Bab 7 F - n****+

1242 Words
Muhammad Faiz Al Ghifari Faiz merasa bingung harus berbuat apa di pondok pesantren, meski di hari pertamanya dia langsung mengikuti kegiatan pesantren namun, ntah mengapa dia masih teringat akan Ning Anin, Anak pemilik pondok pesantren yang membuat dia akhirnya mau berada di pesantren tersebut. “Dia lagi ngapain ya?” tanya Faiz kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian dia lebih memilih untuk berjalan menuju ke rumah kyainya, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Ning Anin. Dia berjalan mengendap-endap, menoleh ke kanan dan ke kiri karena dia tidak mau sampai ketahuan. Semesta seperti tengah berada di pihaknya, karena pada akhirnya dia bisa melihat Ning Anin yang tengah berada di belakang rumahnya, seratus meter dari belakang rumahnya sedang membaca sesuatu. Faiz yang melihatnya pun merasa kalau ini adalah kesempatan yang pas untuk dirinya dapat mendepati Ning Anin. Sehingga, dia pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Faiz mendekat, dia mendekati wajah Ning Anin yang mulai tersenyum pada buku yang tengah dia baca. Kemudian, Faiz pun mengintip sebentar, dia ingin tahu apa yang tengah dibaca oleh Ning Anin hingga Ning Anin bisa tersenyum-senyum seperti itu. Faiz pun melihat sekilas dan langsung mengetahui kalau ternyata Ning Anin sedang membaca n****+. “Hai!” sapa Faiz. Ning Anin yng mendengar sapaan seseorang langsung terkejut dan langsung mendongak. Dan seketika, dia terkejut melihat kehadiran dari Faiz, karena dia terkejut, akhirnya dia pun langsung menyembunyikan n****+ yang dia bawa ke belakang tubuhnya. Faiz yang bisa membaca pegerakan Ning Anin pun langsung bertanya-tanya kenapa Ning Anin terlihat panik. “Lagi baca n****+?” tanya Faiz. Ning Anin menelan ludahnya, di satu sisi dia ingin kabur nmun di sisi lain dia mera atakut kalau sampai laki-laki ini mengadukan apa yang terjadi pada ayahnya. “T-tidak. I-ini bukan novel.” kata Ning Anin. “Pokoknya bukan n****+. Jangan katakan pada ayahku.” kata Ning Anin yang terlihat panik. Faiz bukanlah anak yang bodoh, dia tahu kalau darigalagat Ning Anin yang ketakutan, tenryata di sana tidakl boleh membaa n****+, nbamun dia akan memastikannya kepada temannya annti di pondoknya. “Ya, gue bakalan bilanglah sama bokap lo.” kata Faiz. Ning Anin terlihat paik di tempatnya, sedangkan Faiz dengan santai mengamati wajah panik itu. “Kamu ntidak boleh mengatakannya paa Abah.” kata Ning Anin. Faiz langsung tertawa begitu saja, “Gue minta sesuatu kalau gitu.” kata Faiz. Thalia menunduk, dia memang tidak berani menatapo Faiz secara terang-terangan, baginya, dia masih menjaga malunya. Dia juga tidak mau bersitatap dengan laki-laki yang bukan mahramnya. “Kamu licik sekali.” ucap Ning Anin. “Ya terserah sih, gue kan cuma kasih opsi, kalaulo mau syukur kalau nggak mau yaudah nggakpapa, gue juga gak ada maalah.” kata Faiz. Ning Aninpun dengan kesal mejawab, “Apa mau kamu?” tanya Ning Anin. Faiz yang mendengar itu langsung tersenyum lebar, bagaimana tidak, sekainya dia bertemu dengan Ning Anin, dirinya langsung menjdapatkan semacam jackpot. “Gue mau kita kenalan yang bener,” kata Faiz. “Aku sudah tahu nama kamu, namamu Faiz.” kata Ning Anin. Faiz langsung terkekeh, “Bukan begitu cara kenalan.” kata Faiz. Faiz mendekat ke arah Anin, namun, Anin langsung bangkit dan langsung berlari kencang menuju ke rumahnya. Faiz yang melihat hal tu hanya bisa terkekeh begitu saja, dia merasa kalau Ning Anin adalah gadis yang sangat lucu dan sangat mernarik perhatiannya.. Semua tingkah Ning Anin, baginya adalah sesuatu yang sangat lucu dan sangat menggemaskan. “Duh, kok dia cantik banget yak?” kata Faiz yang langsung menggelengkan kepalanya begitu saja, kemudian, dia memilih kembali ke pondok karena dia tidak mungkin menghampiri Ning Anin di rumahnya, itu sama saja bunuh diri, akan gagal smeua rencanaya kalau dia sampai mengejar Ning Anin sampai di rumahnya. Faiz memilih untukj untuk bangkit, namun, tidak disangka, dia menemukan n****+ yang tengah dibaca oleh Ning Anin sebelumnya, dia pun langsung memungutnya. Sepetrinya Ning Anin terlalu panik hingga tidak sengaja nobelnya itu jatuh, dan ketika dia sadar, dia tidak bisa kembali. Faiz memungut n****+ itu., itu adalah nobvel islami, kemudian, Faiz lebih memilih untuk membawanya karena ketika dia membawanya itu artinya peluang dirinya bertemu dnegan Ning Anin sangat besar, dia bisa mencari alasan-alasan untuk dapat menemuinya. “Faiz!” seru Minan. Dia adalah santi yang paling dekat dengan Faiz sejak kemarin, dia tipikal orang yang suka bergaul, terlebih menurut Minan, sangat jarang ada santri seperti Fai di pondok pesantrennya. “Ngapain lo manggil-manggil gue?” tanya Faiz. “Antum ke mana aja dah, ana cariin juga.” kata Minan. “Ya gue jalan-jalanlah, masa gue nggak boleh jalan-jalan.” kata Faiz. “Ya nggakpapa si, jalan-jalan itu wajar, asal gak ke rumah Kyai aja buat liatin Ning Anin.” kata Minan. “Maksud lo apa?” tanya Faiz. “Antum gak perlu pura-puralah, ana juga tau kalau antum suka sama Ning Anin kan? TApi itu wajar, semua santri putra di sini juga suka sama Ning Anin, jadi antum bukan satu-satunya yang suka sama Ning Anin.” kata Minan. “Oh, lo termasuk dong?” tanya Faiz. “Oh, bukan ana. Ana nggak suka sama Ning Anin, ana suka sama temannya.” kata Minan. Faiz pun terdiam, kini dia mengerti, tapi kalau dipikir-pikir rasanya memang sangat wajah kalau memang banyak yang menyukai Ning Anin mengingat Nin Anin adalah santri putri yang sangat cantik di sana. “Yaudah, gue bakalan bikin lo ketemu sama temennya, tapi lo bantuin gue.” kata Faiz. “Eh, nggak-enggak, ana nggak berani, Is. Yan ada di botakin ana kalau ketauan liatin santri putri.” kata Minan. “Dibotakin?” tanya Faiz yang bingung. “Iya, itu hukuman kalau kita melakukan kesalahan.” kata Minan. “Ribet banget peraturannya.” kata Faiz. Minan tidak berkomentar, meski dia tahu kalau peraturannya itu menyusahkan namun dia juga paham kalau itu semua demi kebaikannya dan santri-santri yang lain. “Antum bawa ap- astagfirullah, antum kenapa bawa-bawa itu?” tanya Minan yang langsung menatap horor ke arah n****+ yang dibawa oleh Faiz. Faiz semakin bingung, “Kenapa emang sama ini?” tanyanya. Minan langsung membawa Faiz pergi, “Ikut sama ana!” seru Minan. “Nggak usah tarik-tarik tangan gue, Anj!” seru Faiz. “Eh, maaf-maaf.” kata Minna. Kemudian, Minan membawa Faiz menuju ke belakang MAsjdi, tempat yang lebih sepi ketimbang di tempat manapun, dia tidak mau kalau smapai percakapanya dengan Faiz terciduk pengurus. “Kenapa sih?” tanya Faiz yang geram melihat tingkah dari Minan. Minan berdehem sebentar, “Begini, Is, antum nggak boleh bawa n****+ ke sini. Di sini udah jadi peratuiran kalau kita nggak boleh baca n****+. Diharamkan sama pondok.” kata Minan. “Emang ini n*****a pake diharamin segala?” tanya Faiz. “Ya bukan begitu, maksudnya tuh, di pondok ini nggak boleh baca n****+ karena bikin santri nggak mau hafalan, di waktu senggang bukannya hafalan malah baca n****+, itu yang nggak boleh. Udah buang aja buang dari pada kena masalah.” kata Minan. “Enak aja dibuang, ini itu senjata.” kata Faiz. “Senjata ap-? Eh, pengurus pengusu! Umpetin-umpetin!” seru Minan dengan panik. Dia langsung mengangkat baju Faiz dan langsung menyisipkan buku itu di perut dan sarung Faiz. Tak lama kemudian, pengurus yang bernama Akbar pun datang. “Ngapain kalian ada di sini?” tanya Akbar. “Kenapa nggak Ro’an sama yang lain?” tanya Akbar. Ro’an adalah aktivitas bersih-bersih pondok yang rutin dilakukan di pondok tersebut setiap hari Jumat. “I-ini kita lagi cari sapu, iya kan, Is?” tanya Minan yang berbohong. Faiz menatap Akbar dnegan malas. Sok jagoan sekali, batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD