Bukan Sekedar Trauma

1047 Words
Setelah kembali ke Jakarta, siang ini Celia memenuhi janji untuk bertemu dengan Sarah, mama kandungnya itu mengajaknya makan siang di salah satu restoran. "Mama, maaf telat." Celia memeluk Sarah yang tengah sibuk memilih lipstik di salah satu gerai kosmetik. "Kebiasaan, dari mana dulu memangnya?" Sarah mentoel pipi anaknya gemas setelah meletakkan lipstik pilihannya. "Mampir ke kantor Papa dulu, tanda tangan dokumen. Cuma sebentar kok," jawab gadis cantik itu sambil terkekeh kecil. "Oh, kabar nenek sama kakek gimana?" "Baik, oiya Bunda titip ini buat Mama." Celia menyerahkan paper bag dari brand ternama untuk Sarah. "Astaga, Bundamu selalu baik sama mama. Kamu beruntung, sayang." Sarah membayar barang belanjaannya terlebih dahulu sebelum mengajak Celia makan siang. "Iya, Bunda selalu baik sama semua orang. Mama juga baik, kok." Celia menatap sendu Sarah, mama kandungnya yang baru saja pulang dari luar negeri untuk sebuah kepentingan. "Kenapa sih? Ada apa sayang?" Sarah memperhatikan wajah sendu Celia. "Ma, kalau Celia nikah dan sibuk dengan keluarga, Mama gimana?" Celia dan Sarah sudah duduk di salah satu restoran langganan keduanya. "Ya gak gimana-gimana, lagian kamu juga gak cocok terus sama pilihan Mama. Lalu, pilihan Papa kamu apa kabar?" "Ganteng sih, masih muda. Sopan juga orangnya. Walaupun agak nyebelin kayak Papa, tapi baik kok." Celia mengakui wajah tampan Evan, hanya saja ia gengsi jika terlihat terlalu bersemangat di depan pria tersebut. "Jadi, sama Om Alex gak mau neh?" Sarah memang menjodohkan anak semata wayangnya dengan Alex, rekanannya di Bali itu pernah mengatakan secara langsung kepada Sarah jika menyukai gadis manis itu. "Sepertinya Om Alex lebih cocok untuk Mama. Dia baik, tapi terlalu tua untuk Celia, Ma. Maaf, bukan dia tidak mau," jawab Celia kepada Sarah. "Ya udah, kita makan aja dulu. Lagian, Om Dicky mau ditaruh mana?" Sarah sambil meraih buku menu yang diberikan oleh salah satu pegawai restoran. "Ma, udah ya? Mama gak capek nyodorin temen-temen Mama ke Celia? Please lah, biarkan Celia dengan pilihan Papa. Lagian, Celia udah janji sama Nenek juga, boleh ya?" Celia meraih jemari tangan Sarah yang terlihat menahan rindu kepada anaknya. "Mama begini juga demi kamu, gak ada yang namanya orang tua gak sayang anak. Semuanya juga sayang anak, walaupun mama akui caranya beragam. Maafin mama yah, bukan maksa kok." "Iya, Ma. Mama makan yang banyak atuh, kan udah gak ada kewajiban diet." "Kamu ini, yuk ah pesan yang banyak. Kapan lagi bisa ngobrol sama kamu kayak gini. Oiya, Lala tumben gak ngintilin kamu?" "Ada, lagi beliin titipan Nenek. Sebentar lagi juga kesini kok," jawab Celia kepada Sarah. "Oh, Mama cuma ingin kamu bahagia. Walaupun tidak merubah apa yang terjadi di masa lalu, setidaknya bisa mengobati luka yang terlanjur berbekas." Ucapan Sarah membuat Celia tertegun. Baginya, ini merupakan momen yang pas untuk mengemukakan pendapatnya. "Mama jangan pisah sama Om Dicky, Celia akui dia memang bersalah. Tapi, Om Dicky berhak mendapat kesempatan kedua, Ma." "Kamu gak ngerti yang Mama rasakan, Nak. Dan Mama berharap sampai kau tutup usia tidak akan pernah mengalami hal ini. Rasanya sakit banget," kata Sarah dengan suara bergetar. Hening, tidak ada suara sampai pelayan restoran mengantar pesanan keduanya. Celia dan Sarah makan dalam diam. Tidak mudah bagi gadis muda seperti Celia berdamai dengan luka di masa lalu. Apalagi penyebabnya adalah Sarah, ibu kandungnya sendiri. "Pernahkah Mama memikirkan yang dirasakan Papa? Mungkin rasanya jauh lebih sakit dibandingkan Mama sekarang. Ma, jika ada seorang pria sampai menangis sesenggukan karena wanita yang dia cintai. Menurut Mama itu artinya apa?" Deg! Jantung Sarah seakan berhenti berdetak setelah mendengar pengakuan anak gadisnya itu. Matanya berkaca-kaca menahan tangis di depan Celia. Seegois itukah dirinya, hingga tidak menyadari jika banyak orang terluka karena tindakannya di masa lalu. "Mama…." Sarah tidak sanggup meneruskan ucapannya. Wajah pilu Celia yang berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja membuatnya merasa gagal sebagai seorang ibu. "Gakpapa, Ma. Papa udah maafin Mama kok. Mama tidak bisa merubah masa lalu, tapi Mama bisa memperbaikinya untuk masa depan. Mama mau Celia dan adik bahagia, kan?" "Tentu, sayang. Mama cuma minta itu sama Tuhan," jawab Sarah sambil mengusap pipi Celia. "Kalau begitu, maafkan Om Dicky. Dia Ayah Celia juga, kan? Kasihanilah kami. Aku dan Syanum hanya ingin punya keluarga utuh. Sederhana saja, Ma. Please." "Tapi, bagaimana dengan mama? Kamu tega mamamu menyimpan rasa sakit hati ini seumur hidup mama? Itu sama dengan membunuh mama perlahan, Nak." Sarah menahan diri untuk tidak menangis, walaupun ucapan Celia menusuk dadanya, membuat hatinya remuk. "Bukan membela Om Dicky, tapi dia sudah mengakui dan minta maaf. Mama mau dia seperti apalagi? Pernah Mama mikirin Syanum? Dia masih sepuluh tahun dan terpaksa melihat orang tuanya bertengkar. Itu mengerikan bagi kami. Cobalah sedikit korbankan hati Mama. Tekan rasa sakit hati Mama untuk kebahagiaan Syanum." "Mama coba, Nak. Susah payah Mama minta ketemu kamu, mama tidak mau ada tangis lagi. Boleh?" "Tentu, Mama tetap di hati Celia. Kalau gak percaya, belah dadaku," kata Celia menggoda Sarah untuk mencairkan suasana. Siang itu menjadi titik balik kehidupan rumah tangga Sarah dan Dicky. "Tidak ada salahnya menyetujui pendapat Celia. Rara benar-benar mendidiknya menjadi wanita bermartabat dan tidak murahan." Tatapan bahagia dan bangga Sarah tampak jelas, hingga Lala pun menyadari. "Celia baik, Bu. Tidak usah khawatirkan dia. Bu Rara dan Pak Tara kerjasamanya bagus, Celia berhasil melewati masa sulitnya dengan baik." "Mbak Lala betul, tolong jaga dia. Saya tidak menyangka jika Celia se bijak itu menghadapi masalah." "Berproses, Bu. Itu yang saya lihat dari Celia." "Sudah, nanti dia ngomel. Ayo, kita samperin," kata Sarah terkekeh melihat anaknya dari kejauhan sudah berkacak pinggang karena ditinggal ngobrol oleh keduanya. Mereka sudah berada di salah satu toko mainan anak-anak. Celia tidak pernah lupa untuk memberi perhatian kepada adik-adiknya. Semua ia perlakuan adil. "Ma, buat Syanum. Dia nitip ini, Mama jaga diri ya? Nanti, kita cari dress barengan buat ketemu calon suami Celia. Mama kalau ada rekomendasi, Celia mau." "Iya, Nak." Sarah diantar oleh Celia hingga ke parkiran mobil. Gadis itu hanya ingin memastikan jika Sarah benar-benar dijemput oleh Dicky, suaminya. Sebelum masuk ke dalam mobil, Celia memeluknya sekali lagi. Sambil mengusap lembut punggung Sarah untuk menguatkan mamanya. "Mama masuk dulu, ya?" Sarah menangkup kedua pipi Celia yang kembali basah. Ketakutannya akan sebuah perpisahan membuat Sarah merasa bersalah. "Perceraian adalah patah hati seumur hidup buat seorang anak. Kumohon, jangan ulang kesalahan lagi ke Syanum. Memiliki orang tua gak lengkap itu gak enak, Ma. Tolong dipikirkan lagi," ungkap Celia dengan mata berkaca-kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD