7. Sesimpel Itu

1162 Words
Oh, sial! Shinichi menghentikan tawanya dan menarik nafasnya dalam-dalam, membenahi keinginan yang mendadak mengambil alih pikirannya. Nicole adalah tanggung jawabnya, bukan salah satu dari gadis di sekolahnya yang bisa ditundukkannya dengan mudah. Nicole adalah putri dari Tomas Salazar, ia tidak bisa seenaknya memperlakukan gadis itu dengan tidak sopan. Jika sampai ayahnya marah, matilah ia. Tapi jika sampai sesuatu terjadi pada Nicole, matilah juga ia. Jadi Nicole perlu mematuhinya. Ketika nyawa gadis itu dalam bahaya, kepatuhan Nicole adalah yang membedakan antara hidup dan mati. Ia tidak ingin menakuti gadis itu, tapi ia juga perlu memastikan Nicole paham akan bahaya yang sedang mereka alami. Shinichi menurunkan kedua tangannya dari belakang kepala. Pemuda itu kemudian meletakkan sikunya ke atas lutut dan menyatukan jemarinya di depan. “Dengar, Missy,” Shinichi berkata dengan wajah lebih serius. “Kita disini bukan untuk berlibur atau jalan-jalan. Kita disini karena ada orang yang mengincar keselamatan kedua orang tuamu. Orang-orang ini akan melakukan segala cara untuk bisa menyakiti baik ayah maupun ibumu. Orang-orang ini bukanlah orang biasa. Mereka tidak akan peduli menggunakan dan melukai gadis kecil tidak berdaya sepertimu jika artinya mereka bisa menghancurkan Salazar. Jadi... lakukan apapun yang aku perintahkan tanpa banyak bertanya. Apakah kau paham?” Nicole memikirkan ucapan Shinichi beberapa saat. Setelah beberapa saat, ia bertanya, “Tapi mengapa kita harus tinggal di tempat jelek seperti ini?” Shinichi menghela nafasnya. “Bagian dari ‘jangan banyak bertanya’ mana yang tidak kau pahami, Missy?” “ Seperti yang kau katakan, nyawa dan keselamatanku lah yang dipertaruhkan. Jadi aku berhak untuk bertanya kan? Kau... kau hanyalah seorang bodyguard yang dibayar oleh Daddy dan Mommy untuk menjagaku—" “Jangan mengetesku, Missy.” Gadis itu membuka mulutnya hendak kembali menjawab, tapi memutuskan untuk berubah pikiran dan menutupnya kembali. Ia memalingkan wajahnya ke samping dan menatap ke arah jendela yang kini tertutup korden. Ia menyilangkan tangannya ke depan dadanya dan memajukan bibirnya. Shinichi menarik nafas dan berusaha menghalau keinginannya untuk melumat bibir Nicole. Ia tidak bisa berhenti membayangkan aroma manis dari bibir gadis itu ketika ia mencium. Disaat yang sama, betapa ia kesal oleh kekerasan kepala Nicole. Gadis itu layaknya seekor kuda mustang liar yang sangat cantik tapi susah untuk ditunggangi. Mungkin nanti ia akan menemukan cara untuk mengontrol Nicole. Sekarang, ia butuh memikirkan apa yang akan dilakukannya besok. Shinichi melepaskan jaket yang dikenakannya dan menyampirkannya ke sandaran sofa. Ia membaringkan tubuhnya ke atas sofa. “Sudah kuduga kau bukan lagi seperti Shinichi yang kuingat.” Terdengar lagi suara gadis itu dari ranjang. Shinichi tidak membalas. Ia berharap bahwa dengan mengabaikan Nicole, gadis itu akan berhenti bersuara. Ia perlu berpikir. “Sekarang kau sudah mengambil dan menghancurkan ponselku, menciumku dengan paksa, membawaku menginap di motel kumuh ini tanpa persetujuanku. Kau tahu bahwa yang kau lakukan ini bisa disebut penculikan? Kau bisa masuk penjara jika aku melapor.” Oh, Nicole benar-benar mencoba kesabarannya. Shinichi tahu apa yang dilakukan gadis itu. Nicole sedang mencoba mengetes kesabarannya. Gadis itu melakukannya ketika mereka kecil. Mengejek untuk mendapatkan reaksi darinya. Seakan satu-satunya cara untuk mencari perhatian adalah dengan berulah. Tidak lagi. “Sudah kukatakan, diam. Jika kau membuka mulutmu lagi sebelum aku memberi ijin, sumpah, aku akan mengikatmu di kamar mandi, Missy.” Shinichi menggeram dalam nafasnya. Rahang Nicole membuka sangat lebar dan cepat hampir menyerupai kartun di acara tv, tapi setidaknya, gadis itu tidak bersuara. Ancaman Shinichi berhasil. Selama beberapa menit. “Berapa lama kita akan berada di sini? Setidaknya bisakah kau memberitahuku?” Ugh! Gadis itu perlu belajar untuk mendengarkannya, Shinichi menggeram kesal. Dan