Kesigapan Belva

1439 Words
Satya semakin yakin jika ada sesuatu yang sedang terjadi pada Selva. Pasalnya, sejak liburan dengan keluarga Kirana, gadis itu kembali menjadi sosok yang tidak banyak bicara. Bukan karena marah pada dirinya atau Kirana, tetapi seperti ada yang membebani pikiran putri sulungnya itu. Seperti malam ini—saat mereka sedang menikmati makan malam, gadis berkaus hitam bergambar seekor beruang itu hanya mengaduk-aduk makanannya dengan tatapan kosong. "Sel," panggilnya lembut. Gadis itu bergeming. "Selva." Satya sedikit menaikkan volume suaranya, membuat Kirana dan Belva yang semula fokus pada makanan mereka mengalihkan pandangan pada gadis tersebut. "Selva." Lagi, Satya memanggil dengan suara yang semakin nyaring ketika panggilan keduanya masih diacuhkan putrinya. Belva yang melihat sang kembaran masih tidak merespon, berdecak sebelum menyenggol lengan gadis di sebelahnya sambil berseru, "Sel!" Selva tersentak, tubuhnya berjingkat hingga sendok yang ia pegang terlepas sehingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras karena berbenturan dengan piring. Sadar menjadi pusat perhatian, gadis itu tampak salah tingkah dan langsung menunduk. Mengambil sendok yang sempat terjatuh dan menggunakannya untuk memotong telur mata sapi yang bagian kuningnya sudah berantakan. Lalu, memasukkan satu suap penuh nasi goreng ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan tergesa. Sementara, tiga orang yang menyaksikan itu semakin merasa aneh. Terlebih, saat Selva kembali memasukkan suapan berikutnya ketika mulutnya masih berisi, membuat pipinya yang sudah tembam semakin terlihat menggembung dan bibirnya mengerucut. “Mbak, pelan-pelan makannya!” Kirana memperingatkan. Gadis itu menelan makanannya dengan susah payah sebelum mengangguk sebagai respon. Kirana masih menatap Selva. Mulutnya sudah gatal ingin menanyakan apa yang sedang gadis itu pikirkan hingga sering melamun. Namun, niat itu ia urungkan. Selain karena merasa waktu yang menurutnya kurang tepat, ia juga takut putri sambungnya itu tersinggung. Berbeda dengan Satya yang tidak bisa lagi menahan diri untuk mengeluarkan pertanyaan yang sudah bersarang di tenggorokannya sejak tadi. “Ada masalah apa, Sel? Papa perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun.” Gadis yang dimaksud terkesiap. Ia melirik takut sang papa sebelum menjawab dengan suara bergetar. “Ng–ngak ada, Pah.” “Kalau punya masalah itu dibicarain sama orang tua biar dibantu cari jalan keluarnya. Jangan dipendam sendiri. Bukannya selesai, malah berkembang biak.” Belva menimpali dengan santai tanpa menatap lawan bicaranya. "Apaan, sih, Bel! Siapa juga yang punya masalah," ketusnya. "Oh … jadi kamu nggak punya masalah." Belva memberikan tatapan mengejek. Tanpa mengalihkan pandangan ia kembali berkata, "Pah, Mah, ntar kalau masalah Selva tambah besar jangan dibantuin. Biar dia selesaiin sendiri." Belva mengalihkan pandangan, ia mengambil gelas berisi air putih. Sebelum meneguk cairan bening itu ia kembali melirik sinis pada sang kembaran. "Eh, lupa. Dia kan punya Ibu yang siap membantu." Kirana dan Satya hanya memperhatikan perdebatan itu. Mereka bingung ingin memberi tanggapan seperti apa, karena apa yang diutarakan Belva tidak salah. Memang seharusnya Selva tidak memendam masalahnya sendiri. Sementara, gadis yang menjadi topik pembahasan pagi ini hanya mampu tertegun mendengar perkataan Belva. Ia ingin sekali berbagi masalah yang akhir-akhir ini membebani. Sayangnya, itu tidak mungkin karena hal tersebut berhubungan dengan Papa dan mamanya. Belva yang sudah menyelesaikan sarapannya segera beranjak dari tempat duduk. Saat gadis itu berjalan ke arah tangga dia dikejutkan oleh sapaan seseorang. "Pagi, Bel." Gadis itu menoleh. Ia menatap Sinta yang berjalan dari arah ruang tamu. Matanya bergerak naik turun memerhatikan penampilan tidak biasa dari tamu tersebut. Kemeja ketat yang dilapisi blazer, dipadu dengan rok span dengan panjang hanya dua kilan dari pinggang. Belva mengangkat sebelah sudut bibirnya sambil menggidikkan bahu. Sungguh penampilan sang ibu kali ini membuatnya jijik. Sepertinya. wanita ini mulai menampakkan wujud aslinya, begitu pikir Belva. "Sudah sarapan?" tanya Sinta. Bibir berlapis lipstik merah menggoda itu mengulas senyum. Dengan senyum yang dipaksakan dan terkesan mengejek Belva menjawab, "Sudah, dong. Kan, Mama nggak pernah telat nyiapin makanan. Selalu memanjakan m ⅞dan memerhatikan kebutuhan suami dan anak-anaknya." Senyum di wajah Sinta pudar seketika. Darahnya perlahan mendidih dan rasa kesal mulai merambati hati. Setiap kali bertemu dengan Belva, telinganya selalu dijejali kalimat-kalimat pujian untuk Kirana. Seakan-akan wanita muda itu tidak memiliki cela sedikitpun. Pun, dengan Selva. Meski akhir-akhir ini gadis itu sering bersamanya, namun tetap saja selalu ada nama Kirana di dalam topik pembahasan mereka. Kirana yang baik hati. Kirana yang penyayang. Kirana yang asyik dijadikan tan. Kirana yang pintar masak. Dan, segala kebaikan dan kehebatan Kirana lainnya. Benar-benar menyebalkan. Sinta kembali mengukir senyum meski dalam benaknya mengumpati ibu sambung kedua putrinya. "Nanti kalau Ibu nginap di sini lagi, Ibu buatin kamu sarapan yang spesial." "Boleh. Tapi setahu aku, Ibu nggak pernah bangun pagi," sindir Belva. Ia benar-benar tidak peduli jika dia dicap sebagai anak durhaka karena selalu bersikap ketus pada ibu kandungnya. "Aku ke atas dulu. Mau siap-siap." Belva menaiki tangga dengan sedikit berlari, meninggalkan Sinta yang wajahnya sudah berubah masam. Bahkan, ia mengeluarkan desisan kesal dengan tangan yang terkepal kuat dan gigi yang terkatup rapat. Sinta menutup mata dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan guna meredam emosi yang berhasil dipancing putrinya. Setelah cukup tenang, ia meneruskan langkah menuju ruang makan. Namun, baru selangkah ia sudah berhenti saat tatapannya berserobok dengan tiga orang yang masih duduk di meja makan. Sinta yang sempat terkejut berusaha untuk tetap tenang meskipun tempo detak jantungnya perlahan meningkat. Batinnya berteriak mengumpati kebodohannya yang lupa jika tidak ada sekat antara ruang keluarga dan ruang makan. Sudah pasti tiga orang tersebut melihat kejadian beberapa detik yang lalu. Dengan memasang senyuman lebar, Sinta menghampiri dan menyapa tiga orang tersebut. "Pagi." "Pagi." Hanya Selva dan Kirana yang menyahuti secara bersamaan. Sedangkan, Satya memilih untuk melanjutkan sarapan tanpa mau repot-repot membalas sapaan mantan istrinya. "Sarapan, Mbak." Kirana menawarkan. Kemudian, ia mengambilkan sebuah piring kosong yang terletak tak jauh dari jangkauannya. "Makasih, tapi aku nggak biasa sarapan yang berat kayak gini," tolaknya dengan nada sombong. "Oh. Lagi dietnya?" Kirana meletakkan kembali piring tersebut di tumpukan. "Iya. Aku kan harus jaga penampilan." Kirana membulatkan bibir sambil mengangguk paham. "Iya. Biar laku." Kirana membatin. "Namanya juga lagi usaha cari gandengan baru," lanjutnya. Satya mengusap bibirnya dengan kain berwarna abu muda. Begitu pula dengan Selva. Gadis itu bahkan sudah memundurkan kursinya dan berdiri. "Mas, hari ini aku boleh minta antar ke kantor nggak?" tanyanya. Kirana yang sedang mengumpulkan piring kotor ternganga saat mendengar suara bernada manja dari wanita itu. Satya pun sama. Pria yang sudah mengangkat setengah tubuhnya itu langsung menoleh dan menatap Sinta dengan sorot heran. Dahinya mengernyit hingga menciptakan beberapa lipatan. "Mobilmu?" tanyanya singkat seraya berdiri dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Mobilku tiba-tiba nggak bisa start. Udah nelpon orang bengkel tapi mereka baru bisa datang jam 10," paparnya dengan wajah sedih. "Loh, jadi ke sini naik apa?" Kirana yang merasa alasan itu tak masuk akal bertanya. "Taksi." "Harusnya Ibu langsung ke kantor, dong. Bukan malah mampir ke sini. Kan, jadi buang-buang ongkos," timpal Belva yang sudah berseragam lengkap. Hatinya mencibir tindakan Sinta yang dinilai hanya modus belaka. Akan lebih efisien jika ibunya itu berangkat kerja langsung dari rumah. Pasalnya, rumah Satya dan kantor Sinta tidak searah. "Em …," Sinta tampak gugup ia kesulitan untuk memberi alasan. "I–Ibu sudah janji mau berangkat bareng Selva. Iya kan, Sel." Selva yang sedang tidak fokus tersentak saat Sinta menggoyangkan tangannya. "Apa, Bu?" "Kita janjian mau berangkat bareng, kan?" Sinta memberikan kode pada Selva melalui sorot mata. "Oh. Iya. Ki–kita udah janjian," ujarnya terbata seraya mengangguk kaku. "Boleh, kan, Mas?" Satya menatap sang istri meminta pendapat. Namun, belum sempat Kirana bersuara, gadis yang tengah berdiri dengan ransel di pundak itu lebih dulu berkata, "Ikut aku aja. Sama Pak Mail. Papah hari ini mau ke Mojokerto sama Om Raka. Iya, kan, Pa?" "Iya," jawab Satya tanpa ragu. Tidak sepenuhnya bohong karena setelah makan siang nanti dia memang akan menemui sahabatnya, tetapi bukan untuk ke Mojokerto seperti yang dikatakan Belva. "Mah, nanti kirim makan siangnya dua, ya. Buat Kak Adam satu. Terus, yang punya Belva agak banyak soalnya mau makan bareng Nisa." Belva meminta dengan lembut setelah mencium punggung tangan Kirana. "Soalnya Ibunya Nisa lagi sibuk jagain Embah di rumah sakit. Dia pasti nggak sempat buat bekal," lanjutnya. "Boleh request nggak Ma?" "Mau apa?" "Buatin salad buah juga. Seadanya aja." "Oke." Sinta yang melihat adegan manis di depannya mengetatkan rahang. Ia tidak suak melihat anak-anaknya terlalu bergantung pada Kirana. Padahal, si kembar adalah satu-satunya jalan untuk bisa kembali pada Satya. Sementara, Selva menatap penuh tanya saat sang kembaran menyebutkan nama Adam. Sejak kapan, Belva perhatian pada kaum berjakun? Bukankah, setelah peristiwa dengan David dulu, saudaranya itu enggan berdekatan dengan kaum berjakun. "Bel, kamu ada hubungan apa sama Kak Adam?" tanyanya tanpa melihat situasi. "Ada, deh. Kepo banget, sih, Mbak-ku ini," jawab Belva dengan nada bercanda, namun cukup ampuh untuk menyentil hati Selva yang sejak lama memendam rasa pada kakak kelas merek itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD