32. Sendiri, Asing dan Berbeda

1074 Words
Sepanjang perjalanan pulang Makula hanya diam. Pemuda itu lebih banyak menutup mulut dan berjalan dengan pikiran yang terlihat penuh. Segalanya tergambar di wajahnya, namun ia tak mau membagi isi kepalanya kepada siapapun – bahkan kepada Kartajaya yang berjalan tepat di sampingnya. Sesekali Kartajaya menyadarkan Makula dari pikirannya yang bising, dan Makula akan mengangguk sambil berkata, “Aku baik-baik saja.”. Tapi kemudian, selang beberapa menit, Makula akan kembali sibuk dengan pikirannya dan melayang ke tempat-tempat yang tidak Kartajaya ketahui. Hingga Pada saat mereka sampai di base camp pun Makula tidak memperdulikan apapun kecuali keheningannya sendiri. Ia mungkin sedang dilanda perasaan sendiri, asing dan berbeda. Persis seperti yang Kartajaya rasakan saat terbangun di tempat yang sangat asing dan terutama di dalam tubuh yang juga tak kalah asing. Perasaan buruk itu bisa Kartajaya lihat di mata Makula, maupun melalui pancaran mata kawan-kawan lainnya yang memandang Makula dengan tatapan aneh dan tak biasa. Sejak kejadian yang menimpa Makula di danau, Kartajaya menyadari jika Makula memang memiliki kemampuan khusus yang melekat pada dirinya sejak lahir. Kartajaya bisa memastikan bahwa ini adalah kemampuan yang tidak sembarang manusia bisa memilikinya. Jika Makula terus mengolah ilmu dan ketajaman inderanya, mungkin kemampuan ini bisa menjadi berkah, atau justru menjadi petaka. Tergantung bagaimana Makula memanfaatkannya. Lord Yasa mengumumkan bahwa semua orang diperbolehkan istirahat setelah perjalanan yang panjang. Mereka pun segera berbaris mengantri untuk membersihkan diri, kemudian kembali ke ruang istirahat. Makula dan Kartajaya baru saja selesai membersihkan diri di bilik yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Mereka pun kembali ke ruang istirahat beriringan, lalu berbaring di atas ranjang masing-masing. Makula meringkuk, lalu menutup seluruh tubuhnya dari kaki hingga kepala. Sedangkan Makula hanya bisa mendesah kecil melihat tingkah kawannya. Kartajaya mencoba tidur sepanjang malam, namun pikirannya sangat segar, tubuhnya tidak merasa lelah, bahkan ia tidak bisa memejamkan mata tanpa berpikir tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya. Kartajaya seperti memiliki suntikan energi ekstra sehingga membuat tubuh Aksata yang selalu lelah dan mengantuk, kini tidak merasakan dua hal itu sama sekali. Tubuh Aksata yang Kartajaya huni, sungguh terasa berbeda malam ini. Pada pukul tiga dini hari pun Kartajaya memilih menyerah dari upaya tidurnya, dan berjalan mengendap-endap keluar dari barak prajurit muda kelompok bawah tanah yang dipimpin oleh Lord Yasa. Ia berjalan menelusuri Lorong yang panjang dan berakhir pada ruang latihan yang sangat luas. Kartajaya memandang dirinya di kaca besar yang sangat bening. Ia menatap jauh ke dalam mata Aksata yang cekung dan sangat tirus. Anak ini sungguh malang, siapakah dia hingga membuatnya memiliki wajah yang sama persis seperti Kartajaya muda. Jika memang dia adalah Sosok Kartajaya yang terlahir kembali di dunia ini, maka jiwa siapa yang menghuni tubuh ini sebelumnya? Bukankah jiwa dan tubuh Kartajaya terperangkap di dalam danau? Lalu sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya? Hingga detik ini, Kartajaya masih sangat bingung dan tidak bisa menjawab apapun yang terlintas dalam benaknya. Menyambungkan satu kemungkinan dengan kemungkinan lainnya adalah hal yang sangat sulit, bahkan setelah ia mencari informasi tentang Kerajaan Salakanagara melalui alat canggih yang ditunjukkan oleh Makula. “Sampai berapa lama aku akan bertahan di dalam tubuh ini?” gumam Kartajaya, kemudian mendesah lelah. Ia menurunkan pandangannya pada seluruh tubuh Aksata yang