ia perlu untuk belajar mulai sekarang. Shinichi bangkit dari sofa. Ia bisa melihat tubuh Nicole yang mendadak ikut tegak. Kedua telapak tangan gadis itu diatas pangkuannya, pandangan matanya terarah pada Shinichi yang kini berjalan menuju tasnya dan mengeluarkan seutas tali. “B-baiklah.” Nicole memaksakan suaranya yang serak keluar. Sadar apa yang akan dilakukan Shinichi, gadis itu mengangkat tangannya ke atas tanda menyerah. “A-aku akan diam.” Ia melanjutkan dengan terbata-bata, mencoba meringsak mundur dari tempatnya duduk diatas kasur. “A-aku akan menurutimu, ja-jadi kau tidak perlu...ahh!” Jeritan kaget melompat keluar dari bibir Niccole ketika Shinichi mulai mengikat kedua pergelangan tangannya kebelakang dengan erat. “Shin! LEPASKAN! Shinn!!” Nicole terus menjerit. Tangan Shinichi meraih ke dalam sakunya sendiri dan mengeluarkan sebuah sapu tangan yang kemudian digunakannya untuk menyumpal mulut Nicole. Gumaman penuh kemarahan keluar dari bibir Nicole ketika Shinichi mulai mengikat kedua kaki gadis itu sebelum kemudian menggotong Nicole ke kamar mandi. Shinichi menjatuhkan Nicole ke dalam bak mandi kosong dan menunjuk ke arah gadis itu. “Jangan bergerak,” pemuda itu memerintah lalu berjalan keluar lagi. Tak lama Shinichi kembali ke dalam dengan membawa bantal beserta selimut kasar di tangannya. “Malam ini kau tidur di sini, Missy,” Shinichi memberitahu. Diletakkannya bantal di bawah kepala Nicole dan di tutupinya tubuh gadis itu dengan selimut hingga ke d**a. “Kusarankan jangan banyak gaduh jika tidak ingin tidur seperti ini lagi besok.” Kemarahan kini berubah menjadi rintihan sebelum Nicole akhirnya menyerah dan hanya mampu mengedip pasrah. Shinichi bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca yang kemudian membuatnya memalingkan wajah. Tidak. Ia tidak akan luluh oleh air mata buaya gadis itu. Nicole perlu belajar mematuhinya. Mereka bukan lagi anak-anak umur 6 tahun. Ia bukan lagi bocah bodoh yang akan mengikuti apapun kemauan Missy. Ia sudah berumur 17 tahun. Bukan hanya itu, ia adalah keponakan dari ketua klan yakuza ternama di kotanya. Tidak akan ia membiarkan seorang gadis terus-terusan menyepelekannya. Shinichi kembali menatap mata kecoklatan milik Nicole yang kini menyala panas walaupun berair. “Well.. Selamat malam,” pemuda itu berkata sebelum keluar dari kamar mandi. Gumaman lagi dari mulut Nicole, kemudian teriakan tertahan dari mulutnya yang tersumpal, yang diabaikan oleh Shinichi. Pemuda itu kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan memejamkan matanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah ia masih harus berada di kota itu atau kembali melanjutkan perjalanannya pulang ke Jepang. Yang pasti, ia perlu memastikan keselamatan Nicole. Entah berapa lama Shinichi memejamkan matanya mencoba mencari jalan keluar terbaik yang bisa dilakukannya. Ketika suara Nicole tidak lagi terdengar, Shinichi akhirnya membuka mata dan menatap pintu kamar mandi yang dibiarkannya sedikit terbuka. Merasa heran dengan sepinya suara di kamar mandi, Sinichi berdiri dan memutuskan untuk memeriksa. Ia mendorong pintu kamar mandi hingga bisa melongok kedalam. Lega ketika melihat wajah yang tadinya penuh kemarahan itu akhirnya terlelap. Shinichi memutuskan menunggu beberapa saat sebelum ia kemudian memindahkan tubuh Nicole kembali ke atas kasur. Dilepaskannya sumpalan mulut gadis itu. Bibir merah natural yang tebal itu mengecap beberapa kali sebelum kemudian kembali menutup dengan goresan penuh kecemberutan ciri khas Nicole. Wajah Nicole yang oval dan simetris, diakui Shinichi tidak pernah bosan untuk diamati. Yakuza muda itu tahu bahwa ia tidak akan berhenti hingga memastikan bahwa gadis itu dalam keadaan aman. Tidak peduli bagaimana caranya dan siapa yang mengincar, Ia akan terus melindungi Nicole. Dan keputusan itulah yang akhirnya membuat semua kecemasannya menghilang. Ia tahu dengan pasti apa yang diinginkannya, dan ia akan berjuang untuk mendapatkannya. Sesimpel itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD