“Apa, sekertaris pribadi?” tanya Keysa tidak percaya.
Dewi menganggukkan kepalanya mantap. “Ya, aku kini menjadi sekertaris Hasan. Apa kamu keberatan dengan hal itu?”
Keysa menelan ludah. “Bukan ... Bukannya begitu. Aku hanya terkejut kenapa hal seperti ini tidak diberitahukan padaku,” katanya lirih.
Dewi mengangkat kedua bahunya ke atas. “Entahlah ... Coba kamu tanyakan hal itu pada Hasan. Kenapa dia tidak menceritakannya padamu?” Wajah Dewi terpampang muka tanpa dosa yang tidak tahu apa-apa.
“Mungkin Hasan lupa menceritakannya padaku. Karena semalam, Hasan pulang dalam keadaan mabuk,” jawab Keysa sambil tersenyum kecut.
“Apa Hasan mabuk?” tanya Dewi yang tersulut penasaran. “Kok bisa? Apa ada masalah? Kalian bertengkar?”
Keysa menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak. Aku tidak bertengkar dengannya. Hanya saja semalam Adam mengajaknya keluar kan. Eh tanyata mereka ke bar. Aku juga tidak percaya Hasan akan pulang dalam keadaan mabuk seperti itu.”
“Hati-hati,” sahut Dewi lirih. Sepasang matanya berbinar penuh arti.
Membuat Keysa langsung menoleh. “Hati-hati kenapa?” tanyanya.
“Hati-hati. Waspada saja. Kalau seorang pria yang tidak biasa mabuk lalu mabuk tiba-tiba, sepertinya ia memiliki masalah yang terpendam. Atau memikirkan sesuatu.”
Keysa mulai sedikit terpengaruh dengan apa yang dikatakan Dewi padanya. “Apa menurutmu begitu?”
Dewi menganggukkan kepalanya. “Setahuku sih iya ....”
Keysa termenung. Angin sejuk yang berhembus ke wajahnya tidak dapat menyadarkannya. Pandangan matanya lurus dan tidak fokus. Raga dan jiwanya seakan terpisah.
“Key ...,” panggil Dewi sambil mendorong tubuh Keysa pelan.
Keysa gelagapan. “Hm ... apa?”
“Kamu kok bengong?” tanya Dewi sambi menggerakkan tangannya ke depan. “Pasti kalian memiliki masalah ya. Hasan mabuk dan kamu sekarang bengong kek gini.”
Keysa menghela nafas panjang. “Aku tidak sedang memiliki masalah atau bertengkar dengan Hasan. Hanya saja memikirkan apa yang dikatakan Adam padaku.”
“Adam ... mengatakan sesuatu padamu? Memang apa?” tanya Dewi dengan kedua mata membulat. Menunggu Keysa bercerita padanya.
Sejenak Keysa terdiam. Ia tidak langsung bercerita.
“Jika kamu tidak mau berbagi cerita padaku, tidak apa. Aku mengerti kok, jika hal ini adalah privasimu,” kata Dewi sambil tersenyum lagi. “Aku kembali pulang dulu ya ... Aku mau ganti baju. Hari pertama kerja, aku malah pulang cepat,” lanjutnya sambil tertawa dan hendak berdiri dari kursi.
Keysa memegangi tangan Dewi. “Tunggu.”
Dewi menghentikan niatnya untuk pergi. “Ya, ada apa?”
“Apa menurutmu para suami bisa menyembunyikan sesuatu dari istrinya?” tanya Keysa dengan tatapan tajam.
Dewi menggelengkan kepalanya. “Entahlah ... Aku saja belum pernah menikah. Jadi aku engga tahu,” katanya dengan mimik muka polos. “Memang ada apa? Apa Hasan menyembunyikan sesuatu darimu?”
Keysa menganggukkan kepalanya pelan. “Aku merasa jika ada yang disembuyikan dariku. Tapi aku tidak tahu apa itu ....”
***
Adam mengetuk pintu kamar terlebih dahulu sebelum masuk.
“Masuk saja,” sahut Hasan dari dalam kamar.
Pintu kamar terbuka dan Adam memperlihatkan senyumannya. “Apa kamu sudah baikan?” tanya Adam sambil berjalan mendekat.
Hasan baru saja mandi. Ia menggosok-gosokkan rambut basahnya di handuk yang di pegang. “Aku sedikit pengar,” jawabnya kemudian.
“Biasa lah itu ...,” sahut Adam yang tidak bisa menutupi rasa keingintahuannya pada kamar tidur Hasan dan Keysa. Sepasang matanya menatap kesekeliling. Terpajang sebuah foto berukuran besar dengan bingkai warna putih di dinding. Foto Keysa dan Hasan yang berpose mesra di sebuah taman bunga.
Tenggorokan Adam langsung terasa kering melihatnya.
“Kamu dari bengkel forniture atau dari kantor kita?” tanya Hasan sambil melihat sekilas ke arah Adam.
“Dari kantor. Menerima sekertaris baru.”
“Untukmu? Lalu sudah dapat?” tanya Hasan lagi.
“Sudah. Tapi bukan untukku.”
Hasan mengerutkan dahinya. “Maksudmu?”
“Ya, untukmu lah!"
“Kenapa kamu mencari sekertaris untukku?” Kedua mata Hasan mulai membulat.
“Tadinya, aku ingin memberikanmu kejutan. Lagi pula pekerjaan kita sudah banyak. Kamu dan aku membutuhkan sekertaris. Tenang saja, sekertaris yang aku posisikan untukmu adalah orang dekat. Jadi aku jamin kamu tidak akan canggung,” jawab Adam sambil duduk di sofa panjang di dalam kamar. "Dia juga wanita yang cerdas, smart dan pastinya ... cantik."
Hasan semakin bingung. Ia menghentikan gerakan mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Maksudmu dengan orang yang dekat denganku, siapa? Keysa? Istriku sendiri?” tanya Hasan dengan kedua mata menyipit.
Adam tertawa mendengarnya. “Hahahahaha ... Masa iya sih, istri dijadikan sekertaris. Sudah seperti di n****+-n****+ aja kamu itu. Istrinya ya sekertarisnya juga. Kasian Keysa, udah repot dengan urusan rumah, bisnis bunganya, kini dia juga harus menjadi sekertarismu?”
“Iya, aku tahu pasti Keysa tidak mau. Karena florist adalah hobinya. Dia tidak akan pernah mau menjadi sekertarisku,” sahut Hasan.
“Memang bukan Keysa sekertarisnya,” timpal Adam lagi.
Dahi di kening Hasan semakin berkerut. “Lalu siapa?” tanyanya lagi. “Apa Rudi? Bagian manajeman itu kamu berikan naik jabatan untuk menjadi sekertarisku?”
“Kenapa jadi Rudi ...? Engga seru dong, kalau sekertarisnya cowok. Aku kan sudah bilang, 'Dia cerdas, smart dan cantik. Memang Rudi cantik?” Adam tertawa keras.
“Iya, terus siapa? Jangan sampai aku tidak menyukai orang yang sudah kamu berikan jabatan sekertaris itu ya!” sungut Hasan sambil menenggak cepat segelas air putih yang sudah tersedia bersama tekonya yang serasi, di atas meja nakas.
Adam memandang Hasan sebentar sebelum menjawab, “Dia ... Dewi,” jawabnya kemudian.
Hasan yang sedang meminum air putih langsung tersedak. “Uhuk!”
“Hati-hati Hasan minumnya,” tegur Adam lagi.
“Apa? Dewi?!”
Adam menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Dewi. Memang kenapa?”
Hasan terdiam. Mukanya berekspresi datar dan berwajah pucat. Persis seperti apa yang sudah dibayangkan oleh Adam sejak tadi.
“Kenapa? Apakah ada yang salah?” tanya Adam pura-pura tidak tahu.
“Tentu saja kamu salah! Kenapa kamu tidak membicarakannya terlebih dahulu denganku, jika sekertarisnya adalah Dewi?!” seru Hasan kesal. Jika tidak mengingat Adam berperan penting dalam bisnis yang sedang mereka jalani, Hasan sudah memaki Adam karena lancang.
“Maaf, aku hanya ingin memberikanmu kejutan. Aku melihatmu kerepotan dengan segala perkerjaan yang ada. Makanya aku mencari sekertaris untukmu. Aku tidak niat apa-apa,” kata Adam dengan memasang wajah menyesal. “Apa aku berbuat lancang padamu? Aku kira kita adalah teman.”
“Ya, kita memang teman,” sahut Hasan. “Dan memang kamu lancang. Kenapa juga kamu menjadikan Dewi sekertarisku?”
“Aku merasa Dewi adalah orang yang tepat untuk menjadi sekertarismu. Dan juga dia sekarang sedang dilanda masalah. Dia kehilangan pekerjaannya.”
“Apa menurutmu Dewi kekurangan uang? Dia bisa bertahan hingga mendapatkan pekerjaan baru di Kota ini. Tapi bukan di kantorku!” seru Hasan yang mulai tidak bisa membendung kekesalannya.
“Hasan ... kenapa kamu terlihat sangat marah dan tidak suka jika Dewi menjadi sekertarismu?” tanya Adam dengan wajah penuh tanya.
Hasan mengatupkan bibirnya. Ia menatap ke arah Adam yang sedang duduk di sofa. “Ada yang tidak bisa kamu ketahui tentang aku ...,” jawabnya dengan nada mulai ketus dan tegas.
Tiba-tiba keheningan terjadi. Pembicaraan yang berlangsung sudah mulai tidak nyaman. Hasan dan Adam saling manatap tanpa kata.
Kenapa kamu mengangkat Dewi menjadi sekertarisku?, tanya Hasan di dalam hatinya. Ia tahu jika Adam akan membuat rencana untuknya. ‘Lihatlah Adam, sebelum kamu memperdayaiku, bisnis yang sedang kamu danai ini akan sukses. Lalu kamu akan pergi dari sini. Cinta, kepercayaan dan kesetiaan pernikahanku ini lebih besar dari apa yang kamu duga.’
Bersambung