6. Bukan Rumah Untuk Pulang

1366 Words
Happy reading! Jemima pulang ke rumah dalam keadaan letih luar biasa. Pukul 5 pagi, dia baru bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah sederhana nan mungil itu. “Bagi duit, Jem.” Toni—kakak tirinya tiba-tiba menodongnya saat dia baru saja menutup pintu depan. Toni tidak bekerja. Sehari-hari laki-laki berbeda usia 8 tahun darinya itu menghabiskan waktunya di pos sekuriti depan atau sesekali menjadi tukang parkir liar. Sebenarnya Toni lulusan S1 dan tidak bodoh juga. Laki-laki itu hanya malas bekerja setelah dulu sempat di PHK dari tempat kerja sebelumnya. “Aku nggak ada uang, Kak,” sahut Jemima sembari menundukkan pandangan. “Halah, kerja tiap hari tapi masih kere aja lo,” omel Toni merasa kesal karena permintaannya tidak dituruti. “Kak, aku kan baru pindah kerja seminggu di tempat yang sekarang, jadi belum gajian. Gaji dari resto udah aku kasihkan ke Ibu semua,” jelas Jemima berharap kakak tirinya itu paham. “Ya masa lo nggak punya simpenan sama sekali sih?” Toni berkacak pinggang murka. “Sini tas lo.” Laki-laki berambut gondrong itu berusaha merebut tas milik Jemima. Jemima berusaha mempertahankan tas miliknya yang berisi dompet, ponsel dan barang-barang penting lainnya. “Kak, jangan, ini uang pegangan aku sampai gajian nanti,” mohon Jemima berusaha mempertahankan miliknya. “Pelit banget lo sama kakak sendiri.” Toni yang sudah semakin murka mendorong Jemima dan berhasil merebut tas milik gadis itu. “Kak, jangan, itu uang tinggal segitu-gitunya.” Mengabaikan rengekan Jemima, Toni mengacak-acak isi tas Jemima. Toni berhasil mengambil dompet dari dalam tas tersebut dan membukanya segera. Laki-laki itu kecewa hanya menemukan lembaran merah satu lembar dan pecahan puluhan yang tak seberapa. “Segini doang lo nge-jab-lay siang malam? Emang pasang tarif berapa lo biasanya? Nggak kaya-kaya perasaan.” Toni mencemooh Jemima dengan seenaknya. “Kak, aku kerja bukan ju-al diri.” Jemima berusaha menjelaskan meski dia tahu itu percuma. “Halah, masih ngeles aja lo jab-lay.” Toni menatap Jemima penuh arti. “Berhubung lo udah ju-al diri, boleh kapan-kapan gue cicipin lo sekali-kali.” Jemima mengumpulkan keberaniannya dan menatap marah pada Toni. “Kakak jangan macam-macam!” “Kenapa, lo berani sama gue?” Toni tersenyum miring mengintimidasi gadis di depannya yang memiliki kecantikan di atas rata-rata itu. “Asal Kakak tahu, aku nggak pernah ju-al diri. Uang 20 juta itu aku pinjam dari bosku dan mulai bulan depan aku harus mencicilnya,” terang Jemima. “Coba buktiin kalau lo masih p3rawan.” Toni maju selangkah berusaha meraih tubuh Jemima yang sudah gemeteran. “Kak, jangan macam-macam atau aku akan teriak!” ancam Jemima. “Teriak aja, gue nggak takut.” Toni kembali maju, tangannya sudah terulur untuk menjangkau tubuh Jemima. Namun hanya tinggal jarak sejengkal, sebuah suara menghentikan aksinya. “Toni, pergi!” Itu adalah suara Nike—ibu tiri Jemima. Ibu kandung Toni. Jemima merasa lega luar biasa melihat sosok Nike yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya. Nike memang selalu kasar dan menghabiskan uang Jemima, namun soal Toni yang kerap kali menganggu Jemima, Mama Nike akan selalu membela gadis itu. “Mama ganggu aja sih.” Toni berdecak kesal. Namun akhirnya menurut pergi setelah sempat meremas pinggang Jemima. “Ma,” sapa Jemima tersenyum kecil pada Nike yang menatapnya tajam. “Urusi Ayahmu. Popoknya sudah bocor. Bau,” perintah Nike kemudian. “Iya, Ma.” Jemima menangguk patuh. Dengan langkah gontai setelah mengumpulkan kembali isi tasnya, dia berjalan menuju kamar sang ayah yang terletak di paling ujung. Rumah ini terdiri dari tiga kamar tidur. Satu kamar paling kecil ditempati ayah Jemima. Satu kamar ditempati Jemima. Dan satu kamar lagi ditempati oleh Mama Nike dan Toni. Namun Toni lebih sering tidur di luar rumah atau di ruang tengah. “Oh iya, nasi dan lauknya ada di meja makan. Suapi sekalian ayahmu sebelum kamu tidur atau berangkat kuliah. Dan ingat jangan ambil ayamnya, jatah kamu dan ayahmu cuma tempe,” kata Nike. “Iya, Ma.” Hanya itu yang mampu Jemima ucapkan. Meski hanya lauk seadanya, Jemima tetap bersyukur karena ibu tirinya itu masih bersedia menyiapkan makan untuknya dan sang ayah. Jemima masuk ke kamar Hamzah dan tersenyum kecil melihat sang ayah yang sudah terbangun. “Kita mandi ya, Yah,” ucap Jemima dengan haru. Jadwal memandikan ayahnya dua hari sekali agar tidak terlalu merepotkannya. Karena hanya dia seorang yang memandikan sang ayah. Tidak ada yang membantunya membopong ayahnya ke kamar mandi. Beruntungnya letak kamar mandi tak begitu jauh dari kamar ayahnya tersebut, sehingga sedikit mempermudah pekerjaannya itu. Menggunakan bantuan kursi roda, Jemima membersihkan tubuh sang ayah. Dia tak lagi jijik dengan kotoran yang keluar dari tubuh sang ayah. Dulu awal-awal merawat memang Jemima sempat muntah-muntah sampai tidak berselera makan. Jemima tersenyum setelah memakaikan baju pada tubuh Hamzah, lalu menyisirinya. Ayahnya sudah segar, wangi dan tampan tentunya. “Ayah tampan sekali,” puji Jemima yang membuat pria itu mengedipkan mata sebagai respons atas ucapan Jemima. “Ayah tunggu di sini sebentar ya. Jemi mau ambil makanan dulu di dapur,” kata Jemi. Gadis itu ke dapur untuk mengambil dua porsi makanan untuk ayah dan dirinya. Dia membuka tudung saji dan menemukan potongan ayam goreng, tempe goreng, tumis kangkung dan sambal yang menggugah selera. Jemima berkca-kaca. Dia ingin sekali menyantap itu semua, tapi apa daya, Mama Nike telah berpesan jika dia hanya boleh mengambil lauk tempe saja. “Jangan menangis Jemima. Jangan menangis. Nanti kamu bisa makan enak di resto,” ucapnya menghibur diri. Di Steak House, dia dan karyawan lain mendapat jatah makan satu kali dengan lauk pauk yang cukup lengkap. Meski lebih sering dengan lauk telur dan dua macam sayur, bagi Jemima itu sudah lebih dari cukup. “Ayah, maaf ya, Mama cuma masak tempe. Mungkin uang bulanannya habis, jadi Mama masak ini,” ucap Jemima menghibur ayahnya. Padahal Hamzah mendengar dengan jelas tadi Nike yang menyuruh putrinya untuk mengambil lauk tempenya saja, jangan dengan ayamnya. Hamzah merasa sangat berdosa dan bersalah karena tidak bisa menjaga putrinya. Insiden di kamar mandi 3 tahun lalu yang dialaminya, membuat Hamzah hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidur. Sang putri yang seharusnya menikmati masa-masa belajarnya dengan nyaman, kini harus membanting tulang siang malam untuk membiayai kehidupan mereka. “Ayah ada yang sakit? Kok Ayah nangis?” Jemima bertanya dengan menahan tangis. Hamzah semakin tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya semakin deras mengaliri pipi. Dan itu membuat Jemima sedih. “Ayah jangan nangis.” Jemima menyeka air mata sang ayah tercinta. “Jemi baik-baik aja kok. Jemi masih kuliah, masih kerja juga. Nanti kalau Jemi udah lulus, Jemi mau cari kerjaan dengan gaji besar supaya bisa bawa ayah terapi. Ayah doakan Jemi ya. Ayah juga harus janji untuk sembuh.” Hamzah semakin tergugu mendengar penuturan Jemima. Putri satu-satunya yang seharusnya menikmati masa-masa mudanya. Bersenang-senang dengan kawan seumuran, kini justru harus membanting tulang untuk dirinya dan masa depannya sendiri. Dan yang lebih membuat Hamzah kecewa, istrinya yang adalah ibu sambung Jemima ternyata tak sebaik yang dia kira. Nike yang dulu dia pikir mampu menjadi ibu yang baik untuk sang putri tercinta, ternyata aslinya begitu kejam. …. Jemima berusaha untuk tidur. Dia hanya punya waktu 4 jam sebelum ke kampus dan selanjutnya bekerja hingga esok pagi. Lelah sekali memang, namun Jemima tak punya pilihan lain. Sudah merubah posisi tidur berulang kali, namun Jemima belum juga terlelap. Padahal Jemima benar-benar butuh tidur untuk memulihkan staminanya. “Ayo, Jemi, tidur, tidur,” gumamnya sembari memejamkan mata. Sebuah pesan masuk ke ponselnya membuat Jemima membuka mata. Khawatir itu adalah sebuah pesan penting, Jemima meraih ponsel yang dia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya. Pesan dari Semeru rupanya; Clau, temui saya nanti di ruangan. Urusan kita belum selesai. Begitu bunyi pesannya yang membuat Jemima bergidik ngeri. Ingatan tentang kejadian semalam di kamar mandi klub membuat Jemima takut jika harus bertemu dengan Semeru lagi. Bagaimana Jemima tidak takut jika malam tadi Semeru hampir berhasil menyentuh area sensitifnya, jika teman-teman pria itu tidak datang. Tentu saja Jemima tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Semalam dia sudah pasrah karena tidak ingin terlibat masalah dengan manajernya karena sudah merusak kran air, sehingga dia tidak bisa melawan Semeru yang menggerayangi tubuhnya. Semeru: Clau, jangan menghindari saya! Jemima: Ayo, kita menikah, Pak. Jadi Bapak bebas menyentuh saya kapan pun Bapak mau. Balas Jemima. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD