29. Aksata Bukan Kartajaya

1251 Words
Semua orang bergegas membawa Makula menjauh dari danau, tanpa sadar meninggalkan Kartajaya mematung seorang diri di tepi danau. Kartajaya berbalik menatap danau kering di depannya. Tempat dimana tubuh Aksata ditemukan, dan mungkin ini adalah tempat jiwanya memasuki tubuh Aksata. Ia terdiam selama bermenit-menit, benaknya dipenuhi oleh ratusan dan bahkan ribuan kemungkinan yang terjadi, dimulai dari hal aneh pada moment tenggelamnya tubuh Kartajaya ke dasar danau, hingga terbangun di masa dan era yang sungguh jauh berbeda dengan tempat asalnya. Bahkan jiwanya terjebak di tubuh seorang pria muda yang memiliki wajah sama persis seperti dirinya. Jadi mungkin Aksata adalah dirinya dimasa kini, sedangkan Kartajaya di masa Kerajaan Salaka sudah meninggal dalam masa pelariannya. Apakah ini reinkarnasi? Tapi jika memang ia terlahir kembali, lalu mengapa jiwa Kartajaya dan Aksata sungguh berbeda? Mereka berdua adalah dua jiwa yang berbeda. Fisik mereka boleh jadi sama, namun Aksata memiliki jiwanya tersendiri, dan Kartajaya memiliki jiwa tersendiri pula. Jika terlahir kembali meliputi tidak hanya fisik, namun juga jiwa, maka Aksata bukanlah reinkarnasi Kartajaya karena jiwa Kartajaya masih hidup dan mengingat tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupannya di kerajaan Salaka. “Aku masih hidup. Jiwaku masih utuh. Aku hanya terjebak di tubuh yang berbeda…” gumam Kartajaya. “Di era dan tempat yang jauh berbeda…” Kartajaya mendengus, pikirannya sangat lelah dan tidak tahu harus berbuat apa. Kondisi ini benar-benar membingungkannya. Apakah Aksata adalah dirinya, atau bukan? Sebuah tepukan keras menyapa pundak Kartajaya, ia pun terhentak dan bergegas berbalik ke belakang. “Arsen…” pekik Kartajaya. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Aku hanya… takjub dengan danau ini…” “Dan tidak memperdulikan temanmu yang sedang dalam bahaya?” “Makula!!” pekik Kartajaya baru tersadar. “Ya, Makula! kau baru sadar rupanya…” “M – Maaf, aku…” Kartajaya terdiam sejenak. “Aku terlalu kaget melihat kondisi Makula yang sangat aneh. Apa yang sebenarnya terjadi pada Makula?” “Dia memang terlahir aneh. Sering dirasuki makhluk-makhluk halus sehingga membuatnya dijauhi oleh banyak orang. Di masa kini sangat jarang orang yang memiliki hal aneh seperti yang dimiliki Makula. Kemampuan-kemampuan cenayang seperti itu sudah lama musnah, mungkin sekarang satu-satunya yang tersisa adalah Makula.” “Kemampuan cenayang?” “Entahlah. Intinya dia bisa melihat hantu dan melihat masa lalu atau masa depan. Sesuatu yang terdengar seperti dongeng yang tidak berguna. Semua orang menjauhi Makula karena sikap anehnya…” “Apakah kau juga menjauhinya?” Arsen melirik sinis pada Kartajaya, “Aku tidak punya alasan untuk dekat-dekat dengannya. Apalagi denganmu.” Timpalnya tajam. Kartajaya mengernyit bingung. “Apakah aku juga terlihat aneh?” “Ck! Kau dan Makula sama-sama aneh. Kau dengan seluruh sikap malas dan enggan belajarmu itu sungguh merepotkan.” “Maafkan aku…” “Sampai kapan kau akan meminta maaf!!!” “Aku…” “Kau tidak pernah meminta maaf sebelumnya!” Kartajaya menggeleng kecil, ia heran mengapa pria bernama Arsen ini selalu berbicara kepadanya dengan nada menekan dan melibatkan emosi. Seperti ada dendam tersembunyi di dalam dirinya kepada Aksata. “Aku tidak pernah meminta maaf?” “Kau bersikap sangat sombong dan sok tahu. Sangat menyebalkan. Kenapa sekarang kau merendah diri seperti ini?” “Aku tidak merendah diri. Aku hanya meminta maaf…” Kartajaya mengerjap beberapa kali sebelum kemudian melanjutkan, “Aku sombong dan sok tahu?” pekik Kartajaya. “Kau tidak menyadari hal itu?” “Tidak. Aku…” Kartajaya kehabisan kata-kata. Sombong, sok tahu, pemalas, enggan belajar. Semua sikap buruk itu bukanlah miliknya. Semua orang di Kerajaan Salaka pasti mau bersaksi dan bersumpah atas nama langit dan bumi jika mereka ditanya, apakah Kartajaya adalah orang yang sombong, sok tahu, pemalas dan enggan belajar? Maka mereka semua pasti akan menjawab bahwa Kartajaya adalah orang paling ramah, rendah hati, rajin belajar! Tapi, ia tidak bisa menyamakan dirinya dengan Aksata. Apa lagi membawa-bawa kesaksian masyarakat Salakanagara yang sudah tidak ada. “Kau bahkan tidak bisa mengelak dari semua yang aku katakan, bukan?” Pundak Kartajaya mengkerut dan wajahnya menunduk, “Tolong maafkan sikap burukku…” “Tolong maafkan sikap buruk Aksata…” ulang Kartajaya dalam hati. “Tapi… Aku berjanji akan belajar menjadi manusia yang lebih baik. Aku akan memperbaiki diriku setelah ini…” Arsen menoleh kaget, “Apa yang terjadi denganmu?  Setan macam apa yang telah merasukimu?” “Tidak, tidak ada yang merasukiku!!!” pekik Kartajaya panik. “Apakah Arsen berpikir bahwa aku adalah setan!” seru Kartajaya dalam hati. “Tidak! Aku bukan setan, aku jiwa Kartajaya yang merasuk ke dalam tubuh Aksata!” “Kau sangat berubah!” cetus Arsen. Kartajaya memalingkan wajah untuk menghindari tatapan menyelidik yang sedang dilakukan oleh Arsen kepadanya. “Aku sangat bersyukur dengan kesempatan hidup keduaku. Aku bisa saja mati di ceruk danau itu jika kau tidak menemukanku dengan cepat.” Ucapnya dengan jujur. “Kau memang tidak pantas untuk diselamatkan. Kau sangat pemalas dan tidak memiliki semangat hidup. Tapi seburuk-buruknya sikapku, aku tidak akan berpura-pura tidak melihatmu.” Jawab Arsen, “Lagipula, aku pun heran, bagaimana bisa kau lari secepat itu dari istana Putih? Kau bahkan berkoordinasi dengan baik selama melarikan diri. Sepertinya diantara semua sikap menyebalkan itu, kau memiliki sisi positif juga.” Kartajaya mengangguk, “Mungkin saat itu aku sudah terlalu lelah dengan penderitaan sehingga bisa bersikap seperti itu…” tebak Kartajaya. Di dalam hatinya, Kartajaya yakin jika Aksata memiliki sisi baik yang tidak ditunjukkannya ke semua orang. Mungkin anak ini hanya malu pada kondisi yang menimpanya. “Mungkin kau hanya menyelamatkan ego besarmu yang telah banyak terluka.” “Ya, mungkin seperti itu.” Kartajaya menepuk pundak Arsen dengan sikap bersahabat, “Tolong bimbing aku untuk beradaptasi di tempat ini, kawan.” Arsen mencibir, “Tidak, jika kau tidak berusaha lebih keras.” “Aku akan memberikan seluruh waktu dan hidupku untuk belajar, berlatih dan memperbaiki diri dari segala sisi. Percayalah!” “Aku tidak yakin.” “Arsen…” “Jangan sebut namaku dengan sembarangan.” “Pelatih…” “Bagus, itu lebih baik.” “Pelatih, percayalah padaku untuk kali ini saja.” “Kau telah banyak mengecewakanku. Tapi baiklah, kita lihat sehebat apa tekadmu itu.” “Akan aku tunjukkan kepadamu, Pelatih.” Arsen mengangguk puas, lalu balas menepuk puncak kepala Kartajaya. “Hal pertama yang harus kau lakukan adalah makan dengan baik, anak kecil. Kau masih terlalu kurus untuk bisa berlatih dengan keras!” Wajah Kartajaya turun dan memperhatikan bagaimana kurusnya tubuh Aksata. Desah kecil terlepas dari mulut itu, “Ya, Aku harus memperbaiki tubuh ini dan menyelaraskannya dengan hati maupun pikiran.” “Bagus….” Di depan sana rombongan Lord Yasa sudah mulai terlihat, mereka berhenti di tengah hutan dan sedang mengelilingi sesuatu sambil berbicara pada satu sama lain. Posisi Arsen dan Kartajaya yang masih cukup jauh tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. “Oh ya, apakah kau melihat sesuatu yang aneh saat kau menemukanku di ceruk danau itu?” “Sesuatu yang aneh?” kening Arsen mengernyit. “Ah ya, Ada!” “Apakah itu…” “Pada hari itu, banyak sekali kupu-kupu yang berterbangan di danau.” Salah satu alis Kartajaya terangkat. “Kau tidak percaya bahwa itu adalah sesuatu yang aneh? Baiklah kini kuberi tahu bagian paling anehnya.” “Paling aneh?” “Ya, paling aneh. Semua kupu-kupu yang berterbangan di danau itu memancarkan warna biru. Warna yang sangat indah sampai aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa menit. Hingga tiba-tiba saja, kupu-kupu itu menghilang tanpa jejak di udara. Aneh sekali, mungkin itu halusinasiku saja…” “Kupu-kupu aneh yang memancarkan warna biru…!!!” Seru Kartajaya di dalam hati.  ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD