Kartajaya menarik senjata yang tersembunyi di dalam tongkat dan mengayunkannya di udara. Raut wajah Jenderal perang itu kini berubah drastis, yang semula santai dan damai, kini menjadi penuh kemarahan dan ambisi untuk menghancurkan.
Setelah melihat bagaimana nasib tragis yang dialami istri tercintanya, tak ada kelembutan yang tersisa, hanya ada kemarahan dan keinginan untuk membalas dendam kepada Wiryasukma yang sudah pasti dalang dari semua fitnah ini.
“Tangkap pemberontak!!” teriak Wiryasukma.
Segerombol pasukan berlari menuju ke tengah aula utama istana, membuat para pelayan dan tamu menjadi panik berhamburan. Mereka semua menyingkir secepat mungkin dari aula utama yang berpotensi menjadi medan perang bagi para pewaris tahta Kerajaan Salaka.
“Wiryasukma!!!” geram Kartajaya, kemudian mengayunkan pedang, melawan pasukan Wiryasukma yang juga melayangkan pedang di depan wajahnya. Menyasar leher sebagai tujuan utama mereka.
Kartajaya menangkisnya dengan mudah, pedang yang ada di tangannya kokoh dan kuat. Terbiasa digunakan untuk menyelamatkan diri dari segala ancaman di setiap situasi. Walau bukan menjadi pedang utama yang biasa dia gunakan untuk berperang, namun pedang yang tersembunyi di dalam tongkat ini memiliki kemampuan yang luar biasa. Tak berbeda jauh dengan pedang utama Kartajaya.
Tiga orang sekaligus menyerang Kartajaya dari sisi kiri, kanan dan belakang. Kartajaya menangkis dengan penuh kemarahan dan tak membiarkan seujung pedang pun mengenai kulit tubuhnya. Tangkisan kuat itu berhasil membuat ketiga pedang lawan terpental lepas dari tangan pemiliknya hingga mereka terperangah dan gelagapan menatap kemarahan Kartajaya. Mereka hendak bergerak memungut pedang-pedang yang terjatuh, namu senjata Kartajaya sudah siap menebas leher mereka.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” desis Kartajaya di depan tiga orang itu.
“Anda adalah pemberontak yang telah membunuh Yang Mulia Raja Dewawarman!” seru salah satu anggota pasukan Wiryasukma dengan gugup.
“Itu adalah fitnah paling keji dan tak masuk akal yang pernah saya dengar!”
Tepat dari depan Kartajaya berlari serbuan selanjutnya untuk menyerang Kartajaya. Kini ia terjebak diantara banyaknya pasukan Wiryasukma yang tak pernah ia duga akan menyerangnya.
Kartajaya yang semakin geram, mempercepat gerakannya. Salah satu kakinya bertumpu keras di permukaan lantai aula utama, kemudian tubuh indah dan terlatihnya melompat tinggi seraya mengayunkan pedang untuk menebas kepala semua orang dalam satu kali ayunan.
Namun ayunan pedangnya terhenti di udara saat ia melihat Mahaguru berada di antara prajurit Wiryasukma.
“Mahaguru! Apa yang Anda lakukan!” seru Kartajaya di dalam hati.
Mahaguru tak menjawab, hanya tersenyum penuh peringatan dan menggeleng kecil.
“Mahaguru! Mohon Menyingkirlah, saya harus menebas leher semua tukang fitnah ini!”
Seruan itu spontan membuat para pasukan Wiryasukma kebingungan, wajah mereka menoleh ke kiri dan kanan, mencari orang yang dipanggil dengan sebutan Mahaguru oleh Kartajaya. Namun tak ada sosok itu di antara mereka, yang ada hanyalah pasukan yang hampir saja kehilangan kepala dengan satu tebasan pedang Kartajaya.
Mahaguru bersikeras berada di sekitar pasukan Wiryasukma sehingga membuat Kartajaya mengurungkan niatnya dan mengarahkan pedang mengayun di udara. Usai menapak kembali ke tanah dan gagal mendapatkan tujuannya, Kartajaya mengabaikan kehadiran Mahaguru, dan merangsek maju menyerang anggota pasukan tersebut satu per satu. Hanya saja, setiap kali Kartajaya hendak memenggal kepala pasukan itu dalam kemarahan yang menggelegak di jiwa, saat itu pula Mahaguru hadir di samping calon korban Kartajaya.
Mahaguru menggeleng, wajahnya penuh ketidaksetujuan. Keningnya mengernyit sedih, matanya menatap Kartajaya dengan penuh kasih sayang, namun juga terlihat memperingatkan.
“Mahaguru! Menyingkirlah!” geram Kartajaya. Kemarahan telah membutakan dirinya. Biasanya Kartajaya tak akan pernah berani menaikkan suara sedikitpun di depan Mahagurunya, ia adalah anak yang terlatih sopan santun, menjaga tata krama maupun tata bahasa, terutama di depan Mahaguru Janggan Smarasanta. Tapi Kartajaya telah melupakan semua itu dan hanya dendam yang menguasai jiwanya.
Pasukan Wiryasukma semakin panik mendengar ucapan Kartajaya. Mereka adalah pasukan setia Wiryasukma dan istrinya, sejak lama mereka mengabdi pada Kerajaan Salaka, hingga mereka tahu siapa yang dimaksud Kartajaya dengan sebutan Mahaguru.
Kartajaya sudah mahsyur namanya sebagai murid kesayangan Mahaguru Janggan Smarasanta. Kartajaya memiliki banyak ilmu yang luar biasa sakti dari gurunya tersebut. Sehingga membuat semua orang mengagumi keduanya. Jadi, ketika Kartajaya menyebutkan nama Mahaguru dalam kalimatnya, maka hanya Mahaguru Janggan Smarasantalah yang dimaksudkannya.
Anggota pasukan Wiryasukma menoleh ke setiap sudut dengan panik, dimanakah Mahaguru tersebut berada, apakah berada di dekat mereka sampai-sampai Kartajaya pun tak berani mengayunkan pedang pada Mahagurunya. Namun sosok Mahaguru itu tak terlihat sedikitpun, dan suatu pengertian merasuk ke dalam pikiran mereka.
Sosok spiritual!
Sosok Mahaguru hadir dalam bentuk transparan dan hanya Kartajaya lah yang mampu melihatnya!
Jika sampai Mahaguru datang ke kerajaan ini, maka mungkin habislah seluruh pasukan Wiryasukma, mereka goyah dan berlari mundur, namun kemaraha Wiryasukma menghentikan rasa takut mereka.
“Apa yang kalian lakukan, bodoh! Cepat tangkap pemberontak itu sekarang juga!” teriak Wiryasukma.
Pasukan-pasukan itu pun dengan terpaksa kembali menyerang Kartajaya. Anehnya, Kartajaya selalu menggagalkan ayunan pedang, dan tubuhnya yang gesit mengelak dengan cepat setiap ayunan pedang yang hendak mengenai tubuhnya.
Kartajaya yang marah terlihat gamang, ia sangat ingin menghabisi musuh namun sesuatu menahannya.
Kehadiran Mahaguru lah yang menahannya!
Pasukan Wiryasukma pun diuntungkan, mereka menjadi percaya diri bahwa Mahaguru berpihak kepada mereka. Beberapa anggota pasukan menyerang dengan gesit, membuat Kartajaya limbung dan hampir terjatuh, namun tetap saja, pedang mereka tak berhasil mengenai tubuh Kartajaya yang memiliki refleks sempurna.
“Serang!!!” teriak Wiryasukma yang melepaskan lebih banyak pasukan untuk membekuk Kartajaya.
Rahang Kartajaya bergemeletuk, matanya membelalak marah, seolah ada api besar yang terbakar di mata tersebut. Jenderal Perang Rajasa itu bertekad di dalam hati akan menyerang dan membabat habis pasukan Wiryasukma apapun yang terjadi.
Kartajaya berpaling, mengabaikan Mahaguru dan menyerang pasukan itu tanpa ampun. Pedang Kartajaya selalu terhenti sebelum mengenai leher prajurit yang menjadi sasarannya. Ia sangat frustasi karena sosok Mahaguru bergerak dan berpindah sangat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Kartajaya.
Mahaguru selalu tahu siapa yang akan dituju selanjutnya dan pasti sudah berdiri di samping sosok itu sebelum Kartajaya sempat mengayunkan pedang. Terus begitu hingga Kartajaya menggeram marah.
Dengan seluruh hatinya, Kartajaya mengumpulkan seluruh energi dengan kedua tangan dan hendak melafalkan mantra kehancuran yang bisa membuat musuh tumbang tanpa perlu menyentuh mereka.
Mantra yang sangat berbahaya!
Mahaguru bergerak ke depan dan berhenti tepat di hadapan Kartajaya. Saat ini, sosok Kartajaya terlihat bersinar terang, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan.
Seluruh pasukan berubah tegang tatkala suasana berubah begitu magis dan hening. Tak satupun dari mereka berani bergerak. Bahkan seluruh tubuh mereka berubah lemah, sangat lemah, suasana tegang menjadi tenang hingga rasa kantuk datang menyerang.
Ya, mereka mengantuk ditengah sebuah pertempuran.
Rasa kantuk yang sangat tak tertahankan membuat mereka lengah dan tumbang satu per satu di permukaan lantai. Mereka tertidur begitu lelapnya. Bahkan Wiryasukma sebagai pemimpin pasukan dan seluruh tamu yang hadir pun mengalami hal yang sama.
Suasana ruang aula utama menjadi hening. Sangat hening dan tenang.
Kartajaya yang hendak melafalkan mantra kehancuran pun terlelap dalam pelukan Mahaguru. Lelap yang mendamaikan kemurkaan hatinya. Lelap yang membuat Kartajaya lengah hingga tubuhnya menghilang secara misterius dari Aula istana.
***