Bab 9 F - Tragedi Bangun Telat

1126 Words
Muhammad Faiz Al Ghifari. Faiz melihat di sepannya ada kedua orang tuanya yang tengah tersenyum kepadanya, sudah sangat lama rasanya dia tidak melihat kedua orang tuanya rukun kembali dan tersenyum bersama. Selama ini, setiap ada apapun di rumah, keuda orang tuanya akan bercekcok mulut hingga akhirnya memutuskan untuk bgercerai tanpa memperhatikan hati anak mereka yang juga sanat terluka dalam hal ini. “Nak, sini sama mama, liat papamu!” seru ibunya Faiz, beliau melambaikan tangan kepada Faiz agar Faiz mau mendekat. TAk mau menyia-yiakan kesempatan, akhirnya Faiz pun langsung berjalan menuju ke ibunya, di sana ibunya sedang terkekeh melihat tingkah ayah Faiz yang sangat konyol. Faiz tak juga melepaskan tatapannya ke arah ibunya. Di sana Faiz kecil hanya bisa tersenyum kepada ibunya hingga akhirnya ibunya balik menatanya dean mengusap kepalanya dengan sayang dan lembut. “Ada apa, Nak?” tanya ibunya lembut. BYURR Faiz terperanjat merasakan guyuran air di wajahnya, dia sungguh tidak menyangka kalau ternyata kebahagiaan yang dia peroleh tadi hanyalah sebuah mimpI. mimpi yang sangat ingin dia jadikan kenyataan meski sangat sulit terwujud, bagaimana dia bisa mewujudkannya? Satu-satnya cara agar dia bisa mewujudkan cita-citanya untuk menyatukan kedua orang tuanya adalah denga berada di pondok pesantren ini. Dia tidak boleh sampai keluar dan membiarkan kedua orang tuaya kembali tidak salingmengenal satu sama lain. Mengingat bagaimana interaksi anatar ibu dan ayahnya di ruah, Faiz seloalu menjadi sedihg. Faiz bangkit dnegan mata memerah karena dia maih ngantuk dan juuga marah kepada orang yang menyiramnya, “Mony! Ngalain lo niyram gue?!” seru Faiz yang tidak terima dnegan apa yang dilakukan kepada dirinya. Faiz tentulah bukan anak cengeng, dia sangat pemberani, dan dia juga tidak takut pada Akbar yang menurut Minan adalah salah satu pengurus pondok di situ yang dikenal dnegan kedisiplinannya. “Saya hanya mengikuti prosedur saja.” kata Akbar, “Di sini, aturannya adalah kalau kamu tidak mau dibangunkan sampai 3x maka siap-siap, inilah yang kamu dapat.” katya Akbar. “Anj! Lo nggak bisa nyiram gue kayak gini.” kata Faiz yang tidak terima. Kemudian, Faiz pun langsung hendak merebut ember itu, namun Akbar dengan cepat menyingkirkannya dan langsung menangkis tangan Faiz, “Ikuti aturan, maka tidak akan ada yang seperti ini.” kata Akbar dengan dingin. Faiz hendak menyerang namun Minan langsung menahannya, “Sabar, Is, sabar.” kata Minan. Seakan tidak peduli, Akbar pun pergi meninggalkan Faiz yang tengah mengepalkan tangan di tempatnya. Faiz langsung menoleh ka rah Minan. “Dia udah keterlaluan!” seru Faiz kesal setengah mati karena dia diguyur pagi-pagi. Namun, yang jauh membuat dia kesal adalah Akbar memotong mimpinya, padahal di sana dia sedang bahagia menaikmatyi kebersaannya dengan kedua orang tuanya, begitulah kira-kira yang dirasakan oleh Faiz. “Di sini peraturannya memang seperti itu, Is. Kalau nggak disiram dipukul pakai rotan.” kata Minan. “Ini nggak bisa dibiarin, kita harus lapor polisi!” seru Faiz dengan kesal. Minan menggelengkan kepalanya, “Mereka cuma mau mendisiplinkan kita, lagian, di awal penyerahan kan orag tua kita udah pasrah sama pohak pondok, udah mengiszinkan pihak pondok buat melakukan hukuman apapun yang membuat kita jera tapi tidak sampai merenggut nyawa. Dan kita udah tanda tangan. Itu namanya kesepakatan dan bukan sesuatu yang harusnya dilaporin ke polisi.” kata Minan. “Anj! Argh! Tunggu aja pembalasan gue.” kata Faiz. “Sudah, Iz. Mending antum mandi, keburu telat salat subuh nanti malah kenapa hukuman lagi.” kata Minan yang kini hanya bisa menpuk-nepuk pundak Faiz, mencoba menenangkan Faiz. Faiz pun mau tak mau langsung mengambil gayung yang berisi sabun mandi, sikat gigi dan pasti gigi, dan juga sabun cuci muka, dia juga tidak lupa membawa handuk. Sesampainya di lantai bawah dia mengeluh pada dirinya sendiri melihat pemandangan yang tersaji di epannya, dia melihat banyak teman-temanya yang sedang mandi, hanya disekat beberapa bilik, sangat tidak nyaman. Faiz pun mengantre, antrean cukup panjang hingga dia memang harus memberkan waktu lebih banyak di sana. Kemudian, setelah mandi, Faiz pun kembali ke kamar dan berpakaian. Diantara teman-temannya, memang Faiz lah yang bertubuh putih dan berbadan bagus, dia memang sangat rajin berolah raga selama di Jakarta. Setelahnya, Minan meminta kepad aFaiz untuk mempercepat gerakannya karena adzan sudah berkumandang, dan pengurus sudah mulai berjalan mendekati pondok, Minan tipikikal santri yang sangat mematuhi peraturan pondok jadi dia tidak pernah terjaring masalah oleh pengurus pondok. “Iz , cepat! Pengurus datang ke sini! Dihukum nanti kita!” seru Minan yang mencoba memperingati Faiz. Faiz sebetulnya sudah selesai berpakaian, dia hanya sedang mengaca saja, dia ingin penampilannya sempurna agar Ning Anin bisa melihatnya, dia ingin membuat wanita itu terkesan. Membayangkan wajah Ning Anin, membuat Faiz merasa bahagia, apalagi saat Ning Anin terlihat panik seperti kemarin, rasnaya dia ingin terus melihatnya. Lama-lama Faiz terkekeh sendiri. BRAK BRAK BRAK BRAK BRAK! Suara aduan rotan dengan kaca sudah mulai terdengar. Minan yang masih belum melihat garak-gerik Faiz yang sudah selesai langsung masuk ke dalam dan langsung menarik Faiz. “Ayo, Iz. Nggak ada waktu lagi.” kata Minan. Faiz langsung melepaskan tangan Minan, “Jangan pedang-pedgang gue! Gue masih normal!” seru Faiz. Minan sebetulnya ingin protes karena bukan hanya Faiz yang normal di sana, namun dirinya juga, namun Minan tidak mau memperpanjang masalah karena yang dia pentingkan hari ini adalah mereka bedua sudah harus sampai di Masjid secepatnya. “Lari, Iz!” seru Minan yang langsung lari duluan. Faiz yang tidak terlalu takut dengan hukuman hanya bisa berjalan saja. “Santri baru! Antum nggak dengar sudah azan?! Cepat lari!” seru salah satu pengurus dnegan wajah yang sangat menyeramkan. Mendengar terikan itu, Faiz langsung berhenti dan menatap pengurus itu, “Apa? Lo sendiri ngapain di sini? Bukannya salat malah …” kata Faiz. Minan yang sejak awal melihat Faiz yang terlihat ingin mengajak berkelahi pengurus langsung datang dan membekap mulut temannya itu agar tidak terkena masalah, “Afwan, Mas.” kata Minan. Minan menarik Faiz untuk langsung keluar dari pondok. “Iz, jangan aneh -aneh, Antum! Antum masih anak baru nanti dicecer terus sama pengurus.” kata Miann yang mencoba menasehati Faiz. Faiz hanya diam saja, malas sekali, dia sudah sangat kesal dnegan apa yang terjadi. Lalu mereka pun sampai di Masjid dan langsung melaksanakan salat subuh berjamaah. Tak teritung lagi Faiz menguap karena dia memang belum terbiasa bangun pagi dan melakukan aktivitas atau beribadah. Selama di jakarta, dia bahkan tidak pernah salat subuh dan selalu bangun jam 7, bahkan, sekolah saja dia selalu telat. “Itu ada Ning Anin!” kata Minan kepada Faiz. Minan sangat tahu kalau dari pertama kali datang ke pondok, Faiz memang suka dengan Ning Anin. “Mana?” tanya Faiz. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Minan menujuk Ning Anin dengan cepat, “Itu.” kata Minan. Senyuman Faiz pun mengembang begitu saja. Tanpa pikir pandang, dia pun mendekat ke arah Ning Anin. “Hai!” sapa Faiz.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD