum selesai keheranan yang ku alami, tak berapa lama suami dan anak-anakku datang mendekatiku. “Mah mana minumannya, kok lama betul sih” kata suamiku mulai ngomel karena terlihat mereka semua sudah kelelahan. Ku coba lupakan kejadian yang menyeramkan tadi.
Kami mencari tempat yang bisa membuat nyaman untuk istirahat sejenak dan kamipun mendapatkannya. Kejadian yang ku alami tadi tetap ku simpan. Tidak ku ceritakan pada suamiku tapi otak ku masih tetap kepikiran kejadian tersebut. Selagi asik-asiknya menikmati waktu istirahat, tiba-tiba aku seperti mendapat firasat atau semacam dorongan dan bisikan. Aku seperti disuruh untuk main ke arena Rumah Serem yang letaknya tidak jauh dari tempat kami beristirahat.
Entah dorongan itu semakin kuat memaksa aku untuk masuk ke arena itu. Kemudian reflek ku ajak suami untuk bermain di arena itu. “Ayo Yah kita masuk ke rumah serem itu, sepertinya seru,” Pintaku. Suami pun spontan terkejut, karena biasanya aku orangnya agak penakut dengan hal yang berbau horor, kalaupun berani hanya keberuntungan saja karena kebetulan ada suami disisinya. Ridho memang sangat paham betul mengenai sifatku yang penakut.
Aku merasa penasaran kenapa sih aku harus masuk ke arena itu. Beruntung Ridho mau menuruti keinginanku. Setelah merasa cukup istirahatnya, kami ber-empat melangkah ke dalam arena serem itu. Setelah empat tiket di beli, aku yang menggendong anakku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Anakku yang ku gendong pun sepertinya mulai merasakan juga, tampak ia agak ketakutan. Begitu juga dengan anakku yang pertama, agak sedikit ragu masuk ke arena itu. Suamiku yang memang pemberani berusaha meyakinkan aku dan anak-anak.
Apalagi tiket sudah terlanjur dibeli, sayangkan bila tidak digunakan. Akhirnya dengan tekad yang bulat, aku, suami dan anak-anak langsung memasuki arena tersebut. Sepanjang perjalanan dalam arena itu aku terus berbacaan dalam hati, karena aku merasa ada sesuatu yang ganjil dalam arena ini, tapi anehnya tetap ingin meneruskan masuk lebih dalam lagi. Anakku yang ku gendong terus berpelukan dan memejamkan matanya namun ia tak menangis.
Sementara si kakak dengan ayahnya, berusaha melawan takutnya karena sepertinya dia takut dimarahi Ayah ketimbang rasa takut yang ada di arena tersebut. Fase demi fase kami lalui, aku yang sejak awal sudah merasakan kurang nyaman suasananya, tidak begitu menanggapi kejutan-kejutan demit yang hanya settingan berupa boneka dan orang yang menyamar.
Begitu memasuki fase yang sepertinya mendekati akhir, aku semakin berdebar, entah kenapa, seharusnya mendekati fase akhir aku merasa senang, tapi ini tidak. Semua bulu di badanku terasa merinding dan hawanya sangat terasa dingin. Tanpa kusadari anakku yang digendong ternyata telah tertidur.
Suamiku masih tetep semangat. Sementara anakku yang pertama sudah mulai terlihat kelelahan. Dan di fase terakhir inilah ada sesuatu yang membuat mata tidak bisa berkedip sedikitpun. Melihat sesosok yang sepertinya tidak asing. Aku merasa kenal dengan sosok itu. Sosok yang pernah ku lihat sebelumnya, tapi entah dimana tepatnya.
Padahal sosok itu sangat jelas terlihat menyeramkan. Merasa tidak takut tapi anehnya sekujur tubuhku sudah tidak karuan rasanya. Diri ini hanya bisa memandangi suami keluar duluan dari fase ini tanpa bisa memanggilnya. Sementara aku masih terpaku di tempat tersebut dengan terdiam mematung menatap sosok itu. Aku sudah berusaha menjerit dengan sekuat tenaga tapi tak ada sedikitpun keluar suara dari mulutku. Lalu sosok itu semakin mendekati diriku dan anakku.
Sosok itu tingginya melebih manusia normal pada umumnya dan aku hanya setinggi pinggangnya. Badannya penuh dengan bulu hitam yang lebat. Giginya yang runcing berlumuran darah tampak menyeringai. Ia seperti akan mencoba meraih dan melukai kami. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan, hanya bisa istighfar terus. Astaghfirullah … Astaghfirullah … Astaghfirullah …
Hingga akhirnya …
Air mataku tanpa terasa jatuh dan tepat mengenai kening si kecil yang sedang terlelap. Alhamdulillah, mungkin ini sudah pertolongan yang Kuasa. Anakku yang terkena air mataku tadi langsung terbangun dan menangis. Jeritan tangisannya tidak seperti biasanya. Tidak biasanya si kecil menangis seperti ini. Suara tangisnya begitu keras dan memekakkan telingaku.
Aku kemudian tersadar dan melihat sosok di depanku itu sudah tak ada lagi. Hingga Ridho kembali lagi mendatangiku. Mungkin karena ia mendengar suara tangisan si kecil. “Alhamdulillah terima kasih ya Allah,” dalam batinku bersyukur. Badanku sudah terasa basah akan peluh yang sedari tadi bercucuran. Nafasku seperti berpacu dalam arena balap.
Dalam sekejap anakku yang menangis tadi langsung berpindah ke pelukan suamiku. Suami sedikit keheranan dengan tingkahku yang hanya terdiam tadinya. Pikiran semakin berkecamuk mengingat kejadian tadi. Apa sebenarnya yang terjadi? Aku coba melupakan karena melihat semua keluarga sudah kelelahan. Dan akhirnya aku sekeluarga bisa keluar dari arena itu. “Ayo kita pulang Yah …” pintaku.
Dalam batin ada sedikit penyesalan kenapa hari ini aku harus pergi ke tempat ini? Rasanya seperti berada di neraka. Hiburan yang seharusnya mampu menghilangkan kejenuhanku dan keluarga, malah berakhir dengan kejadian yang menyeramkan. Kenapa aku ga menuruti keinginan anak-anak dan suamiku tadi, yaitu bermain di mall. Sungguh pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Jika saja tidak ada tangis anakku mungkin ceritanya akan berbeda, bisa saja kami takkan selamat. Alhamdulillah.