"Biarin dia sendiri dulu." kata Rey. Mereka mengangguk. Mereka mengetahui kemana Azka pergi, hanya ada satu tujuan Azka pergi. Yaitu tempat di mana sahabat nya tertidur untuk selamanya.
Azka melajukan motor nya lebih dari di atas rata-rata. 10 menit sampai di tempat, ia memarkirkan motor nya terlebih dahulu.
"Mas Azka baru kemaren ke sini?" tanya Mang Somat yang selalu membersihkan pemakaman Dylan.
"Iya pak." sahut Azka seadanya. Azka melangkahkan kembali kakinya menuju tempat peristirahatan Dylan.
Azka berdiri di samping gundukan tanah, lalu ia berjongkok di sampingnya sembari menatap nisan yang bernama Dylan Attala Pratama.
"Lo percaya sama gue, nggak?" Azka berjongkok di samping nisan Dylan. "Tadi ada seseorang yang mirip kayak lo, bukan mirip muka, tapi sifat yang sok pede nya kayak lo, dia bener-bener mirip cara dia bicara nya aja sama."
Azka menaburkan bunga di atas gundukan tanah Dylan. Sebelum Azka sampai di tempat memakaman Dylan, ia singgah untuk membeli bunga terebih dahulu. "Soal ganteng, emang lo deh yang paling ganteng." Azka tersenyum getir.
"Gue kira cowok itu adalah lo yang menjelma kayak dia, tapi nggak mungkin."
"Kenapa di saat gue mau memulai bersahabatan lagi sama lo. Lo malah lebih mengalah, Lan?"
Flashback on.
Dimana ketika jasad Dylan sudah di ke bumikan atau lebih tepatnya, di tempat peristirahatan. Dengan begitu semua orang satu-persatu meninggalkan tempat pemakaman Dylan. Begitu sama halnya kedua orang tua Dylan. Namun hanya ada satu orang yang masih di tempat pemakaman itu. Jarak dari tempat tidur Dylan dengan cowok itu cukup jauh. Sesekali cowok itu menghampus air bening yang keluar dari pelupuk matanya. Ia menghela napas, lalu ia melangkah mendekat pada gundukan tanah yang masih basah.
Ia berjongkok di samping gundukan tanah yang bernisan Dylan Attala Pratama. Detik itu pun juga ia tertawa. Tertawa bukan karena ia bahagia melainkan tertawa karena terluka dan penuh dengan penyesalan di hatinya. Ya, siapa kalau bukan Azka Bagaskara.
"Dylan, b**o sialan kenapa lo malah beneran pergi hah?! Gue mau minta maaf sama lo b**o, Dylan." ucapnya lirih. Azka meremas gundukan tanah itu. "Gue nyesel, maafin gue Dylan." Matanya mulai berkacak-kacak.
"Berarti gue kagak bisa lagi denger kekonyolan candaan lo lagi, hah?! Jawab lo jangan berlagak kagak denger!" Azka benar-benar menyesal. Dan rasa penyesalan itu akan selalu ada di hidupnya.
"Percuma lo ngomong sama dia. Karna dia udah bahagia di sana." ucap seseorsng dari arah belakang Azka.
"Ini ‘kan yang lo mau, penghianat. Percuma lo nangis." ujar cowok lain dengan nada suara sinis.
Azka menghapus air matanya. Lalu ia berdiri saling berhadapan dengan mereka.
"Gilang, Rey, Lano. Maafin gue. Gue emang pantes kalian benci. Maafin gue udah ngecewain kalian semua," ucap Azka berbarengan dengan air matanya menetes.
Bugh. Rey memukul wajah Azka.
"Gue emang benci sama lo. Jangan pernah lagi lo nampakin muka lo di peristirahatan sahabat gue." ujar Rey dengan marah.
Azka menerima pukulan dari Rey.
"Rey." bentak Gilang.
"Apa?! Lo mau belain si b******n penghianat kayak dia?"
Bugh. Sekarang Gilang yang memukul wajah Rey. "Gue tau lo marah sama Azka. Gue juga sama, gue lebih marah sama Azka. Tapi Azka juga pernah jadi sahabat kita. Kita pernah bahagia bareng meski Azka nggak nganggap kita sahabatnya."
"Tapi karna dia juga. Dylan pernah ngalamin banyak musibah, Lang." ucap Rey lirih dari kedua matanya terlihat bendungan air mata.
"Gue minta maaf Rey. Kasih gue kesempatan untuk jadi sahabat kalian lagi." balas Azka penuh harapan.
"Jangan banyak bacot." kata Rey.
"Rey, Lang. Nggak ada salahnya kalau Azka kasih kesempatan untuk jadi lebih baik,” ucap Lano.
"Apa? Lo bilang naon Lano. Kasih dia kesempatan, buat jadi sahabat kita. Lo mau jadi taget dia untuk di mampusin hah?!"
Lano hanya bisa diam.
"Rey, gue bilang diem." bentak Gilang. Gilang sempat menatap wajah Azka. Ia melihat jika Azka ada ketulusan di matanya. Gilang nerjongkok di samping gundukan tanah Dylan. "Dylan. Kalau keputusan gue ini bener tolong lo juga harus ikut bahagia. Gue yakin lo juga akan memberikan kesempatan untuk Azka."
Azka tersenyum tulus. Ia tak menyangka bahwa Gilang paling mengerti dirinya.
Rey kecewa dengan keputusan Gilang. Namun ia mengingat pada Dylan. Mungkin memang benar jika Dylan masih hidup. Ia juga akan memberikan kesempatan pada Azka.
"Dylan pasti bahagia. Kalau liat kita bareng lagi," ucap Lano.
Gilang berdiri saling berhadapan dengan Azka. "Gue akan kasih lo kesempatan. Tapi gue mohon jangan ngulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya."
Azka memeluk Gilang. "Makasi Lang. Gue bener-bener bahagia lo mau maafin gue."
Lano tersenyum melihatnya. Gilang melepaskan pelukan Azka. "Gue juga bahagia liat lo berubah."
Azka melihat Lano. "Maafin gue Lano."
"Gue pasti maafin lo. Karna gue juga dulu nggak pernah baik sama kalian waktu dulu."
Azka memeluk Lano beberapa saat. Kemudian Azka menoleh pada Rey yang sedari tadi hanya diam.
"Rey, maafin gue. Gue tau, mungkin ini berat bagi lo buat maafin gue," ucap Azka.
Gilang dan Lano menepuk bahu Rey. Rey menghela napas. "Gue maafian lo. Tapi kalau sampe lo kayak itu lagi. Gue nggak akan segan-segan masukin lo untuk tidur bareng sama Dylan."
Azka langsung memeluk Rey dengan erat. "Makasih Rey."
"Ya." sahut Rey ketus.
Sampai akhirnya mereka pun sepakat untuk tak lagi mengingatkan keburukan yang pernah Azka lakukan pada Dylan. Mereka kembali memulai lembaran baru.
Flashback off.
"Gue doain, semoga lo tenang di alam sana. Cuman satu yang mesti lo tau, jangan mentangmentang di sanah banyak cewek cantik alias bidadari surga, lo langsung lupain Maudy. Titip bidadari satu buat gue ya, Lan. Pilih yang paling cantik." Azka meneteskan air matanya tanpa dia sadari. "Gara-gara lo nih, gue jadi nangis kan. Ah elah, gue cengeng sekarang, Lan. Kalau ada lo pasti, lo ledekin gue abis-abisan," ucapnya sembari ketawa hambar tanpa ada nya tawa kebahagiaan.
Sebelum Azka pulang, ia memanjatkan doa untuk Dylan.
Sampai akhirnya Azka pulang dari pemakaman Dylan. Azka selalu mendoakan agar sahabatnya tenang di alam sana.
Terkadang Azka masih belum percaya jika Dylan sahabatnya sudah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan mereka semua. Namun Azka harus ikhlas, agar Dylan bahagia di sana.
Di rumah pukul 21:14.
"Jam berapa sekarang Mahesa?" tanya Bella mamahnya. Ketika ia melihat Mahesa baru saja pulang.
"Enggak tau mah, aku kan belum liat jam. Mamah suka gitu deh."
Sepulang sekolah Mahesa memang selalu singgah ke tempat tongkrongan teman-teman lain nya.
"Kalau kamu seperti itu terus, mamah sama papah akan pindahin kamu ke sekolah yang lain."
"Ogah! Enak banget sih mah, kalau ngomong. Pokoknya aku nggak mau pindah dari sekolah aku ini." tolaknya. Lalu ia bergegas menuju kamarnya.
"Mahesa."
Mahesa menghiraukan nya. Sampai di kamar Mahesa membanting pintu dan lempar tas ke asal arah. Tiba saja ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk tak ada nama. Ia memang seperti itu, meminta nomber tetapi ia tak pernah menamai kontak nomber itu.
"Siapa sih woi, gue lagi enak-enak-,"
"Enak apa maksunya? kamu lupa."
"Gue lagi enak molor, dan lo malah ganggu gue nenk." ketus Mahesa.
"Jadi nggak sih?"
"Lo siapa sih?! gue nggak ngerti dan gue rasa nggak kenal sama lo." Mahesa menutup sambungan nya secara sepihak. "Dasar cewek, maunya duit gue doang. Lo pikir gue bodoh." umpatnya.
Mahesa pun bergegas menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi Mahesa bersiul-siul menyeiramakan seperti lagu (In My Blood – Shawn Mendes).
1 jam Mahesa baru saja keluar dari kamar mandi.
"I'm crawling in my skin, sometimes I feel like giving up. But I just can't, It isn't in my blood, It isn't in my blood. I need somebody now, I need somebody now. Someone to help me out, I need somebody now." Mahesa menyanyikan lagu itu, sembari memakai baju santai, namun terlihat rapih.
Terdengar ponsel miliknya beberapa kali berbunyi. Tetapi Mahesa tetap saja menghiraukan nya, seperti tak perduli. "Percuma lo telefon gue nenk, nggak akan gue angkat." ucapnya, sembari bercermin.
"Mamah sama papah emang orang tua paling the best lah, karna berkat mereka gue punya muka unyu. Dan aneh nya kenapa muka gue banyak di takutin." Mahesa berdecak. "Emang dasar kids zaman now, nggak tau mana muka ganteng dan mana muka sangar."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kencang. "MAHESA, KAKAK MENYEBALKAN LO HENYAH DARI MUKA GUE." teriak Seorang cowok, kembaran Mahesa yang bernama Melvan Pradipta Nugraha.
Mahesa terlonjak kaget, ia menatap adiknya dengan tajam. "Apa sih?!"
Melvan menjambak rambut Mahesa dengan kuat. "Melvan sakit. Lo kayak cewek amet dah, maen jambak-jambakan." ringis Mahesa.
"Maksud lo apa bang, pacarin adiknya pacar gue."