kurus kering, walau ia sudah berusaha makan sebanyak apapun sejak terbangun di tubuh ini, tapi tubuh Aksata masih belum bisa dikatakan normal. Masih sangat kurus, walau sudah tidak busung lapar. “Kamu harus makan dengan sangat sehat, Aksata…” gumam Kartajaya. Kartajaya menyugar rambut gelapnya, kemudian mencengkram rambut itu hingga terasa denyutan yang menyegarkan pikirannya. “Tidak boleh terus begini… aku harus berlatih dua kali lebih keras dari sebelumnya.” Dini hari itu Kartajaya mencoba melakukan pelatihan dasar ilmu bela diri yang dulu sering dilakukannya bersama para Mahaguru Kerajaan Salaka. Hal itu dilakukannya dengan perlahan-lahan dan ekstra hati-hati agar tidak terlepeset, apalagi terjatuh di lantai yang keras. Walau bagaimanapun tubuh Aksata masih terlalu ringkih untuk digunakan berlatih keras. Kartajaya tidak ingin tulang-tulang di dalam tubuh ini patah bahkan sebelum ia meningkatkan kemampuan dirinya. Kartajaya berfokus pada setiap gerakan bela dirinya, memastikan letak dan posisi tubuhnya sesuai dengan yang seharusnya. Ia berusaha keras untuk mengabaikan segala isi pikiran maupun perasaan yang mengganggu konsentrasinya, karena walau bagaimanapun juga Kartajaya adalah manusia biasa yang bisa merasa kesepian dan sangat sendirian. Ia merindukan kawan prajuritnya di Kerajaan Salaka, ayahnya, dan terutama istrinya – Dewi Lintang Arum. Ia sangat merindukan wanita itu. Rindu sampai mau gila rasanya. “Apa yang sedang kau lakukan?” Pertanyaan itu mengalihkan konsentrasi Kartajaya, ia menoleh ke belakang dan menemukan Makula sedang berdiri di ambang pintu sambil bersandar pada kusen. “Gerakan bela dirimu sangat aneh, sangat berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Lord Yasa…” Kartajaya melanjutkan gerakan memukul udaranya, kemudian menendang dengan salah satu kakinya. Pria itu menjawab, “Ini yang aku pelajari di pertambangan…” bohong Kartajaya. Makula mengangguk, kemudian berjalan memasuki ruang latihan. Ia duduk di permukaan lantai sambil memperhatikan Kartajaya. “Kau tidak mengantuk?” Kartajaya menggeleng, “Pikiranku sangat segar. Aku tidak bisa tidur…” ia pun menghentikan dirinya, kemudian menoleh menatap Makula, “Bagaimana perasaanmu, apakah sudah membaik?” “Kau bertanya tentang perasaanku?” seru Makula yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Apa yang salah dari pertanyaanku?” tanya Kartajaya. “Biasanya orang-orang akan bertanya, apakah otakmu masih waras? Apa saja yang kau lihat? Hantu macam apa yang merasukimu? Apakah kau melihat masa depanku? Dan lain-lainnya…” “Aku tidak ingin tahu tentang semua itu…” jawab Kartajaya. Pria itu menghentikan latihannya, lalu duduk berseberangan dengan Makula. Ia menjaga jarak aman agar tidak terlalu mengganggu Makula yang sepertinya masih sangat defensive atas apa yang menimpanya. “Jadi, kau hanya ingin tahu perasaanku?” “Ya…” Kartajaya menjeda, ia menunduk sejenak, kemudian kembali menatap mata Makula, “Entah mengapa malam ini aku merasa sangat kesepian dan sendirian. Aku merasa sangat asing di tempat ini… Aku ingin kembali ke tempatku sebelumnya.” “Kau merasakan semua itu?” “Ya, aku merasakan semua itu, dan aku yakin kau pun merasakan hal yang mirip seperti ini, kau pasti merasa asing di antara semua teman-teman yang tidak mengerti kondisimu bukan?” Makula terdiam, sikap yang menunjukkan kesetujuannya. “Kadang aku berpikir, mampukah aku kembali ke tempat asalku…” lanjut Kartajaya, “Atau mampukah aku menyesuaikan diri dengan semua ini… Asal kau tahu kalau sampai saat ini, aku tidak tahu bagaimana caranya membiasakan diri disini… Sekeras apapun mencoba, tempat ini sangat sulit untuk diterima oleh seluruh diriku. Aku tidak betah. Aku merasa berbeda…” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD