Delapan

1368 Words
Awal bulan seperti ini butik Stevany begitu sibuk. Mulai dari penerimaan barang baru lalu retur barang rusak dan model lama. Stevany sedang di gudang membantu pegawainya untuk menyusun barang baru. Penampilannya sudah tidak karuan, rambutnya berantakan karena terlalu sering di usap dan juga menjadi tempat bersarangnya beberapa pensil miliknya. Stevany berpindah ke bagian lain, memeriksa dengan benar barang pesanannya, mengecek apakah sesuai dengan apa yang di mintanya bulan lalu. "Mbak makan siang dulu,". Kata Wulan, asistennya. Ini sudah lewat jam makan siang, dan atasannya itu belum makan sedikit pun. Wulan memang memanggilnya dengan sebutan 'mbak'. Karena usia mereka yang hanya terpaut dua tahun dan Wulan berasal dari jawa. Dulu saat baru bekerja, Stevany tidak suka di panggil ibu, jadilah dia memanggilnya dengan sebutan mbak dan ternyata Stevany tidak masalah di panggil seperti itu. "Dikit lagi Lan, nanggung". "Aku pesan dulu aja. Mbak, mau makan apa?". Tanya Wulan. Ini bukan pertama kali wanita itu melewatkan makan siangnya, setiap awal bulan emang selalu seprti itu. "Apa aja Lan," Jawab Stevany menggumam. Dia kemudian kembali sibuk dengan tumpukan pakaian itu. Tidak lama Wulan kembali ke gudang. Stevany mengalihkan perhatiannya pada Wulan yang datang dengan pintu yang di buka sedikit kasar. "Hehe, sorry mbak". Katanya sambil nyengir lebar. "Ada apa?, kamu udah pesan makanannya?". Tanya Stevany heran, pasalnya belum lima menit asistennya itu keluar dan sekarang sudah kembali. "Belum mbak, itu, ada yang cari kamu mbak". "Siapa?", Stevany mengerutkan keningnya, seingatnya dia tidak punya janji dengan siapa pun hari ini. "Cowok mbak, itu yang pernah belanja dengan mbak di sini. Yang belanja banyak". Mendengar perkataan Wulan, jantung Stevany tiba-tiba berdetak kencang. "Dia ngapain kesini?". Tanyanya sambil mengipasi wajahnya yang entah kenapa terasa panas. Wulan menggelang, "Nggak tahu mbak, dia cuma mau bilang kalau mau ketemu sama Stevany". "Minta dia untuk menunggu di ruangan ku". Begitu Wulan keluar, Stevany langsung menyambar tasnya dan mengeluarkan pouch yang berisi alat make up. Stevany memperbaiki riasannya sebelum keluar dari gudang. Beruntung dia membawa tasnya ke gudang pagi tadi, kalau tidak, Wingga akan melihat wajahnya yang kucel dan rambutnya yang kusut. Setlah memperbaiki penampilannya, Stevany keluar dari gudang dan menuju ruangannya di lantai dua. Dia menarik napasnya terlebih dahulu sebelum membuka pintu. Wingga berdiri saat mendengar pintu di buka, dia melihat Stevany yang tetap tampil cantik meski telah sibuk di gudang. "Kamu sibuk banget iya?. Maaf mengganggu". Kata Wingga sedikit tidak enak. "Nggak juga,", jawab Stevany berbohong. "Sudah makan?". Tanya Wingga lagi. Stevany menggelang pelan, dia duduk di depan Wingga. "Kamu belum makan siang?, ini sudah jam setengah tiga". "Eh, aku belum lapar". balas Stevany, namun dia harus menahan malu saat perutnya berbunyi nyaring. "Hehe, sekarang lapar". Stevany nyengir malu. Wingga kemudian berdiri dan menarik tangan Stevany untuk mengikutinya. "Tunggu!", Stevany menyambar tasnya dan mengikuti langkah Wingga. "Mau makan apa?" Tanya Wingga saat mereka sedang berada di jalan di dalam mobil Wingga. "Ke restoran kamu aja, menu yang kita pesan tempo lalu. Itu enak". "Oke," Jawab Wingga, dia kemudian mengemudikan mobilnya menuju restoran miliknya. *** Wingga memperhatikan Stevany yang sedang makan dengan lahap, dia sendiri tidak ikut makan karena memang dia sudah makan siang sebelum ke butik Stevany. "Ini enak banget," Kata Stevany dengan mulut penuh, wanita itu tidak malu sama sekali saat memesan banyak menu. Wingga mengusap sudut bibir Stevany dengan tissue , "Kamu umur berapa sih, makan masih belepotan begitu". Wingga mengulung tissue dengan santai setelah mengusap sudut bibir Stevany, dia tidak sadar kalau perlakuannya itu membuat Stevany membeku, jantung kian berdetak kencang sampai sampai dadanya sakit. Wajahnya bersemu merah. Namun Wingga seolah tidak melihat itu, dia kembali memperhatikan Stevany dengan tatapan yang sulit diartikan. Stevany kembali sibuk dengan makanannya, berusaha keras agar tidak salah tingkah di tatap begitu oleh Wingga. Wingga memanggil pelayan untuk membersihkan meja mereka saat Stevany sudah menghabiskan semua makannya. "Ahh, kenyang banget". Keluh Stevany sambil mengelus perutnya yang rata. "Aku punya dua buah tikect, apa kamu mau menemaniku menonton?" Wingga bertanya lembut. Stevany tanpa berpikir langsung mengangguk, satu hal yang dia tebak dari perlakuan Wingga hari ini yaitu, mungkin saja hubungan mereka tidak akan berakhir secepat ini. Banyak hal yang berputar di kepalanya, termasuk Wingga juga punya rasa yang sama dengannya. Pemikiran polosnya itu, membuatnya tambah ceria menyambut setiap perkataan dan perlakuan lembut Wingga. *** Sisa hari itu mereka habiskan untuk berjalan berdua, setelah menonton kini mereka berakhir di sebuah restoran di salah satu pusat perbelanjaan di Ibukota. Kali ini Stevany yang mengamati Wingga makan, dia sudah menyelesaikan makannya tiga menit yang lalu. Biasanya untuk makan malam dia hanya makan dengan porsi sedikit, lalu sebelum tidur dia akan minum jus buah. Meja mereka kini sudah bersih dari makanan, Wingga juga sudah menyingkirkan ponselnya dan kini dia menatap Stevany dengan serius. "Kamu pasti sudah dengar kalau William dan Mira akan menikah dalam waktu dekat?", Kata Wingga memulai pembicaraan. "Iya, aku ada di rumah William saat dia melamar Mira". Stevany tersenyum mengingat momen itu. William terlihat sangat mencintai Mira dan Mira. "Kamu masih ingatkan tentang perjanjian kita di restoran beberapa waktu lalu?" Tanya Wingga lagi. Stevany menganguk, dia mulai menerka kemana arah pembicaraan Wingga. Wingga merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kotak beludru kecil, dia mengambil tangan kiri Stevany. Dalam diam dia menarik kembali cincin yang pernah di pasangkannya dan menggantinya dengan yang baru. Stevany yang melihat itu tersenyum senang. Sepertinya tebakannya benar, kalau hubungan mereka akan berlanjut. "Cincin ini adalah, cincin turun temurun dari keluarga ku. Mama memberikannya pada ku tiga tahun lalu. Dan yang ini aku membelinya tiga hari lalu saat di Singapura". Wingga memasukkan cincin keluarganya kedalam beludru dan menyimpannya di saku jasnya. "Tapi kenapa harus di ganti?". Jujur saja Stevany lebih suka dengan model cincin yang pertama, lebih sederhana dan tidak mencolok. Wingga mengangkat alisnya melihat Stevany, "Tentu saja aku tidak ingin memberikan kamu cincin itu. Cincin itu akan aku berikan pada calon istriku nanti". Jawab Wingga dengan santai. "Seperti perjanjian kita tempo lalu, kalau William dan Mira menikah, hubungan kita juga otomatis berakhir". Tambah Wingga lagi. Stevany hanya bisa diam, dia tidak tahu mau mengatakan apa, perasaannya seperti di terbangkan tinggi lalu di hempaskan begitu saja. Dia tidak tahu kalau perlakuan manis Wingga hari ini akan berakhir pahit. "Iya, sudah sepatutnya hubungan tidak jelas ini berakhir", Stevany kemudian melepaskan cincin yang ada di tangannya. ''Dan ini aku tidak bisa menerimanya. aku bukan siapa-siapa mu, jadi tidak perlu di berikan cincin seperti ini". Stevany meletakkan cincin itu di hadapan Wingga. Stevany melakukannya dengan terpaksa, dia berharap Wingga tetap ngotot memberikan kembali cincin itu padanya dengan sedikit kata manis. mungkin. Namun yang terjadi malah sebaliknya, "Oke," Wingga lalu mengambil cincin itu dan menyimpannya kembali di balik saku jasnya. 'Astaga, dasar laki-laki tidak peka!'. Sungut stevany dalam hati. Dia lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu berdiri. "Aku pulang duluan". Katanya dengan nada kesal yang tertahan. "Tunggu," Wingga menangkap tangan Stevany. "Aku akan mengantar mu pulang". Katanya, sambil berdiri. "Tidak perlu, aku naik taksi aja" Tolak Stevany, nadanya terdengar ketus. Sumpah Stevany benar-benar kesal dengan pria itu, jika ingin mengakhiri hubungan mereka, harusnya pria itu langsung mengatakannya saja saat dia datang kebutik sekalian meminta cincinnya kembali. Tidak perlu membuatnya berharap banyak dengan perlakuan yang manis dan pada akhirnya sangat pahit. "Aku yang menjemput mu dan aku juga yang harus mengantar mu kembali". Kata Wingga denga tegas. Stevany semakin meradang, andai hubungan mereka baik-baik saja dia akan terharu dengan perkataan pria itu. "Aku bilang tidak iya tidak!". Stevany menghempaskan tangannya dari pegangan Wingga. Dia kemudian berjalan keluar dari lobby dan langsung menghentikan taksi. Saat dia hendak membuka pintu, Wingga langsung menahan pintu taksi tetap tertutup. "Maaf pak, tidak jadi". Kata Wingga pada supir taksi. Dia menggenggam tangan Stevany dengan erat, tanpa menyakiti wanita itu. Wingga menekan tombol unlock dari kejauhan, lalu saat dia sudah berada di dekat mobilnya dia langsung membuka pintu dan mendorong Stevany masuk. Sedikit berlari memutari mobil dan duduk di balik kemudi. Sepanjang perjalanan hanya ke sunyian yang menemani, bahkan radio pun tidak di nyalakan, seolah mereka menyukai dan nyaman dengan kesunyian yang ada. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD