Sebuah Peringatan

1803 Words
Berdiam diri di kamar menjadi pilihan Selva setelah Sinta berpamitan pulang. Biasanya di akhir pekan seperti ini, ia akan mengikuti kemanapun ibunya pergi dan tak jarang sampai menginap. Duduk termenung di tepi tempat tidur dengan mata menatap lurus ke luar jendela. Otaknya tidak berhenti memutar kejadian pagi tadi. Kalimat terakhir yang Kirana ucapkan terus terngiang dan membuatnya sesak. Sungguh, tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk menyuruh Kirana pergi. Kehilangan wanita yang menjadi ibu sambungnya tersebut adalah hal yang paling menakutkan. Baginya, Kirana seperti akar yang mengokohkan pohon kebahagiaan keluarga ini. Jika akar itu hilang, maka pohon pun akan tumbang dan dia tidak ingin itu terjadi. Demi Tuhan, dia tidak berniat untuk menyakiti hati sang mama. Ia tidak bermaksud menuduh. Ia hanya dilanda perasaan cemburu saat tahu jika Kirana membuatkan Belva sup iga. Sedangkan, paginya wanita itu menolak halus permintaannya dengan alasan sibuk. Air yang menggenang di pelupuk mata perlahan luruh membasahi pipi. Ia merutuki diri yang mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan papanya. Menuduh tanpa mencari tahu kebenarannya. Lantunan sebuah lagu dari boy grup BTS mengambil alih atensinya. Selva melirik benda pipih yang berkedip-kedip di atas nakas. Wajah seorang wanita dewasa terpampang jelas pada layar tersebut. Gegas ia menyusut air mata dengan punggung tangan dan berdeham beberapa kali untuk menetralkan suaranya yang pasti berubah serak. "Halo, Bu," sapanya dengan suara yang sedikit sengau. "Kamu habis nangis? Kenapa?" "Oh, Selva lagi nonton drakor," dustanya disertai kekehan yang terdengar di paksakan. "Oh, kirain kenapa," ujar Sinta. Hening untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Sinta kembali bersuara. "Em … Sel." "Iya, Bu." "Ibu boleh minta tolong lagi." Paham dengan jenis bantuan yang dibutuhkan ibunya membuat gadis itu memejamkan mata dan menggigit bibir bawah. Sebelah tangannya meremas kuat kain berwarna soft pink yang melapisi kasurnya. "Bo–boleh." "Ibu tunggu. Makasih, ya." "Sama-sama." Tut! Panggilan diputus oleh Sinta begitu saja. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk di aplikasi obrolan. Dengan sedikit bergetar, Selva membuka pesan tersebut. Rangkaian kalimat yang dikirim oleh Sinta membuat matanya kembali memejam. Ingin sekali menolak dan berhenti memberi bantuan. Namun, ia sudah masuk terlalu jauh di kehidupan Sinta dan secara tidak langsung terlibat dalam kerumitan hidup wanita itu. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan yang dilanjutkan dengan diputarnya gagang pintu dari luar, membuat Selva gegas menyelipkan ponselnya di bawah paha. Lalu, ia menoleh untuk melihat siapa gerangan yang membuka pintu kamarnya. "Kamu ikut ke rumah Oma, nggak?" tanya Belva yang melongok dari celah pintu. "Kita mau ke Malang?" Belva merotasi bola matanya malas. Bukannya sudah jelas dia tadi mengatakan akan ke rumah Oma, yang artinya ke Malang. Kenapa kembaran itu masih bertanya. "Lain! Ke Blitar," jawabnya kesal. "Cepetan kalau mau ikut. Atau kamu mau diantar ke rumah ibu?" "Aku ikut." "Jangan lupa bawa baju! Kita mau nginep." "Iya." "Cepat! Nggak pake lama." Selepas kepergian Belva, Selva kembali mengambil ponsel dan melakukan apa yang tertulis dalam pesan singkat yang dikirimkan ibunya. Lalu, membalas pesan tersebut dengan sebuah foto. Setidaknya, dalam tiga bulan terakhir ini wanita yang rahimnya pernah menjadi tempat ia berlindung, selalu meminta bantuan yang sama dan dia tidak bisa menolak. **** Perjalanan menuju Malang lebih banyak di isi oleh celotehan Galen dan Belva. Sesekali Satya juga melontarkan rayuan mautnya untuk menggoda sang istri yang hari ini lebih banyak diam. Begitu pula dengan gadis yg duduk tepat di belakang Kirana. Dia lebih banyak menatap keluar jendela daripada ikut bermain bersama kedua saudaranya. Sesampainya di rumah bergaya minimalis modern dengan warna hitam putih yang mendominasi, Kirana langsung turun setelah meminta Belva untuk memberikan Galen padanya. Sementara, Satya langsung membuka bagasi untuk menurunkan barang-barang mereka. "Jangan cemberut! Kamu mau Oma curiga, terus aku keceplosan ngasih tahu alasan kamu sama Mama diem-dieman?" Selva yang sejak tadi diam dan terlihat lesu sontak menoleh. Menatap kepergian sang kembaran dengan debaran jantung yang menggila. Perasaan was-was kembali menyergap kala teringat jika Belva tidak bisa berkata bohong di depan wanita yang mereka panggil Oma. "Sel, mau sampai kapan kamu di situ?" tegur Satya saat melihat putrinya masih duduk di dalam mobil sambil melamun. "Oh, anu … bentar, Pah. Masih balas chat-nya Aqila." Gadis itu berdalih gelagapan. Brak! Satya menutup pintu bagasi, lalu pergi meninggalkan Selva yang masih berusaha mengendalikan diri. Setelah merasa cukup tenang, Selva keluar dari mobil. Namun, baru saja akan mengayunkan kaki, jantungnya kembali berdetak tak terkendali hingga rasanya nyaris meledak saat melihat mobil SUV hitam berpelat 'D' terparkir apik di dalam garasi rumah ini. "Om Bima," gumamnya. Wajah Selva berubah pias dengan peluh yang mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Ia meremas kuat tali tas yang menyilang di depan d**a. Tubuhnya bergetar dan matanya mulai memanas. Meski sudah berusaha untuk berpikiran positif, tetap saja rasa takut lebih mendominasi. Apalagi, sekelebat kenangan dua tahun lalu kembali berputar tanpa diminta. Selva limbung. Tubuhnya seperti terdorong ke belakang hingga punggungnya membentur badan mobil. Terik matahari dan pikiran yang carut-marut membuat kepalanya semakin pusing. "Loh, kok, masih di situ," seruan Astika dari tengah tangga menyentaknya. "Ayo, masuk! Kamu dicariin Opa sama Tante Wina." Selva berusaha memfokuskan pandangan yang semakin memburam. Otot dan tulang kakinya sudah tidak mampu lagi menopang tubuh hingga akhirnya ia tumbang. "Selva!" pekik Astika yang langsung berlari menghampiri gadis yang sudah tergeletak tak berdaya di samping mobil Satya. Astika yang panik, menepuk-nepuk pipi putri Satya sambil terus berteriak mengabsen semua penghuni rumah. "Papa!" "Sel, bangun sayang," ujarnya sembari menepuk pelan pipi si gadis tembam. "Satya!" "Bim! Bima!" "Astaga! Telinganya pada kemana, sih!" pekiknya kesal karena belum ada satu orangpun yang keluar. "Papa!" Ia terus berteriak sekencang mungkin sambil berusaha menyadarkan Selva. Tiga orang pria yang merasa dipanggil terlihat keluar, menengok ke bawah sebelum menuruni tangga sambil tergopoh-gopoh. Disusul dengan Kirana dan Belva yang juga ikut keluar dari rumah. Ketiganya langsung berjongkok mengelilingi Selva. "Kenapa Selva, Ma?" Danu pertama kali bertanya saat Bima mengecek napas dan denyut nadi gadis itu, sementara Satya menggantikan posisi Astika menyangga kepala putrinya. "Tidur!" ketus Astika yang tidak suka mendengar pertanyaan suaminya. "Pingsanlah! Gitu aja pakai nanya. Buruan angkat!" Satya langsung membopong tubuh Selva, membawanya masuk ke rumah. Melewati Kirana dan Belva yang terlihat khawatir. "Baringkan di sofa aja, Mas," pinta Kirana yang mengikuti langkah lebar Satya. "Loh, Selva kenapa, Sat?" "Non, Selva!" Wina dan Mak Sum sama-sama terkejut melihat kondisi Selva. Dua wanita itu meletakkan asal piring dan nampan yang mereka bawa di meja makan. "Pingsan, Mbak," jawab Satya setelah meletakkan tubuh putrinya di sofa ruang keluarga. Kirana duduk di samping Selva, menggenggam tangan dan menepuk-nepuk pipinya. "Mbak," panggilnya lembut. Suaranya tercekat menahan tangis. Sementara, Wina langsung berlari ke kamar yang bersisian dengan ruang tamu, mengambil sebuah tas kecil yang berisi peralatan medis. "Permisi. Biar kuperiksa." Wina mengambil alih tempat Kirana. Ia membuka kancing celana jeans dan melepas jam tangan Selva. Ia berusaha membangunkan gadis itu dengan cara mengguncang tubuh dan memanggil nama sambil memeriksa denyut nadi. "Gimana, Mbak?" tanya Kirana yang duduk di lantai tepat di samping sofa. Tangannya terus menggenggam tangan Selva. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah ayunya. Satya dan Belva yang ada di belakang Kirana tak kalah khawatirnya. Belum sempat menjawab, gadis yang membuat panik seluruh penghuni rumah perlahan-lahan mulai meraih kesadarannya. Mata gadis itu mengerjap menyesuaikan cahaya yang ada, membuat semua yang di ada di sana kompak menghela napas lega dan mengucap syukur. "Mbak," panggil Kirana yang langsung menegakkan tubuh dengan bertumpu pada kedua lutut, menatap putrinya dengan mata yang sudah basah. "Mama." Suara Selva terdengar sangat lemah. "Sesak?" Selva menanggapi pertanyaan Wina dengan gelengan. "Kepalanya masih sakit?" Gadis itu mengangguk lemah. Wina memerhatikan Selva. Ia menebak gadis ini pingsan karena banyak pikiran hingga membuatnya susah tidur. Terlihat jelas dari tatapan kosong dan lingkar hitam di bawah mata. Wina harus segera membicarakan ini dengan Satya dan Kirana. Jangan sampai masalah yang dihadapi Selva semakin berlarut-larut. Itu sangat berbahaya bagi kesehatan mentalnya. *** Acara makan malam keluarga Kamandanu yang semula akan dilakukan di sebuah restoran, akhirnya diundur karena kesehatan Selva yang kurang baik. Sebagai gantinya, Astika dan Kirana memasak makanan kesukaan setiap anggota keluarga. Saat semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Wina memanfaatkan momen tersebut untuk berbicara dengan Selva. Ia yakin jika permasalahan Selva berhubungan dengan Satya dan Kirana. Karena jika tidak, gadis itu sudah pasti bercerita kepada kedua orangtuanya. "Hai, Sayang," sapa Wina pada Selva yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan tatapan kosong. "Makan dulu, ya. Ini Tante bawain sup ayam." Wina Menaruh nampan yang ia bawa di atas nakas sebelum duduk di samping putri Satya. "Udah mendingan?" Selva mengangguk sambil tersenyum. "Akhir-akhir ini kamu jarang makan, ya?" Wina kembali bertanya, seraya bergerak mengambil mangkuk berisi sup. Mengaduk-aduknya hingga asap dan aromanya menguar. "Iya." Selva membuka mulut menerima suapan dari Wina. "Kenapa? Mama sibuk, ya? Jadi nggak sempat masak." tanya Wina. Yang ia tahu hanya ada dua hal yang membuat gadis ini kehilangan selera makan. Sakit dan berhari-hari tidak dimanjakan dengan masakan Kirana. "Nggak. Mama tiap hari masak, kok," sangkal Selva di sela gerakan rahangnya. "Jadi, karena apa?" tanyanya lagi dengan nada jenaka. Selva diam. Ia menatap Wina sejenak, sebelum akhirnya menunduk. Ia tidak mungkin menceritakan masalah yang sedang ia hadapi pada wanita in. Itu sama saja dengan menggali kuburan sendiri. "Nggak papa kalau nggak mau cerita. Tapi, kamu tau kan, kalau malas makan itu banyak dampaknya. Apalagi kalau ditambah banyak pikiran. Bisa fatal akibatnya." Keheningan menyelimuti keduanya. Wina masih setia menyuapi Selva. Sementara, gadis itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Membuat Wina semakin yakin jika ada sesuatu yang disembunyikan gadis ini. "Kenyang, Tante," tolak Selva saat Wina menyodorkan suapan selanjutnya. Wina meletakkan mangkuk dan mengambil gelas. Menyerahkan benda bening berisi air putih itu kepada Selva, lalu ia menyiapkan obat dan vitamin untuk dikonsumsi gadis itu. "Kalau punya masalah jangan dipendam, ya, Sel. Kamu masih punya keluarga yang bisa diajak berbagi. Oke." Setelah mendapat anggukan dari Selva, Wina pamit keluar dari kamar. Sementara di bagian belakang rumah, Satya dan Bima sedang duduk sambil memerhatikan Danu yang asyik bermain dengan ketiga cucunya. Mereka membicarakan banyak hal, hingga …. "Ada sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini?" Satya sontak menoleh ke kiri, menatap sang kakak ipar yang masih fokus menatap ke depan sambil sesekali tersenyum karena tingkah polah anak-anak yang membuat Danu kewalahan. "Maksudmu?" Satya mengernyit tak mengerti. "Jangan menutup mata dengan ancaman yang sedang mengintai keluargamu." Lipatan pada dahi Satya semakin dalam. Ia benar-benar tidak paham dengan perkataan kakak iparnya yang berusia dua tahun lebih mudah darinya. "Mantanmu, semakin sering ke rumah, kan? Bahkan, sekarang berani menginap." Wajah Bima berubah datar. Dari suaranya jelas sekali jika dokter itu sedang serius. "Kamu masih memata-mataiku?" tanya Satya tidak suka. Bima menyunggingkan senyum sinis dan menatap tajam lawan bicaranya. "Kamu pikir aku akan melepaskan adikku begitu saja? Aku memberimu kesempatan, bukan berarti aku mempercayaimu sepenuhnya." Suasana mulai menegang. Angin sore yang berembus tidak mampu memadamkan api permusuhan yang mulai Bima kobarkan. "Waspada, Sat! Jangan menganggap biasa pada sesuatu yang berpotensi merusak keluargamu. Karena kalau itu terjadi, aku pastikan kamu nggak akan pernah bisa melihat Kirana dan Galen."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD