7. Toko Buku

2215 Words
“Ma, aku keluar dulu, ya!” aku pamit setengah teriak karena Mama sedang menjemur pakaian di halaman belakang. Padahal ini sudah pukul setengah tujuh petang, tetapi Mama malah mencuci baju banyak sekali. “Mau ke mana, An?” “Pergi bentar, Ma.” “Sama?” Mas Fathan. Aku hanya berani menjawab jujur dalam hati. Ya, malam ini Mas Fathan tiba-tiba mengajakku keluar. Sebetulnya dia ingin menjemputku di depan rumah, tetapi aku menolak. Alasannya tentu aku tidak ingin Ayah dan Mama berpikir terlalu jauh. Di umurku yang sekarang, kalau berteman dengan lawan jenis selalu saja dikaitkan dengan sebuah hubungan romantis. Terlebih, akhir-akhir ini baik Ayah ataupun Mama kompak menyinggung tentang pernikahan. Menurut standar mereka, aku sudah cocok menikah dan memiliki anak. “Sama temen, Ma.” Aku menjawab netral. Tidak bohong, tidak pula terlalu jujur. “Cowok atau cewek?” “Cowok.” Aku meringis. Mendengar kata cowok, seketika Mama berlari menghampirku, meninggalkan ember hitam yang terlihat masih penuh dengan baju basah. Lihatlah, aku bahkan belum menjelaskan apa pun, tetapi Mama sudah terlihat seantusias itu. Agaknya Mama memang sangat ingin aku menjalin hubungan lagi. Bagaimanapun, setelah putus dengan Mas Al aku single sampai sekarang. “Berdua atau beramai-ramai, An?” “Ini kakak tingkatku dulu, Ma.” “Enggak nyambung jawabanmu itu.” “Ya soalnya aku tahu arah pertanyaan Mama selanjutnya.” Mama tersenyum. “Ya siapa tahu ada peningkatan.” “Doanya aja, Ma.” “Lho, iya?” mata Mama tampak berbinar. “Iya apa, Ma?” “Dia menyukaimu?” Kan! Apa aku bilang? Selalu saja begitu. Sekecil apa pun, kalau sudah berkaitan dengan lawan jenis, pastilah Mama menghubungkan itu dengan sesuatu yang ‘lebih’. Sebenarnya bagus saja Mama seperti ini karena tandanya beliau perhatian padaku. Akan tetapi, kadang-kadang itu membuatku tertekan. Mama dulu tidak secerewet ini. Atau lebih tepatnya, beliau belum berani karena dulu kami tidak sedekat sekarang. Mungkin juga, Mama tidak enak kalau terlalu mencampuri urusanku karena hubungan kami bukan kandung. Namun, akhir-akhir ini— lebih tepatnya setelah aku lulus magister, beliau mulai merecokiku tentang jodoh. Ya, selayaknya ibu pada umumnya. Meski begitu, sekalipun kadang merasa terganggu, kalau harus memilih aku tetap lebih suka beliau yang sekarang. Mama memang tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Ibu di hatiku, tetapi beliau sangat mampu membuatku merasakan kembali bagaimana kasih sayang seoarang ‘Ibu’. Aku benar-benar bersyukur memiliki Ibu sambung seberti beliau. “Ya enggak tahu, Ma. Ini aku cuma diajak ketemu aja. Kebetulan dia itu pinter dan link-nya luas. Itung-itung nambah koneksi. Kan lumayan.” “Ah, kamu ini, An! Seputar itu terus yang dibahas. Kapan mau kasih Ayah sama Mamamu ini cucu?” Aku mencebik pelan. “Mama ini mulai lagi, deh. Cucu mulu, cucu mulu. Udah, ya, Ma. Aku mau keluar sekarang.” “Dia enggak jemput sampai depan rumah memangnya? Enggak gentle!” “Ya orang cuma teman, Ma. Aku juga enggak mau kalau dia jemput sampai depan rumah. Udah, ah. Pokoknya aku berangkat sekarang. Ayah mana, Ma?” “Lagi mandi kayaknya.” “Oh, ya udah. Kalau gitu nanti sampein aja aku lagi keluar bentar.” “Ya. Hati-hati. Jangan pulang kemalaman, tapi.” “Siap!” Setelah mencium punggung tangan Mama, aku segera keluar. Malam ini aku akan naik motor karena sudah pasti jalanan macet efek malam minggu. Belum lagi, Mas Fathan juga mengajakku bertemu di sebuah restoran yang lokasinya berada di daerah ramai. Kalau nekat naik mobil, bisa-bisa waktuku habis di jalan. Bicara Mas Fathan, dia sudah menghubungiku sejak sehari setelah selesai workshop. Dia juga sudah mengajakku bertemu sejak minggu lalu, tetapi aku menolak karena sedang banyak pekerjaan. Kali ini aku tidak bisa menolak lagi karena selain tidak enak, kebetulan juga pekerjaanku sedang longgar. Sebelum benar-benar berangkat, aku merasakan ponselku bergetar beberapa kali. Sesuai dugaan, itu memang pesan dari Mas fathan. Mas Fathan Aku udah sampai, An. Mejanya nomor sebelas, ya. Aku pakai baju abu-abu. Aku segera membalas, ‘Iya, Mas. Ini aku mau otw.”. Balasanku langsung dibaca dan satu pesan kembali masuk. Mas Fathan Oke. Hati-hati. *** “Feel free aja, An, kalau lain kali mau tanya-tanya. Kalau sesekali balas lama, itu artinya aku lagi sok sibuk.” Mas Fathan tertawa pelan di ujung kalimat, menunjukkan gigi putihnya yang berderet sangat rapi. “Masa iya, sok sibuk? Sibuk betulan, pastinya.” “Dikit. Soalnya aku lagi ngerencanain buat lanjut S3.” “Wah! Kerennya.” Seperti yang bisa diharapkan dari seorang Fathan Ardhani Jayendra. Dia tidak mungkin tidak lanjut S3. Mas Fathan ini orangnya cukup ambisius, tipe orang yang selalu terlihat haus tentang ilmu dan pengalaman baru. “Doanya ya, An. Semoga lancar.” “Pastinya, Mas. Semoga lain kali aku bisa nyusul.” “Aamiin.” Makanan di depan kami sudah tandas. Tak terasa, satu jam terlewat begitu saja. Dasarnya Mas Fathan ini orangnya mudah mencairkan suasana, jadi sekalipun kami sudah lama tidak bertemu, rasanya tidak terlalu canggung. “Habis ini ada acara, An?” “Enggak, Mas.” Aku menggeleng. “Tapi tadi udah bilang sama orang tua kalau enggak mau pulang malam-malam.” Mas Fathan melirik arlojinya. “Masih jam delapan. Kalau di Jogja kota masih pagi ini namanya.” Aku tertawa pelan. Memang betul. Jangankan pukul delapan, pukul sebelas malam pun masih ramai. Baru sepi mungkin setelah lewat tengah malam. Meski begitu, Ayah tetap membatasi jam malamku. Kalau tidak kepepet, jam malamku maksimal pukul sepuluh. Itu pun tetap dilihat ada keperluan apa aku berada di luar. Ayah termasuk orang tua yang keras dalam mengatur jam malam untuk anak. Kalau aku melanggar, sanksinya cukup tegas. Pernah sekali aku lupa waktu, ponselku disita tiga hari. Uang sakuku pun dipangkas selama sebulan penuh. Salah satu alasan kenapa beliau sangat keras padaku tentang pergaulan—termasuk itu pembatasan jam malam— adalah karena aku anak perempuan beliau satu-satunya. Maaf, Kak Vita tidak kusertakan lagi karena dia sudah tidak ada. Beliau tidak ingin ada suatu hal buruk menimpaku. Tentu saja, bayangan Ayah larinya ke arah maraknya pelecehan terhadap perempuan. Parahnya lagi sampai pada p*********n. “Maksimal aku pulang jam sepuluh, Mas. Itu pun biasanya aku udah ditelepon berkali-kali.” “Kalau habis ini aku ajak ke Gramedia Sudirman, mau? Kebetulan aku mau cari buku. Maksimal jam sembilan lebih dikit kita udah pulang.” “Mau, mas, mau!” Aku mendadak antusias. “Aku udah lama mau ke gramed tapi masih lupa terus. Sebenernya ada beberapa buku yang mau aku beli juga, tapi karena belum kepepet, enggak jadi-jadi.” “Tentang apa?” “Ada tentang materi kuliah, ada pula buku fiksi.” Aku nyengir. “Suka baca n****+?” “Suka. Buat selingan kalau butuh hiburan. Kalau enggak baca ya nonton.” “Oke, oke. Ayo kita keluar sekarang.” Makan malam kali ini tentu Mas Fathan yang bayar. Dia tidak mau ketika kutawari split bill. Ya sudah, aku tidak mau memperpanjang urusan hanya karena perkara bayar makan. Aku juga bisa paham kalau laki-laki itu egonya tinggi. Kecuali dia pelit, itu lain cerita. Jarak restoran tempat kami bertemu dengan gramedia yang akan kami tuju kebetulan tidak terlalu jauh. Di luar dugaan, karena aku tidak mau dijemput, Mas Fathan juga naik motor. Alhasil, hanya dalam waktu singkat kami sudah tiba di gramedia. “Wah, silau banget lihat buku-bukunya.” Aku tidak tahan kalau tidak berkomentar. Sudah lama sejak terakhir kali aku masuk toko buku, jadi saat ini ada perasaan menggebu-gebu. “Lebih silau mana sama toko perhiasan?” “Jelas inilah, Mas. Aku enggak begitu suka sama perhiasan. Kalaupun pakai, itu ya sekedarnya aja.” “Biasanya cewek suka, An.” “Iya, sih, tapi banyak juga yang enggak. Aku sih tim yang biasa-biasa aja. Dibeliin enggak nolak, tapi enggak sampai yang rela keluarin uang demi beli barang semacam itu.” Mas Fathan berhenti, dan mau tak mau aku pun berhenti. “Kenapa, Mas?” “Sepertinya kamu enggak suka pakai cincin, ya?” Mendengar pertanyaan itu, aku segera sadar akan sesuatu. Aku refleks balik badan, lalu memasukkan kalung yang sempat keluar dari kerah baju. “Takut jatuh, Mas.” Aku mencoba berdalih. “Cincin secantik itu sayang kalau diumpetin.” “Ah, ini bukan apa-apa— eh, itu buku yang aku cari, Mas!” aku segera berlari menuju salah satu rak untuk mengalihkan pembicaraan. Mas Fathan mengikutiku, lalu dia mulai ikut mencari buku. Aku menghela napas lega karena Mas Fathan tidak membahas lagi tentang cincin di kalungku. Kami jalan beriringan sambil sesekali ngobrol membicarakan tentang buku yang bagus atau buku yang sedang viral. Aku yang agak kalap, mengambil banyak buku dari rak dan memasukkannya ke dalam tas belanja yang disediakan. Setidaknya setengah jam kami keliling dari rak satu menuju rak lainnya. Buku yang kami beli benar-benar banyak karena tas belanjanya terasa berat. “Totalnya satu juta dua ratus lima puluh empat ribu, ya, Mbak.” “Iya, Mbak. Ini—“ “Pakai ini aja, Mbak.” Mas Fathan tiba-tiba mengulurkan kartu ATM-nya. “Eh, jangan, Mas, jangan. Biar aku aja.” “Enggak papa, An. Kan ada bukuku juga.” “Tapi banyakan punyaku. Jangan, deh—“ “Ssst! Sekali-kali.” Karena tidak enak dengan pengunjung yang antri di belakang kami, akhirnya aku pasrah. “Makasih banyak, Mas.” “Iyaaa. Santai aja. Jangan merasa terbebani gitu.” “Ya udah. Pokoknya makasih banget lho, ini.” “Sama-sama.” Baru saja aku dan Mas Fathan pergi dari area kasir, kami sudah dibuat berhenti ketika melihat Mas Al sedang berdiri bersama Kiran di samping sebuah rak yang ukurannya paling panjang. Begitu menoleh, Mas Al langsung menyadari keberadaan kami. “Eh, An. Itu temanmu yang waktu itu, kan, ya?” Mas Fathan ternyata masih ingat. Aduh! Bagaimana, ini? “Malam, Pak Al.” Mau tak mau aku menyapa lebih dulu. Sudah kepalang tanggung kami saling menyadari keberadaan satu sama lain. “Iya, malam.” Itu jawaban yang ramah, tetapi kenapa membuatku takut? “Belanja buku juga, Pak?” tanyaku retorik. Jelas sekali dia belanja buku. Masa iya ke gramedia belanja ikan asin? “Cuma nganter.” Aku mengangguk. “Oh ...” “Bu Anna beli bukunya banyak, ya?” ujar kiran sembari tersenyum. Ternyata dia masih ingat padaku. “Iya, ini. Tapi sama punya teman saya juga.” Aku mengatakan itu sembari melirik Mas Fathan. “Tak kira suaminya, lho.” Kiran kembali tersenyum. “Cocok sekali kalian.” “Doanya saja, Mbak,” jawab Mas Fathan yang membuatku melongo. “Mas? Maksudnya?” “Bercanda, An. Bercanda.” Mas Fathan tertawa pelan. Aku berusaha biasa saja ketika menyadari sebelah tangan Kiran mengapit lengan Mas Al erat. Apitannya terlihat enggan terlepas. Sampai seperti itu, hubungan mereka pasti sudah serius. “Betul kata Kiran. Kalian memang cocok.” Mas Al kembali bersuara. Padahal itu pujian, tetapi aku yang dengar justru merasa sakit. Kenapa aku bilang itu pujian? Mas Fathan itu tinggi dan tampan. Kalau aku dikata cocok dengannya, itu artinya aku cukup cantik bersanding dengannya. Namun, karena kalimat itu keluar dari mulur Mas Al, rasanya justru menyesakkan. Kalaupun di matanya aku dan Mas Fathan memang cocok, perlukah dia ikut berkomentar? “Begitu, Pak? Makasih, ya,” balasku akhirnya. Sudah pasti, nadaku setengah bercanda. Aku tidak enak dengan Mas Fathan. “Nanti nyusul setelah kami, Bu. Atau mau duluan juga boleh.” Rasa nyeri di d**a semakin tak terelakkan. Ingin rasanya aku berlari pergi, tetapi itu tidak mungkin. Jelas sangat memalukan! “Pak Al sama Mbak Kiran kapan memangnya?” tanyaku. Aku bingung harus memanggil Kiran apa, jadi sebutan ‘Mbak’ sepertinya pilihan yang paling aman. “Kapan, Mas?” kini Kiran mendongak menatap Mas Al. “Mas kan ikut kamu.” Tatapan lembut Mas Al untuk Kiran membuatku mencelos. “Yang jelas segera, Bu.” Mas Al menatapku sambil tersenyum. “Siap, siap. Semoga lancar, ya, Pak. Kalau gitu kami pamit dulu. Kami sudah selesai belanja soalnya.” “Iya, silakan.” Mas Al dan Kiran membalas kompak. Kali ini kuberanikan meraih tangan Mas Fathan dan segera menariknya pergi. Aku melepasnya lagi begitu sudah turun dan menginjakkan kaki di lantai yang berbeda dengan Mas Al. “Anna—“ “Mas, aku ke kamar mandi dulu bentar. Tolong tunggu di kursi itu, ya.” Aku baru bejalan beberapa langkah ketika Mas Fathan menahanku. Di saat yang sama, air mataku sudah menggenang di pelupuk. Gagal sudah aku menyembunyikan air mata ini dari Mas Fathan. “Kamu menyukai Al, kan, An?” tanya Mas Fathan dengan suara pelan, tetapi ditekan. “Bahkan dalam sekali lihat, aku sudah sadar itu.” “Perasaanku enggak penting lagi, Mas. Dia sudah sama perempuan lain.” Mas Fathan terlihat menatap ke lantai atas, lantai tempat kami bertemu Mas Al dan Kiran. Meski samar, aku lihat rahangnya agak mengeras. “Mas, aku tetap mau ke kamar mandi. Tolong lepasin tanganku.” “Sebentar.” “Ada apa?” “Aku enggak tahu apa hubunganmu dengan Al di masa lalu karena aku menangkap ada sesuatu yang ganjil di antara kalian berdua. Gerak-gerik kalian itu enggak biasa. Tapi ada satu hal yang perlu kamu tahu. Al bukan satu-satunya laki-laki di dunia ini.” “Iya, aku tahu itu.” Aku menjawab lirih, masih mati-matian menahan air mataku untuk tidak menetes. Mas Fathan tiba-tiba meraih kedua pudakku. “Kalau kamu ingin menangis, jangan ke kamar mandi. Ada bahuku. Kamu boleh menangis di sini sepuasnya.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD