18. Birahi Yakuza Muda

1443 Words
Ketika akhirnya Nicole terbangun, seluruh tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Bukan hanya jas milik Shinichi yang menempel di tubuhnya melainnya juga selimut tebal milik pemuda itu. Kaki gadis itu langsung menyepak selimut terlepas dari tubuhnya dan menoleh ke sekeliling ruang kamar. Kosong. Nicole menegakkan tubuhnya dan melepaskan jas dari bahu sebelum bangkit. Sejenak diamatinya kamar milik Shinichi yang tertata rapi. Nicole langsung mengenali ketiga pedang yang diletakkannya diatas lemari pendek di kamar itu. Pedang milik ayah Shinichi yang dulu disimpan oleh ibunya. Nicole berjalan mendekat dan mengelus permukaan sarung pedang berwarna merah itu. Permukaannya yang licin terasa halus dan dingin. Tangan Nicole kemudian meraih bingkai foto yang ada di sebelah pedang dan mengamatinya. Foto Shinichi dan ibunya, Sachi. Nicole tidak terlalu ingat dengan wanita itu kecuali rambut hitamnya yang panjang. Dan wajahnya yang berbibir mungil. Sangat cantik dan terlihat eksotis. Tapi wanita di dalam foto terlihat jauh dari kata cantik. Duduk di sebuah ranjang mirip ranjang rumah sakit, sebuah selang menempel di hidung wanita itu tampaknya untuk membantunya bernafas. Wajahnya yang kuyu terlihat berusaha tersenyum dengan susah payah mungkin demi tampak bahagia di dalam foto. Shinichi sementara itu berdiri di sebelah tubuh Sachi dan juga menampilkan wajah tersenyum tipis yang sama. Nicole meletakkan kembali bingkai foto itu ke atas lemari dan mengalihkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tidak banyak isi di dalam kamar Shinichi. Beberapa buku tergeletak diatas meja belajarnya, satu-satunya perabotan di dalam kamar yang berkursi tinggi. Tangan Nicole terjulur meraih satu dari buku itu yang terbaca English Communication. Sesuatu terbang keluar dari selipan buku itu begitu Nicole mengangkatnya. Ia menunduk mengambil sepotong kertas persegi berwarna putih dan membaliknya. Sebuah foto lain. Nicole terkesiap melihat dua wajah kecil yang ada di foto. Wajahnya dan Shinichi ketika masih kecil. Tertawa lebar ke arah siapapun yang sedang memegang kamera. Tangan mungilnya membuat tanda ‘peace’ sementara Shinichi menyelipkan kedua tangan ke dalam sakunya. Oh… ini pasti diambil di rumah Shinichi, gumam Nicole mengamati latar belakang di foto. Samar diingatnya mereka sedang merayakan ulang tahun Shinichi yang ke 6 hari itu. Beberapa minggu sebelum pemuda itu kemudian pindah mendadak ke jepang bersama ibunya. Nicole menarik nafas dan menyelipkan kembali benda itu ke dalam buku. Suara gerutuan di perut gadis itu terdengar. Nicole memutuskan untuk keluar dari kamar dan mencari makanan. Lorong di depan kamar Shinichi terlihat sunyi. Tidak ada suara apapun yang terdengar selain hembusan angin yang mengalir masuk melalui taman terbuka di sisi rumah. Nicole melangkah pelan menuju dapur yang bersebelahan dengan ruang depan. Baru saja Nicole hendak melangkah masuk ke dapur, ketika dilihatnya sepasang kaki yang terbaring di ruang depan. Terhalang oleh meja, Nicole tidak bisa melihat sosok orang itu dengan jelas. Jantung Nicole hampir saja berhenti berdetak karena kaget. Awalnya ia mengira ada penyusup yang masuk ke rumah. Tapi ketika mengenali kaki itu milik Shinichi, ia pun memutuskan untuk mengintip. Pemuda itu terbaring diatas tumpukan spon alas duduk dan masih memakai pakaian yang sama seperti kemarin, mata pemuda itu masih terpejam dengan hembusan nafas yang seirama. Tidak ingin membangunkan Shinichi, Nicole melangkah ke dapur dan mulai mengamati isi kulkas. Yukio meninggalkan berbagai makanan di dalam tupperware yang dilabelinya. Nicole meraih sebuah kontainer dan membaca. Nasi Goreng. Hm… boleh juga untuk sarapan. Ia meraih sebuah wajan dari dalam lemari dan meletakkannya diatas kompor. Mungkin aku akan menggoreng sebuah telor. Atau dua jika Shinichi mau. Nicole kembali membuka kulkas meraih dua biji telor. Belum pernah memasak seumur-umur, gadis itu mengandalkan ingatannya ketika melihat Maria, pengurus rumah tangganya, memasak. Tuang minyak, nyalakan kompor, tunggu panas. Asap mulai mengepul dari dalam wajan teflon yang di pakainya. Nicole meraih sebuah telur dan memukulkan kulitnya ke sisi wajan. PRAK!! Tidak tahu seberapa besar kekuatan yang dipakainya untuk membuka telur, usaha Nicole berakhir dengan hancurnya benda itu diujung wajan. Sebagian dari kuning telurnya meleleh masuk ke dalam wajan bersama dengan kulit cangkang, sementara sebagian lagi meleleh keluar dan terbakar di bawah wajan. “Ah! Sial!” Nicole meraih cangkang yang ikut masuk ke dalam wajan, lupa bahwa benda itu sudah membara. “Aw!” Nicole menjerit sambil mengkibas-kibaskan tangannya yang terbakar. “Sakit. Sakit.” Nicole menyalakan keran air dan mendinginkan jemarinya di bawah kucurannya, lupa total bahwa kompor masih menyala dan mulai membakar telor yang menetes keluar dari wajan. Asap dan bau gosong yang mulai tercium membuat gadis itu menoleh kembali ke kompor dan baru sadar apa yang terjadi. Kobaran api terlihat dari sisi wajan yang membuat jeritan Nicole semakin keras. “Tidak. Tidak. Tidak... Oh.... oh... oh!” Buru-buru Nicole meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air dari wastafel yang langsung disiramkannya ke dalam wajah panas yang mengepul. Bunyi minyak panas yang tersiram air langsung terdengar, mendesis berisik diikuti cipratan minyak dan air ke segala arah. Sebagian mengenai lengan Nicole yang makin membuat gadis itu menjerit-jerit kesakitan. “MISSY! Apa-apaan?!” Shinichi mendadak muncul dengan wajah kebingungan. Matanya langsung mengarah ke atas kompor yang masih menyala. Dengan cekatan pria itu mematikan kompor dan meraih kain lap piring. Diangkatnya wajan panas dari kobaran api yang kemudian di lemparkannya ke dalam wastafel yang menyala. Desisan kembali terdengar tapi perlahan memelan sebelum menghilang sepenuhnya. Setelah memastikan tidak ada api yang tersisa, Shinichi menghampiri Nicole yang meringkuk di sudut ruangan dengan kedua tangan menutupi telinganya. Tangannya meraih lengan Nicole dan mengamatinya. “Ada beberapa luka bakar ringan, tunggu sebentar kuambilkan obat,” ucap Shinichi sambil berdiri. Tak lama ia kembali dengan sebuah salep di tangannya. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Shinichi sambil mulai mengoleskan salep ke luka Nicole. “A-aku lapar,” Nicole menjawab pelan. Wajahnya memerah berusaha menahan rasa perih di lengannya yang terkena cipratan air dan minyak panas. “Dan solusimu adalah membakar rumah?” “Bukan!” timpal Nicole cepat. “Aku ingin memasak telur. Lihat aku bahkan hendak memasakkan mu telur,” tunjuk Nicole ke arah kompor dimana masih ada sebutir telur yang belum hancur. “Entah apa yang terjadi, mungkin kompornya terlalu panas.” Shinichi tertawa kecil, “Yang terjadi adalah kau tidak bisa memasak, Missy-chan. Sudah duduk lah di sana, aku akan siapkan sarapan.” Nicole menatap ke tangannya yang berbintik merah dan berbalur salep obat, sebelum kemudian menuruti perintah Shinichi dan berjalan ke arah meja makan. Sambil menunggu ia menatap punggung Shinichi yang dengan cekatan membersihkan hasil keributan yang di buatnya dan bahkan dalam beberapa menit, berhasil menyajikan dua buah telor mata sapi dan nasi goreng di hadapan nya. “Kau bisa memasak?” tanya Nicole terpukau. “Ini hanya telor mata sapi, Missy. Bahkan anak 7 tahun bisa membuatnya.” Nicole memajukan bibirnya mendengar sindiran dari Shinichi. Ibunya tidak pernah berada di dapur, dan tidak pernah ada yang memerintahnya untuk memasak sebelumnya. Mana dia tahu kalau rupanya mendadar telor pun tidak mudah dan berbahaya. Pengurus rumah tangganya membuat semua nya terlihat mudah. “Nih, makanlah,” perintah Shinichi sambil menyodorkan sebuah sumpit dan mangkok nasi goreng ke depan gadis itu. “Arigatou.” Nicole meraih benda tipis dari kayu itu dengan satu tangan dan meraih mangkuk nasi dengan tangan satunya. Keduanya makan dalam diam selama beberapa menit tanpa ada yang bersuara. Sesuatu yang wajar bagi Shinichi tapi terasa canggung bagi Nicole yang terbiasa mengobrol ketika makan. “Jadi... bagaimana keadaanmu pagi ini?” Nicole akhirnya bertanya memecah kesunyian. Shinichi menelan nasi di dalam mulutnya sebelum membalas. “Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah membantuku pulang semalam.” “Oh… ya… tentu saja.” “Maafkan aku terlalu banyak minum, apakah aku menyakitimu?”pemuda itu bertanya. Nicole mengerutkan keningnya, “Menyakitiku?” “Uhm… sepertinya aku menindihmu semalam.” “Ah itu… ya… lumayan berat juga badanmu. Aku sampai tidak kuat mendorong.” Shinichi menggaruk tengkuknya sambil menunduk, merasa bersalah karena sudah minum kebanyakan hingga hampir pingsan. “Maafkan aku,” balas pemuda itu. Nicole menggelengkan kepalanya, “Sudahlah, lupakan saja. Selain kepanasan, aku tidak apa-apa. Aku bahkan tidak sadar ketika kau bangun. Jam berapa kau pindah keluar?” “Uhm… entahlah, sekitar pukul 4 dini hari, mungkin.” “Oh? Mengapa?” “A…aku… uhmm....,” Shinichi memikirkan jawabannya. “Aku ingin ke toilet.” Ia akhirnya memutuskan alasan itu yang paling masuk akal. Tidak mungkin ia mengatakan dengan jujur alasannya pindah. Pipinya memanas kembali bayangan pa-ha Nicole yang tersingkap kembali terlintas di benaknya. Celana dalam berenda itu. Buru-buru Shinichi meletakkan sumpit yang di pegangnya dan bangkit lagi berdiri. “Maaf aku permisi dulu,” Shinichi berpamitan tanpa menatap wajah Nicole. “Eh mau kemana Shin?” “Uh… ah… a..aku mau mandi dulu,” pemuda itu membalas sembari berlari terbirit-b***t kembali ke kamar mandi. Beberapa menit dengusan dan geraman diikuti erangan tertahan kembali membuat Shinichi mengepalkan tangannya dan memukul dinding kamar mandinya. KUSO! SIALAN! Aku bisa mati jika begini caranya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD