Beberapa tahun kemudian ...
Pagi yang terasa berbeda dari biasanya. Ini bukan tentang bangun lebih awal atau bangun telat, tetapi tentang menyambut rutinitas baru. Rutinitas yang sudah kuimpikan sejak lama, bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah.
Sejak bangun tidur entah kenapa jantungku berdegup sangat kencang, padahal aku sudah menyiapkan hari ini sejak lama. Antara merasa excited, tetapi juga takut di saat yang sama. Barangkali karena aku sudah memiliki ekspektasi khusus untuk rutinitas yang satu ini. Aku takut apa yang ada di lapangan tidak sesuai.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Akhirnya, setelah menganggur empat bulan aku mendapat pekerjaan yang kuimpikan. Aku diterima menjadi dosen di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Tentu saja, aku menjadi dosen matematika, yakni jurusan yang sudah kutekuni sejak dulu.
“Tarik napas, embuskan. Tarik napas, embuskan. Aduh!” aku menggeleng pelan, masih berusaha menyingkirkan rasa cemas yang kurasa agak berlebihan ini.
Aku berjalan menuju sudut ruangan, tempat aku meletakkan banyak foto-foto orang terdekat yang rutin kubersihkan. Foto yang pertama kali aku raih adalah foto almarhumah Ibu. Aku menatap foto beliau, lalu tersenyum.
“Bu ... aku minta doanya, ya. Hari ini aku pertama kali masuk kerja. Deg-degan banget, masa, Bu?” aku bicara sendiri, seolah-olah Ibu ada di depanku. “Hari ini pasti lancar, kan, Bu?”
Setelah memandang puas foto Ibu, aku segera meraih foto Kak Vita. Dia adalah kakak tiriku, yang naasnya sudah pergi meninggalkanku beberapa tahun lalu.
“Hallo, Kak. Hari ini aku pertama kali masuk kerja.” Lagi-lagi aku bermonolog seperti orang gila. “Minta doanya juga, ya?”
Tiap kali ingat Kak Vita, selalu ada nama yang tiba-tiba muncul di otak sekaligus hatiku. Tak peduli seberapa keras aku berusaha melupakan nama itu, pada akhirnya tetap gagal.
“Kak, dia baik-baik aja, kan, ya? Jujur, aku kadang masih suka kangen sama dia. Aku enggak tahu malu banget, kan? Aku yang dulu ninggalin dia, tapi aku juga yang masih suka nangisin dia.” Sebelum air mataku jatuh dan merusak make up, aku buru-buru mengambil tisu. “Aku dulu jahat banget. Enggak tahu, deh, dia maafin aku atau enggak. Kayaknya aku enggak pantas buat dimaafin.”
Mungkin hampir empat tahun lamanya sejak aku menolak lamaran dan memutuskan hubungan dengan ‘seseorang’. Bahkan menyebut namanya saja masih terasa berat karena aku takut akan merindukannya lagi dan lagi. Aku seolah mendapat karma instan karena sejak saat itu aku justru terus memikirkannya.
Aku selalu berusaha keras melupakan dia, tetapi hasilnya nihil. Aku gagal dan terus gagal. Satu-satunya hal yang membuatku melupakannya—meski hanya sementara— adalah belajar dan menyibukkan diri.
Saking inginnya aku melupakan dia, aku sampai pernah kena tifus karena terlalu keras belajar. Namun, di sisi lain aku menuai manisnya. Aku lulus magister dengan IPK 4. Benar-benar 4 bulat.
“Anna, sebelum berangkat jangan lupa sarapan dulu, ya!” terdengar suara Mama Umi di balik pintu.
“Iya, Ma. Bentar. Habis ini aku keluar.”
Mama Umi. Aku rasa beliau harus masuk dalam list Ibu Tiri paling baik di dunia. Sekalipun kasih sayangnya tidak akan pernah menyamai Ibu kandungku, tetapi beliau benar-benar selalu memperlakukanku dengan baik. Terlebih setelah Kak Vita meninggal. Rasa sayangnya padaku lebih lagi.
Aku mematut diriku di depan cermin sekali lagi sebelum akhirnya keluar kamar dan bergabung di meja makan. Kulihat Ayah dan Mama sudah siap dengan nasi dan lauk-pauk di piring.
“Bawa mobil sendiri, kan, An?” tanya Mama tepat ketika aku baru saja duduk.
“Iya, to, Ma. Sayang kalau enggak dipakai. Makasih, lho, Yah, Ma ...” Aku menatap Ayah dan Mama bergantian lengkap dengan senyum yang mengembang lebar.
Mobil yang Mama maksud adalah hadiah atas pencapaianku. Ayah dan Mama membelikan itu sebagai kado wisuda S2. Meski bukan mobil dengan merek mewah, tetapi aku sudah sangat bersyukur. Aku merasa butuh, apalagi sekarang. Aku berjanji akan merawat mobil itu dengan baik.
Setelah selesai sarapan, aku langsung pamit berangkat. Tak lupa, aku meminta doa pada kedua orang tuaku. Pesan guruku dulu, aku harus selalu menyertakan doa orang tua di setiap perjalanan hidupku. Pesan itu aku ingat sampai sekarang dan mungkin seterusnya.
“Hati-hati di jalan. Semoga hari ini lancar,” ucap Mama begitu aku mengcup punggung tangan beliau.
“Iya, Ma. Aamiin.” Aku segera gantian menyalami tangan Ayah. “Aku berangkat dulu, Yah.”
“Iya, An, hati-hati.”
Aku bergegas menuju mobil, dan sekali lagi kurasakan jantungku berdetak sangat cepat. Aku sampai harus berhenti sejenak untuk meredakannya.
Aku ini kenapa, sih?
“Kenapa, An? Kok berhenti?” tanya Mama.
“Ha? E-enggak papa, Ma. Ini aku mau berangkat. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
Begitu masuk, kuambil satu botol air mineral dan kutegak sampai habis. Setelah merasa lebih baik, aku segera menyalakan mobil dan berangkat. Selama di perjalanan aku terus merapalkan doa agar diberi ketenangan.
Semoga hari ini berjalan dengan lancar. Aku harap, aku bisa memberikan yang tebaik untuk para mahasiswaku nanti.
***
Kuliah jam pertama berjalan dengan lancar. Semua mahasiswa di kelas menyambutku dengan sangat baik. Mereka tampak antusias, membuatku merasa sangat diterima.
Karena baru pertemuan pertama, pembahasan dalam kelas belum terlalu serius. Salah satu pembahasan yang tidak boleh dilewatkan adalah membuat kontrak perkuliahan. Bagiku, kontrak perkuliahan sangatlah penting. Kontrak itu dibuat demi kebaikan bersama.
Semester ini aku langsung dibebani jam mengajar yang cukup banyak. Rata-rata mahasiswa yang kuajar adalah mahasiswa baru dan mahasiswa semester tiga. Aku harap, kelas yang tersisa bisa menyambutku dengan baik seperti kelas yang pertama kumasuki tadi.
Setelah selesai mengajar, aku langsung menuju ruang dosen yang berada di sudut utara lantai satu. Ruangan itu cukup luas, tetapi meja di sana sudah penuh. Tadi aku diarahkan untuk duduk di salah satu meja milik dosen yang kebetulan sedang berhalangan hadir.
“Bu Anna ...” seseorang memanggilku. Ketika aku menoleh, senyumku seketika merekah.
Dia Bu Santi. Salah satu dosen senior yang membantuku mengurus beberapa berkas ketika aku sudah dinyatakan diterima. Dia satu-satunya dosen yang sudah kukenal, bahkan sebelum hari pertama aku masuk kerja.
“Iya, Bu Santi. Ada apa?”
“Sudah ketemu Pak Fadli dan Pak Al?”
Darahku berdesir mendengar nama terakhir yang Bu Santi sebut. “Kalau Pak Fadli sudah, Bu. Pak Al yang belum. Memangnya siapa Pak Al?”
Pak Fadli itu ketua jurusan. Tadi aku sudah bertemu beliau sebelum masuk kelas. Aku baru bertemu sebentar dan akan lanjut besok karena hari ini beliau ada acara di luar. Tadi saja beliau terlihat sedang buru-buru.
“Sekjur kita, Bu.”
“Lho? Bukannya itu Bu Fatma, Bu?” aku ingat betul dua nama itu, maksudku Pak Fadli dan Bu Fatma, karena mereka akan menjadi atasanku langsung. Aku diberitahu ketika interview bersama kandidat lain.
“Kalau bicara dulu, iya, Bu. Tapi masa jabatan beliau sudah habis. Mulai semester ini sudah ganti dengan yang baru. Sekarang ganti Pak Al.”
Dadaku kembali berdesir. “Pak Al mejanya di mana?”
“Di lab. Sebenarnya tadinya dia sana.” Bu Santi menunjuk meja yang ada di sudut kiri. “Tapi dia ditunjuk sama fakultas buat ikut ngurus lab. Jadi otomatis pindah.”
“Ah ... baik, Bu.”
“Kalau Bu Anna lagi kosong, lebih baik temui Pak Al sekarang saja. Dia kayaknya lagi enggak ada jadwal ngajar sampai siang nanti.”
Aku segera mengangguk. “Siap, Bu, siap.”
“Sama bawa berkas yang kemarin itu, ya, Bu. Itu kan harus ada tanda tangan kajur, tapi harus disetujui dulu sama sekjur. Karena sekjur-nya ganti, nanti minta Pak Al buat bikin yang baru.”
“Baik, Bu. Kalau boleh tahu, ruangan Pak Al di lantai berapa, ya?”
“Lantai dua. Ruangannya pintu kedua dari pojok. Ikut yang lorong sebelah kanan.”
“Siap, siap. Kalau begitu saya ke sana sekarang saja, Bu.”
“Oke. Silakan.”
Aku segera mengambil tas dan amplop berisi berkas yang tadi Bu Santi maksud. Ada beberapa lembar dengan isi yang berbeda. Ada yang bertandatangan Rektor, Dekan, sampai Ketua Jurusan. Masing-masing itu berbeda. Aku ikut saja karena aku belum tahu pasti nanti bagaimana. Yang jelas, aku mengikuti arahan dari Bu Santi. Aku benar-benar berterimakasih padanya karena dia mau membantuku tanpa pamrih.
Selama berjalan menuju lab yang lokasinya ada di samping kiri fakultas, jantungku terus saja berdetak sangat cepat. Aku terus ingat dengan nama sekjur yang baru.
Kenapa namanya harus Pak Al? Yang pasti, Al itu bukan Aldika, kan?
Aku mendaftar di universitas yang berbeda dengan universitas tempat Mas Al mengajar dulu. Aku harap dia masih mengajar di sana. Pak Al yang ini bisa jadi Pak Alfa, atau Pak Alfi, Pak Alvaro, Pak Ali, Pak Al ... Albirru? Ah, yang jelas harusnya bukan Pak Aldika. Pasti bukan!
Sebenarnya, sejak aku memutuskan hubungan secara sepihak, sejak itu pula aku menutup akses komunikasi dangan Mas Al. Aku ganti nomor, aku deactive intagram lama dan buat baru, juga aku menghapus semua aplikasi yang bisa menghubungkan kami berdua. Aku selalu menghindar ketika dia datang ke rumah. Ayah dan Mama kuberitahu, jadi mereka bisa diajak kerja sama.
Awalnya kedua orang tuaku kecewa berat saat tahu aku memutuskan hubungan dengan Mas Al karena mereka sudah kenal baik dengannya. Akan tetapi, setelah kuberi tahu alasanku, akhirnya mereka bisa maklum.
Bicara Mas Al, meski malam itu aku sudah membuang cincinnya, ternyata dia tidak langsung menyerah. Setidaknya dua bulan pertama setelah kami putus, dia masih berusaha mencariku dan ingin memperbaiki hubungan kami. Namun, yang kulakukan saat itu aku sangatlah jahat. Aku benar-benar tidak pernah menampakkan batang hidung di depannya lagi. Aku selalu bersembunyi darinya.
Sepertinya, bulan ketiga Mas Al baru benar-benar menyerah. Dan ya, sejak saat itu kami lost contact yang sesungguhnya. Aku tidak tahu sama sekali dengan kabar Mas Al, dan sepertinya dia pun begitu.
Mas Al juga tidak pernah datang lagi ke rumah. Padahal, tadinya dia sering datang karena selain aku adalah kekasihnya, dia juga bersahabat dengan almarhumah kakak tiriku sejak lama. Hubungannya dengan kedua orang tuaku tentu sangat baik, terlebih Mama. Beliau bahkan sering membuat masakan khusus untuk Mas Al.
Ya sudahlah. Itu adalah masa lalu. Masa-masa yang sebenarnya harus kulupakan, tetapi nyatanya masih terpatri kuat di ingatanku.
“Oh, itu ruangannya.”
Setelah tiba di depan pintu, aku menarik napas panjang berulang kali. Begitu merasa lebih tenang, aku segera mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk.” Terdengar suara berat dari dalam.
Aku segera membuka pintu, lalu tampaklah seorang laki-laki yang sedang berdiri memunggungi. Dia sedang menata buku di rak gantung bahan kayu yang nempel di dinding.
“Maaf sebelumnya, apa betul ini ruangan Pak Al?” tanyaku berhati-hati.
Ketika laki-laki itu balik badan, detik itu pula amplop yang berisi berkas di tanganku jatuh ke lantai. Tidak hanya itu, aku reflek mundur sampai punggungku menabrak pintu yang masih setengah terbuka.
Laki-laki itu maju mendekat. Sebelah tangannya terulur menutup pintu di belakangku, lalu tersenyum miring.
“Selamat pagi menjelang siang, Bu Alanna Paramita Zadie. Ada yang bisa saya bantu?” bisiknya pelan yang membuatku merinding dan ingin menghilang detik itu juga.
Ya, Pak Al adalah Mas Al. Mereka adalah orang yang sama.
Kini dia sedang berdiri di depanku lengkap dengan tatapan tajamnya.
***