Enam

1123 Words
"Aku akan mengantarkan kamu pulang" Kata Wingga setelah mereka selesai berbicara atau lebih tepatnya berdebat. "Tidak perlu, aku bawa mobil sendiri," Stevany memamerkan kunci mobil di tanganya, namun Wingga dengan cepat mengambil alih kunci itu.  "Aku yang menyetir." Katanya seraya berjalan lebih dahulu menuju parkiran.  "Kembalikan kunci mobil ku!" Stevany berdiri di depan Wingga dengan tangan menengadah, matanya melotot garang.  "Kamu parkir di mana?" Alih-alih mengembalikan, Wingga malah bertanya dan melewati Stevany begitu saja. Dia seolah tidak melihat pelototan wanita itu. Stevany mendengus, kemudian menghela napasnya panjang, dengan langkah berat dia mengikuti pria itu dari belakang. Stevany diam saja saat Wingga kembali bertanya dimana dia memarkirkan mobilnya. Wingga kemudian menekan tombol unlock di remot  kunci mobil Stevany, sebuah mobil berwarna merah gelap yang tidak jauh dari tempatnya berdiri mengeluarkan bunyi beep, beep. Lagi-lagi Wingga di buat tersenyum dengan selera warna yang Stevany pilih. Benar-benar gadis yang unik, pikirnya Stevany membuka pintu mobilnya dan duduk di bangku penumpang di belakang. Dia tersenyum polos, saat Wingga menatapnya dengan tatapan protes.  "Duduk di depan!" Perintah Wingga dengan tegas. "Kamu bersikeras untuk jadi supir ku, dan aku biasanya duduk di belakang saat menggunakan jasa Driver" Stevany menyandarkan badannya ke sandaran jok mobil, dia membuat dirinya senyaman mungkin.  "Dan aku bukan Driver mu, aku kekasih mu sekarang." "Aku tidak menganggapnya begitu, karena aku tidak mencintai mu," Balas Stevany pedas. Wingga berdecak, "Apa kamu pikir aku mencintai mu. Jangan berharap terlalu tinggi," Kata Wingga membalas perkataan Stevany.  "Kamu tahu apa alasan ku, kenapa aku menjadikan kamu pacar. Jadi jangan memikirkan hal yang tidak akan mungkin terjadi," Katanya lagi. "Dan semua alasan mu itu tidak bukti kuat" Dengus Stevany. "Terserah!" Wingga keluar dari mobil Stevany lalu meninggalkan wanita itu sendiri tanpa sepatah kata pun lagi. Stevany di buat melongo dengan ulah pria itu. Stevany kemudian keluar dari mobilnya. "Dih, dasar ambekan" Sungut Stevany sedikit kuat, namun Wingga tidak menghiraukannya, pria itu tetap berjalan menjauh. Stevany berbalik dia kemudian masuk ke dalam mobilnya dan duduk di belakang kemudi, dia belum menyalakan mesin mobil saat tiba-tiba pintu di sampingnya terbuka. Wingga ternyata  kembali lagi. "Geser!" katanya sambil mendorong pelan  Stevany kesamping. Mau tidak mau Stevany menggeser badannya, apalagi Wingga sudah langsung duduk di sampingnya. "Pakai sabuk pengaman mu! kita langsung jalan sekarang," Kata Wingga sammbil menyalakan mesin dan memberikan Stevany waktu untuk keluar atau pindah kebelakang. "Jadi kamu mau diantar kemana? langsung pulang kerumah atau mau ketempat lain?" Tanya Wingga santai, seolah-olah mereka tidak pernah adu mulut tadi.  "Antarkan aku kembali ke  butik," jawab Stevany enggan.  "Jadi kamu punya butik sendiri?" Tebak Wingga. "Alamatnya di mana?" Tanya-nya lagi, Wingga menghentikan mobil yang dia kendarai saat lampu lalulintas berubah merah.  Stevany menyebutkan alamat butiknya masih dengan ogah-ogahan, dia masih kesal saat Wingga berhasil mengelabuinya. Stevany tidak bisa memprediksi apa yang pria itu lakukan, dia selalu kalah satu langkah. Dan dia tidak suka itu.  Setelah itu tidak ada percakapan lagi di sepanjang perjalanan, Stevany membuang pandangannya ke arah jalanan. Sementara Wingga fokus menyetir, dia sebenarnya ingin mengajak mengobrol wanita yang duduk di sampingnya itu, tapi dia belum menemukan topik yang dia kira cocok menarik perhatian wanita itu. "Sudah sampai," Perkataan Wingga mengalihkan atensinya, dia tidak sadar kalau ternyata sudah tiba di depan butiknya. Berapa lama dia melamun?.  "Eh, iya sudah." Katanya berusaha biasa saja, padahal dia sedang menahan malu. Wingga keluar dari dalam mobil terlebih dahulu, lalu di susul Stevany. Wingga memberikan kunci mobil ke pada Stevamy.  "Kalau begitu, aku kembali ke kantor dulu," Stevany menerima kunci mobilnya dan langsung memasukkannya ke dalam tas. "Nggak mau mampir dulu?" Katanya tanpa sadar. Lalu buru-buru menggigit bibirnya saat sadar dia menawari pria itu singgah. Kebiasaannya bertanya setelah diantar belum juga hilang, karena kebiasaan inilah dia jarang memakai jasa suppir atau naik taksi. "Boleh, sekalian aku ingin melihat setelan jas koleksimu. Aku akan membelinya kalau aku tertarik." Wingga langsung melangkah memasuki toko Stevany tanpa menunggu wanita itu.  Wingga menyusuri seluruh bagian pakaian pria, sesekali tangannya memegang bahan dari kain yang di pajang. Stevany sendiri tidak tahu mengapa dia harus mengikuti pria itu dan sesekali menjelaskan tentang model dan bahan baju. Sungguh dia sendiri pun tidak mengerti mengapa harus berdiri di samping pria itu. "Menurut kamu bagus mana? kiri atau kanan?" Wingga mengangkat dua kemeja dengan warna yang berbeda. Ditangan kirinya dia memegang kemeja berwarna hijau lumut lalu di tangan kanannya dia memegang kemeja berwarna merah maroon.  Stevany melihat kemeja itu, sejenak dia berfikir, menimbang mana yang cocok dengan pria itu.  "Keduanya bagus, tapi-," "Oke aku ambil keduanya" Wingga memberikan kemeja itu untuk Stevany pegang. Mereka kemudian menyusuri bagian jas dan celana bahan. Stevany sudah sebal dan juga pegal memegangi pakaian yang pria itu pilihakan, mungkin itu sudah ada sepuluh potong atau bahkan lebih. Stevany mengkode salah satu pegawainya untuk membantunya membabawakan keranjang belanja. Dia lalu memasukkan semua pakaian yang Wingga pilih ke dalam keranjang belanja, meskipun sudah lelah menemani pria itu dia tidak mungkin berhenti, karena biar gimanapun juga ini adalah keuntungan untuk tokonya. "Ini sudah cukup, aku ingin membayarnya."  "Eh, sepatu belum." Stevany tersenyum sambil menunjuk rak sepatu menggunakan dagunya. Wingga terlihat berfikir. "lain kali saja, aku masih punya banyak" Ucap Wingga setelah berfikir selama lima menit. Dia tidak berbohong kalau dia punya sepatu banyak. Wingga termasuk orang yang hobby mengoleksi sepatu dan jam tangan.  Stevany mengangguk lalu dia menuntun Wingga ke kasir.  "Kamu membawa belanjaan ini ke kantor?" Tanya Stevany. Karena seingatnya tadi, laki-laki itu bilang kalau dia masih harus kembali ke kantor. "Tidak. Nanti akan ada orang yang akan mengantarnya ke rumah." Saat ini mereka sedang berdiri di depan toko Stevany, menunggu supir menjemput Wingga. Sebuah mobil berwarna hitang mengkilap berhenti di depan mereka, seorang pria muda dengan gaya kasual keluar dari dalam mobil. Dia adalas Aska teman sekaligus asistennya.  Aska membuka bagasi lalu membantu Wingga memasukkan barang beanjannya. Aska hanya tersenyum saat bersitatap dengan Stevany. "Dia Aska, teman SMA aku dulu dan merangkap sebagai asisten ku," Kata Wingga mengenalkan. "Kalau begitu aku pergi dulu, nanti sore aku akan yang akan menjemputmu di sini, kita pulang bersama."  Stevany sontak melihat pria itu. "Kenapa kamu harus menjemput ku?" Tanya tidak mengerti, hubungan mereka belum sedekat itu. "Karena kamu pacar ku" Jawab Wingga santai. "Tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri, dan lagi hubungan kita tidak sedekat dan sesimpel itu." Stevany langsung masuk kedalam tokonya tanpa menunggu balasan dari Wingga.  Stevany merupakan wanita yang gampang baper, dia tidak mau jatuh cinta pada pria yang jelas tidak mencintainya, dan lagi tujuan pria itu hanya untuk mengamankan hubungan William dan Mira. Stevany juga meyakini satu hal, yaitu Wingga memiliki rasa pada Mira. Karena itu dia tidak akan mau terlalu dekat dengan pria itu. Namun satu hal yang Stevany tidak tahu, kalau hati tidak bisa di kontrol, sekeras apapun usahanya. Hati akan tetap jatuh saat dia merasa nyaman. Bersambung....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD