3. Kencan Perdana

1938 Words
Sudah lebih dari setengah jam, aku hanya terus berguling di atas tempat tidur. Ajakan menikah dari Mas Iqbal masih saja terngiang jelas di otakku. “Aaaa! Yang semalam itu aku salah dengar atau enggak sih?” Aku melompat ke arah kaca rias dan menatap pantulan diriku di depan cermin. “Kenapa semudah itu Mas Iqbal setuju dengan perjodohan ini?” Aku masih ingat betul ekspresi Mas Iqbal yang semalam. Ketika dia mengajakku menikah, nadanya terdengar santai, tetapi ekspresi mukanya sangat serius. Aku betul-betul kaget sampai aku hanya bisa terdiam selama beberapa saat. Semalam aku tidak langsung menjawab. Aku bilang ingin mempertimbangkan semuanya lebih dulu. Aku tidak ingin terlihat kalau saat itu sebenarnya aku ingin melompat-lompat karena bahagia. Mas Iqbal sendiri langsung setuju. Dia membiarkan aku memikirkan semuanya matang-matang. Aku bilang aku akan memberinya jawaban maksimal dua bulan kedepan. Aku rasa dua bulan itu cukup karena sejatinya aku sudah mengenal Mas Iqbal sejak bertahun-tahun yang lalu. “Nayaaa!” tiba-tiba aku mendengar teriakan Mama dari luar. “Ada apa, Ma?” Aku segera berlari ke arah pintu dan membukanya. “Ada apa kok teriak-teriak?” “Ada Iqbal di bawah. Dia mungkin mau ngajak kamu keluar.” “He?” Aku segera berlari masuk dan mengambil ponsel. “Oh iya, Ma! Mas Iqbal kirim pesan kalau mau datang ke rumah.” “Kamu mandi sana, Mama temuin dia dulu. Barusan Mama langsung naik begitu lihat mobilnya berhenti di depan gerbang.” “I-iya, Ma.” Setelah menutup pintu, aku segera berlari menuju kamar mandi. Mama memang sudah tahu kalau perjodohan ini mungkin akan berhasil karena Mas Iqbal sudah setuju dan tinggal aku saja yang belum. Lima belas menit berlalu, aku sudah mandi dan ganti baju. Aku sengaja dandan tipis-tipis agar penampilanku tidak kacau, pun tidak berlebihan. Aku akan berlagak seolah kedatangan Mas Iqbal kali ini hanya berkunjung biasa. “Sore, Mas ...” sapaku begitu tiba di ruang tamu. “Oh, iya, Nay. Sore.” “Sudah lama?” “Hm ... lima belas menitan.” “Maaf, saya tadi ketiduran.” Ini jelas bohong. Sejak pagi aku hanya rebahan di kasur. Mana bisa aku tidur kalau sejak bangun tadi pagi aku langsung kepikiran kalimatnya yang semalam? “Pantesan pesan saya enggak dibalas. Saya nekat saja ke sini sekalian nganterin pesanan Ibu.” “Iqbal bawain brownies sama nastar, Nay!” sahut Mama dari arah dapur. “Wah ... terimakasih banyak, Mas.” Mas Iqbal mengangguk. “Iya, sama-sama.” Hening. “Oh iya, Nay. Saya ke sini sebenarnya sekalian mau ngajak kamu keluar. Bisa atau enggak?” Sebelum menjawab, aku menatap penampilan Mas Iqbal dari atas sampai bawah. Dia memang terlihat terlalu rapi untuk ukuran orang yang hanya mengantar pesanan dari ibunya. “Bisa, sih ... tapi mungkin jangan pulang malam-malam. Besok pagi saya harus kondangan ke Cilacap sama teman-teman.” Senyum Mas Iqbal terbit. “Maksimal jam sembilan saya pastikan kamu sudah masuk rumah.” “Bisa, kalau gitu.” “Saya tahu kamu ngajar dari senin sampai jumat, jadi selain hari sabtu dan minggu, saya hanya bisa mengajakmu keluar kalau malam. Itu pun, kemungkinan kamu juga lelah setelah seharian bekerja.” “Biasanya memang sering langsung tepar, apalagi kalau ngajarnya full.” “Itulah kenapa saya ke rumahmu sore ini. Saya pikir saya bisa ngajak kamu keluar lebih lama, ternyata besok kamu ada acara.” Aku meringis. “Kalau pulang kemalaman takut telat bangun, Mas. Soalnya besok berangkat dari Jogja jam enam.” “Iya, nanti kita pulang lebih cepat.” “Mama sudah tahu kalau Mas Iqbal mau ngajak saya keluar?” “Sudah, dan beliau mengizinkan. Sana kalau mau siap-siap, saya tunggu.” Aku mengangguk, lalu segera berdiri dan bergegas menuju kamar. Aku sempat menoleh ke belakang, dan kulihat Mas Iqbal sedang menatapku sambil tersenyum. Demi apa pun, kenapa manusia satu ini tampan sekali? *** “Sudah berapa tahun kamu ngajar, Nay?” tanya Mas Iqbal ketika kami jalan beriringan menuju pintu masuk Puncak Becici. Ini sebenarnya agak di luar dugaan. Pasalnya, di ‘kencan’ pertama kami Mas Iqbal langsung mengajakku ke Puncak Becici untuk menikmati matahari tenggelam di sana. Aku boleh menyebut keluar kali ini sebagai kencan, kan? Kami memang tidak pacaran, tetapi bukannya sudah jelas kalau keluarnya kami kali ini adalah dalam rangka pendekatan ke arah jenjang yang lebih serius? Andai detik ini aku setuju, sudah pasti orang tua akan segera merembuk acara pernikahan kami berdua. “Belum sampai hitungan tahun, Mas. Semester kemarin ini saya baru masuk. Baru mau empat bulan berarti.” “Ah, kirain sudah lama.” “Saya baru lulus tahun lalu, dan setelah itu saya les bahasa inggris dulu baru daftar dosen begitu ada lowongan.” “Kamu hebat karena langsung keterima.” Aku meringis. “Alhamdulillah.” Aku menunggu di pinggir posko ketika Mas Iqbal berhenti untuk membayar tiket. Dia terlihat mengeluarkan dompet hitam dan hatiku langsung mencelos begitu melihat ada foto remaja laki-laki dan perempuan di dompetnya. Kedua remaja itu mengenakan baju putih abu-abu dan terlihat sedang tertawa lebar. Aku memang tidak bisa melihat dengan jelas wajah kedua remaja itu, tetapi entah kenapa aku yakin mereka adalah Mas Iqbal dan Mbak Ara. Aku dengar mereka bersahabat sejak SMA. Mendadak saja, aku merasa dadaku agak sesak. “Ayo, Nay.” “I-iya.” Rasa antusiasku berkurang drastis setelah melihat foto itu. Aku yang awalnya sudah membayangkan hal romantis mungkin akan terjadi selama kami melihat matahari terbenam, kini aku justru ingin segera pulang. “Nanti kita duduk di sana kalau orangnya pergi. Di sana spot paling bagus,” ucap Mas Iqbal begitu kami tiba di puncak. “Kalau orangnya enggak pergi, gimana, Mas?” tanyaku mencoba terlihat baik-baik saja. “Hmmm ... kita bisa ke sana. Di sana juga lumayan.” Mas Iqbal menunjuk sebuah bangku di dekat tebing yang lokasinya tidak terlalu jauh dari spot tadi. “Atau kita ke sana sekarang aja, Nay? Selagi kosong.” “Boleh.” Setelah duduk berdampingan, aku mengeluarkan jajan yang tadi sempat kami beli ketika masih di area kota. Pengunjung memang diperbolehkan membawa makanan asal tidak meninggalkan sampah sembarangan. “Mas Iqbal sering ke sini sebelumnya?” tanyaku membuka obrolan. “Cukup sering. Lima kali mungkin lebih.” “Wah, itu banyak banget” “Kalau kamu berapa kali?” “Jujur, belum pernah.” Aku nyengir. Ketika aku hendak membuka tutup air mineral, Mas Iqbal lebih dulu merebut dan langsung membukanya tanpa kuminta. Dia membuka satu botol lagi untuk dirinya sendiri. “Makasih, Mas.” “Iya.” Harusnya saat ini aku berbunga-bunga karena perlakuan kecil ini membuatku tersentuh. Namun, lagi-lagi aku terbayang foto yang tadi. “Ada yang ingin kamu tanya, Nay? Kayaknya kamu lagi kepikiran sesuatu.” Aku tidak langsung menjawab, melainkan meneguk air lebih dulu. Mas Iqbal terlihat menungguku bicara karena matanya terus saja menatapku. “Nay—“ “Saya bingung gimana mulainya, dan mungkin agak malu juga.” “Lho? Kita ini kan sebenarnya sudah kenal sejak lama meski hanya sebatas kakak tingkat dan adik tingkat. Saya harap kamu jangan terlalu sungkan. Saya ingat gimana dulu kamu aktif sekali di kelas. Kita seringkali terlibat tanya jawab dan diskusi. Saya rasa, tahap malu-malu itu tidak berlaku untuk kita.” “Iya, sih ...” “Jadi?” Aku menghela napas panjang, lalu kuberanikan diri menatap balik mata Mas Iqbal yang sedari tadi masih terus menatapku. “Mas Iqbal serius ingin menikahi saya?” “Iya, saya serius.” Aku agak terkejut karena Mas Iqbal menjawab itu dengan tegas dan tanpa ragu. “Apa alasannya? Saya rasa, kalau hanya karena saya cantik, cukup manis, dan cerdas, perempuan di luar sana yang lebih cantik, lebih manis, dan lebih cerdas dari saya sangat banyak. Adakah alasan lain?” Kali ini Mas Iqbal terdiam. Dia menatap kosong ke arah tanah sebentar, lalu menatapku lagi sambil tersenyum. “Alasan orang tua, itu jelas salah satunya. Saya belum bisa terlalu jujur, tapi bukan berarti apa yang saya katakan padamu itu bohong. Paham, kan, Nay? Tidak jujur bukan berarti bohong, tapi kalau bohong sudah pasti tidak jujur.” Aku mengangguk. “Iya, tapi setidaknya saya ingin tahu kenapa Mas Iqbal mau sama saya.” “Jujur saja, restu orang tua menjadi alasan terbesar di sini. Selain itu, kamu masuk dalam kriteria calon istri yang saya idamkan. Laki-laki itu makhluk visual, Nay, jadi saya tidak mau munafik kalau saya ingin istri yang cantik. Dan ya, kamu jelas cantik. Ketika saya memutuskan untuk menikah, cepat atau lambat bahasan tentang anak itu pasti akan ada karena saya bukan penganut childfree. Saya ingin anak-anak saya nanti dibesarkan oleh Ibu yang cerdas dan berpendidikan. Dan ya, Bu Dosen tidak mungkin tidak berpendidikan. Apa alasan ini cukup?” Aku tersenyum. Sejujurnya, dadaku berdesir hebat ketika mendengar Mas Iqbal membahas tentang anak. Antara berdesir senang, tetapi juga sedikit malu. “Kalau bicara tentang perasaan cinta itu gimana, Mas? Saya tahu, menikah bukan hanya tentang cinta, tapi cinta itu dibutuhkan dalam sebuah hubungan.” Mas Iqbal lagi-lagi terdiam sesaat. “Sepertinya terlalu dini kalau kita bicara tentang cinta. Tapi kamu perlu tahu, Nay, cinta itu bisa dipupuk. Dan yang paling penting, saya menyukaimu.” “Kata suka itu sendiri konteksnya banyak, Mas.” “Apa pun itu konteksnya, kata suka tetap konotasinya baik.” Aku tersenyum lagi. “Iya, sih.” Kalau bagi Mas Iqbal membicarakan cinta terlalu dini, bagiku justru kebalikannya. Agak disayangkan dia menjawab begitu, tetapi aku bisa memakluminya. Di sini memang hanya aku yang sudah jatuh cinta, sedangkan dia tidak. “Bicara cinta, kita bisa belajar, Nay. Saya yakin, cinta itu akan datang cepat atu lambat.” Kalimat Mas Iqbal harusnya menenangkanku, tetapi yang kurasakan saat ini justru kekhawatiran. Kalau aku saja bisa mencintai Mas Iqbal selama ini, bagaimana kalau Mas Iqbal juga masih mencintai Mbak Ara sampai detik ini? “Naya? Kok diam?” “Saya ingin tanya satu hal, Mas. Yang ini tolong jujur.” “Apa itu?” Aku menegakkan badan, lalu kutatap mata Mas Iqbal lekat-lekat. “Apa cinta Mas Iqbal buat Mbak Ara betul-betul sudah habis?” Mas Iqbal tampak sangat terkejut dengan pertanyaanku. Dia pasti tidak pernah membayangkan aku akan bertanya tentang yang satu ini. “K-kamu kenapa tahu—“ “Siapa yang enggak tahu, Mas? Orang bilang, persahabatan antar laki-laki dan perempuan itu bullshit. Salah satu atau mungkin keduanya pasti memiliki perasaan lebih. Mungkin ada beberapa orang yang menyangkal, tapi kalau bicara secara umum, statement itu yang cukup valid. Saya tahu, Mas Iqbal pernah sangat mencintai Mbak Ara. Jangan tanya saya tahu dari mana karena saya enggak akan menjawab itu.” Mas Iqbal mengangguk. “Sebenarnya saya malu kamu membahas ini, tapi karena kamu sudah tahu, biar saya bahas sedikit saja. Terlepas dari seperti apa perasaan saya buat Ara sekarang, sejak detik di mana dia sah menjadi istri orang, tak pernah sedikit pun saya berniat ingin mengganggu kebahagiaan dia dan suaminya. Ini bisa diartikan kalau perasaan saya buat dia sudah tidak ada artinya lagi. Saya harus mengejar kebahagiaan saya sendiri.” “Dan menjadikan saya sebagai pelarian?” tanyaku spontan. Mas Iqbal tertawa pelan. “Apa masih cocok menyebut pelarian kalau saya bahkan sudah ditinggal nikah sejak tujuh tahun lalu? Disebut pelarian itu kalau saya patah hati dan langsung lari ke kamu. Tapi ini? Kalau tujuh tahun baru cari pelarian, itu telatnya kebangetan, Nay.” “Ah ... iya, juga, ya?” Mas Iqbal tertawa lagi, lalu tiba-tiba tangannya terulur mengusap kepalaku pelan. Di saat yang sama, aku merasakan seperti ada kupu-kupu yang menari di perut. “Nay ...” “Iya, Mas?” Mas Iqbal menatapku lurus dan matanya seolah mengunciku. “Saya sungguh-sungguh ingin menikahimu. Tolong putuskan segera. Jangan lama-lama. Ya?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD