Bab 3: Tidak Disangka

1012 Words
Davendra menghentikan langkahnya sejenak. Ia tatap dalam-dalam wajah wanita dihadapannya dengan pandangan yang tidak dapat diartikan. wajah lugu nan polos dihadapannya ternyata bisa berpikir lebih jauh dari perkiraannya. "Melakukan apa?" tanya Dave, menaikkan salah satu alis tebalnya ke atas Lavanya terpaku, tubuhnya menegang, lagi-lagi ia melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. "Hmm, nggak, nggak ada." Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat Davendra tersenyum seringai, jelas dia tahu apa yang dimaksud oleh istrinya "Mau melakukannya sekarang, hmm?" "Ya, kita harus belanja kebutuhan rumah, kan? dan kita harus melakukannya sekarang." Lavanya melenggang pergi, ia merasa malu oleh sikapnya sendiri. dan ia yakin pria dewasa seperti Davendra pasti mengerti arah pembicaraannya "Tunggu!" cegah Davendra Sontak saja Lavanya menghentikan langkahnya. "Ya?" Lavanya menoleh ke belakang, mendapati sang suami melangkah cepat menghampirinya. ia terhenyak dalam keadaan yang belum siap, tubuhnya yang mungil seketika langsung direngkuh dan diangkat ke dalam dekapan Davendra. pria itu menggendongnya ala bridalstyle dan hal tersebut sungguh membuatnya sangat terkejut "Yang, lepas! mau ngapain!" Anya memberontak "Bukannya kamu ingin kita melakukannya sekarang, hm? seperti pasangan pengantin baru lainnya." tukas Davendra, dengan tubuh tegap menahan beban ia melangkah menaiki anak tangga menuju kamar mereka "Aku nggak maksud begitu, kita harus belanja, itu kataku." bantah Anya "Ohya??" Lavanya mengangguk, tatapannya tak berpaling dari wajah dingin nan datar ini. sungguh, Lavanya begitu takut melihat Davendra dengan wajah yang seperti ini Tibalah mereka di depan kamar, Davendra meminta bantuan istrinya untuk membukakan pintu yang tertutup. Lavanya melakukannya, hingga pintu terbuka lebar membiarkan sang pemilik kamar masuk ke dalam singgasana yang berhasil membuat bulu kudu Lavanya meremang Bugh! Davendra melemparkan tubuh mungil istrinya ke atas ranjang dengan begitu agresif. ia meringkuk, menaiki tubuh Lavanya yang menegang. bagaimana tidak, Lavanya juga masih takut jika melakukan hal itu. bayang-bayang menonton film biru saat di kampus bersama sahabatnya dahulu, kembali terlintas dimemorinya. Davendra menatap lekat wajah istrinya, kemudian pandangannya turun ke bagian d**a yang kurang berisi, memerhatikannya dua gundukan yang berukuran kecil, kurang menonjol pada bagian kain yang menutupi tubuh mungil ini. mendapati harta karunnya sedang diperhatikan, Anya bergegas menutupnya dengan kedua tangan. Davendra menyeringai. "Kamu kira saya selera sama milikmu yang datar itu? tidak, Sayang." Davendra menggeleng dengan tatapan mengejek dan merendahkannya, Lavanya mendelik "Kau bukan apa-apanya bagiku, tubuhmu yang seperti ini cocoknya menjadi pelayan di istanaku ini, Lavanya!" gertak Davendra Lavanya terkesiap, dadanya berpacu naik turun seiring rasa sesak yang menjalar dihati dan jantungnya. perkataan itu begitu menusuk, bagaikan sebilah pisau yang menusuk dalam bagian hatinya. namun ini terlihat tidak berdarah, tapi meninggalkan bekas luka yang teramat parah. Davendra bangkit dari atas tubuh istrinya, dengan kasar ia menarik tangan Lavanya hingga gadis itu terhuyung dengan tubuh tak berdaya. hatinya yang sakit atas luka yang disirami oleh percikan kalimat hina, membuatnya tubuhnya lemah tak berdaya seolah ia sudah mati menelan kalimat yang menyakitkan. "Kau ingin belanja kebutuhan rumah, bukan? dengan senang hati, tapi berangkat sendiri!" Davendra mendorong tubuh Anya hingga membentur meja rias Lavanya tercenung sebentar, menelaah apa yang sedang terjadi saat ini. perkataannya, perlakuannya, benar-benar menyakitkan dan jauh dari ekspektasinya yang mengira Davendra adalah sosok yang lembut dan penyayang. ternyata tidak--ia terjebak dalam perlakuan manisnya selama ini. "Ada apa denganmu, Mas? apa salahku sampai kamu berbuat kasar padaku?" akhirnya Anya memberanikan diri untuk bersuara, menyeka air matanya yang telah tumpah membasahi kedua pipi. Davendra menyeringai. "Kau tidak perlu tau! jika ingin hidup, lakukan semua perintahku dan jangan membantah! kau nggak tau 'kan, aku sudah membunuh seseorang untuk melakukan hal ini padamu?" "Maksudmu??" Lavanya mengerutkan keningnya, perkataan ambigu itu membuatnya penasaran "Sudahlah! kau belanja sana dan jangan pernah bertanya jika kau masih ingin bernapas!" usirnya, melempar beberapa lembar uang berwarna merah kepada istrinya yang ia dzalimi sendiri "Satu lagi, jangan pernah kau mengadu pada orang tuaku atau pada siapapun!" Lavanya mendengarkannya tanpa menghiraukan, ia terpaksa memungut lembaran uang yang berserakan di lantai kamar, mengutipnya dengan cepat sembari menyeka air mata yang lagi-lagi merembes deras tak terbendung. hatinya terasa ngilu, rasa penyesalan pun memenuhi perasaannya. Mama Asmita, Papa Sandi, jika kalian tau putra kebanggaan kalian mendzalimi Anya, apakah kalian bersedia melepaskan Anya darinya? ataukah--mungkin kalian sama saja seperti dia? Anya nggak mengerti mengapa Mas Davendra memperlakukan ini pada Anya, dia berubah seratus delapan puluh derajat dan bahkan menghina tubuh Anya. batin Lavanya bermonolog di sepanjang langkahnya menuju persimpangan jalan untuk menunggu taksi Beberapa menit kemudian Lavanya telah tiba di persimpangan jalan raya, menanti taksi yang lewat sembari termenung meratapi nasibnya dimasa depan Ibu, Ayah, mungkin lebih baik Anya hidup sendiri menggapai cita-cita Anya dari pada hidup bersama orang munafik berkedok topeng Malaikat. Anya rindu Ayah dan Ibu, merindukan kasih sayang yang begitu tulus dari kalian berdua. Tit tit tit! Sebuah mobil Mazda berwarna grey methalic berhenti tepat dihadapan Lavanya yang sedang berdiri tegap dalam keadaan termenung dengan raut wajah yang menyedihkan. kaca mobil disebelah sisinya perlahan turun, menampikkan wajah sopir yang sangat dikenali oleh Lavanya "Nona Anya." seseorang itu menyapa dari dalam mobil, kemudian ia membuka pintu dan keluar dari kendaraan roda empat tersebut "Tuan Chandra." Lavanya terkesiap, segera ia hapus air mata yang masih tersisa "Nona ngapain disini? mana Tuan Dave?" pria yang bernama Chandra, sang Assisten dari suaminya tampak khawatir dengan keadaan istri Tuannya yang berdiri disini hanya seorang diri "Hmmm, masih tidur, Tuan. sayang sekali kalau dibangunin," jawabnya, itulah jawaban yang masuk akal bagi Lavanya Assisten Chandra mengangguk paham, ia yakin pasti Bossnya sangat kelelahan melewati malam panjang ala pengantin baru. "Terus anda mau kemana, Nona? nggak diantar sama Sopir?" Jangankan Sopir, Pembantu aja nggak ada, Tuan Chandra. batin Lavanya "Tidak. saya lebih nyaman pergi sendiri," "Mau ke mana?" Assisten Chandra kembali menginstrogasinya "Belanja, ke Pasar deh kayaknya." jawab Anya lagi "Yasudah, mari saya antar? sekalian saya temani, siapa tahu Nona butuh jasa pengangkut belanjaan." candanya sembari terkekeh Lavanya pun mengulum senyum, ia mengangguk menuruti ajakan Assisten Chandra. lagi pula--lumayan juga ada tumpangan gratis, hingga uang yang ia pegang tidak terpakai untuk mengenakan taksi. apa lagi Davendra hanya memberikannya uang tiga ratus ribu dan itu dirasa kurang cukup untuk kebutuhan makan mereka. "Terima kasih, Tuan Chandra." Lavanya masuk ke dalam mobil setelah pintunya dibuka oleh Assisten Chandra. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD