"Belva!"
Selva dan beberapa siswa yang sedang melintas ikut menoleh ke arah parkiran motor saat mendengar seseorang menyerukan nama Belva. Kedua sudut bibir Selva terangkat saat netranya tidak sengaja bertemu dengan milik pemuda yang baru saja memarkirkan motor.
Debaran jantungnya perlahan meningkat seiring dengan semakin terkikisnya jarak di antara mereka. Namun, senyuman yang sejak tadi tersungging seketika musnah kala sang pemuda langsung menarik tangan Belva dan pergi begitu saja tanpa menyapanya, menganggapnya seolah tak kasatmata.
Selva terdiam, terpaku di tempatnya. Hatinya seperti tersayat saat menyaksikan dua orang tersebut berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut. Bahkan, sesekali si pemuda mengacak rambut saudaranya itu sembari tersenyum lebar. Hal yang jarang diperlihatkan.
Tanpa sadar tangannya meremas tali ranselnya. Selva menghela napas panjang untuk melapangkan rongga dadanya. Namun, bukannya lega, sesak yang ia rasakan kian menjadi-jadi.
"Itu bukannya Belva sama Kak Adam, ya?" Suara Aqila menyentak lamunan Selva.
"Iya."
"Em … dia nggak tau kalau kamu suka sama Kak Adam?"
Selva menggeleng lemah. Ia memang tidak pernah memberitahu Belva mengenai perasaannya pada Adam. Sahabatnya pun tahu karena beberapa kali memergokinya sedang menatap kagum pada kakak kelas mereka itu.
Aqila menatap Selva yang tidak melepaskan pandangan dari dua orang yang baru saja hilang di persimpangan. Lantas, ia merangkul bahu gadis berpipi tembam itu dan mengusapnya pelan.
"Udah nggak usah nethink. Mungkin mereka akrab karena sama-sama jadi anggota basket. Apalagi mau pertandingan, mereka pasti sering latihan bareng. Lagian kalau mereka jadian, pasti Belva ngasih tau kamu," ujarnya mencoba menghibur.
Aqila tidak menutup telinga dengan gosip yang merebak di sekolah akhir-akhir ini. Ia yakin jika Belva tidak mungkin menikung saudaranya sendiri.
Namun, ia mulai menyangsikan keyakinannya itu setelah adegan manis yang beberapa detik lalu terpampang nyata di depan matanya, ditambah dengan pengakuan Selva.
Aqila memindahkan rangkulannya pada tangan Selva dan mengajak gadis itu untuk pergi ke kelas. "Yuk, ah."
Selva masih bergeming. Ia ingin berpikiran seperti itu. Namun, mengingat perubahan Belva akhir-akhir ini mustahil jika kembarannya tersebut tidak memiliki hubungan khusus dengan Adam Melviano, sang kapten basket.
"Ayok! Bentar lagi bel." Gadis yang sedang melakukan program diet itu menarik tangan Selva, memaksanya untuk beranjak.
Selama pelajaran berlangsung, Selva sama sekali tidak bisa memfokuskan pikirannya. Perbincangan beberapa siswi—yang sedang berganti seragam—di toilet semakin membuat pikirannya terusik.
“Adam sama Belva jadian, ya?”
“Kayaknya sih, gitu. Kalian tau sendiri kan, kalau Adam sama Belva tuh, setipe. Sama-sama nggak suka deket sama lawan jenis. Apalagi si Adam …. Boro-boro mau nganterin pulang, ada cewek duduk di depannya aja dia langsung pasang muka jutek.”
“Fix, mereka beneran pacaran.”
Karena hal itu dia beberapa kali mendapat teguran dari guru kimia. Untung saja Aqila sigap membantu dengan memberikan alasan jika Selva sedang tidak enak badan. Jika tidak, bisa dipastikan jika saat ini gadis itu berada di tengah lapangan. Sedang berdiri dengan posisi hormat kepada tiang bendera.
Kriiing ….
Bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa bersorak riang karena jam mata pelajaran paling membosankan telah habis. Mereka berbondong-bondong keluar dari kelas. Tidak terkecuali Selva dan tiga sahabatnya.
“Kamu kenapa sih, Sel?” tanya Cindy yang menghampiri mejanya.
“Iya. Aku perhatikan dari tadi kamu melamun terus.” Tania menimpali.
“Kamu masih mikirin kejadian tadi pagi?”
Cindy dan Tania langsung menoleh pada Aqila yang sudah berdiri dari bangkunya. Keduanya kompak menatap sambil mengernyit, menuntut sebuah penjelasan dari kalimat tanya yang dilontarkan Aqila.
“Itu, masalah Belva yang deket sama Kak Adam,” jelas Aqila singkat, membuat kedua sahabatnya mengangguk-angguk dengan mulut sedikit terbuka membentuk huruf O.
“Wajar sih, kalau mereka dekat. Kan, sama-sama anak basket, sering ketemu.” Tania berpendapat.
“Nggak wajar, Cin kalau itu Belva. Kamu tau sendiri dia agak trauma temenan sama cowok,” sangkal Cindy. Matanya kini beralih pada Selva. “Lebih baik kamu tanya langsung sama Belva. Biar jelas.”
Selva menghela nafas. Tubuhnya ia mundurkan hingga punggungnya bersentuhan dengan sandaran bangku. Benar, ia harus menanyakan pada Belva sepulang sekolah nanti.
"Ke kantin, yuk! Menggalau juga butuh tenaga."
***
Sudah lebih dari dua puluh menit Selva duduk di teras. Matanya terus mengawasi jalanan dengan sesekali menyalakan ponselnya. Merasa tidak tenang, gadis itu bangkit dan berjalan ke luar pagar. Berdiri di pinggir jalan sambil celingak-celinguk.
“Mana, sih? Harusnya kan, sudah pulang?” gumamnya setelah kembali melihat penunjuk waktu di ponselnya.
“Nungguin siapa Mbak?” suara seseorang mengagetkan Selva.
“Em … lagi nunggu Belva, Pak,” jawabnya masih celingukan. Ia lantas berbalik saat yang ditunggu tak kunjung menampakkan diri. “Biasanya dia pulang jam berapa, Pak?”
Gadis itu kembali ke teras. Lalu, duduk di tempat semula sambil memerhatikan Pak Mail yang sedang merapikan rumput dan tanaman hias milik Satya.
“Kalau Pak Mail yang jemput jam segini udah pulang, Mbak. Tapi kalau pulangnya sama Mas Adam agak telat. Biasanya mereka mampir jajan dulu."
Hati Selva semakin tertusuk mendengar pemaparan pria yang mengabdi pada keluarganya lebih dari sepuluh tahun. Dari fakta-fakta tersebut, Selva semakin yakin jika hubungan Belva dan Adam bukan sekadar teman akrab.
Selva tertunduk lesu sambil memainkan jari-jarinya. Tarikan napasnya semakin panjang agar rongga d**a yang terasa sesak bisa sedikit lebih lapang.
Ia sudah berusaha untuk menahan, namun bulir-bulir bening itu tetap saja keluar dan menggenangi pelupuk. Ia tidak tahu jika patah hati rasanya sesakit ini. Terlebih, gadis yang memenangkan hati sang pujaan adalah saudara yang pernah berbagi rahim dengannya. Ia tidak bisa membenci meskipun ingin sekali melakukannya.
Tin!
Selva lekas menyusut air mata yang sudah menetes di pipi. Ia menoleh dan mendapati mobil Sinta sudah terparkir di halaman rumah. Dahinya mengernyit saat melihat wanita itu mengeluarkan sebuah koper kecil dari kursi penumpang. Seingatnya, mereka tidak membuat janji apapun.
Gadis dengan setelan rumahan bergambar beruang itu segera bangkit untuk menyambut sang ibu yang sudah berjalan ke arahnya. Sementara, Pak Mail yang sejak tadi memerhatikan mantan istri bosnya tersebut hanya bisa berdecak sambil menggeleng.
"Nggawe perkoro," gumamnya.
"Hai, Sel," sapa Sinta yang hanya ditanggapi dengan senyuman tipis, lalu mencium punggung tangannya.
Menyadari arah pandang putrinya, ia pun tersenyum dan menjelaskan, "Hari ini dan sampai beberapa hari ke depan, Ibu nginap di sini."
Selva yang terkejut langsung memprotes halus. "Kok, mendadak? Selva belum izin sama Papa."
"Jadi, kamu harus Ibu pulang lagi sampai dapat izin dari papamu, gitu?" tanya Sinta sedikit kesal.
"Bu–bukan gitu. Selva harus tanya Papa dulu. Biasanya kalau weekend, Papa ngajak ke rumah Eyang atau Oma," jelas Selva serba salah.
"Ck, Gampanglah. Nanti biar Ibu yang izin sama Papa kamu. Nggak mungkin dia larang Ibu kandung anaknya nginap di sini." Sinta merangkul pundak Selva dan membawanya masuk.
Namun, suara motor menghentikan langkah mereka. Keduanya kompak menoleh ke asal suara. Karena terhalang jeruji pagar, Sinta memicingkan mata untuk mengenali gadis yang baru saja turun dari motor skuter matik berwarna hitam.
"Belva baru pulang?"
"Hm. Dia ada latihan."
Sinta mengamati cara Selva memandang saudaranya. Ada kecemburuan yang terpancar dari sorot mata anak gadisnya itu saat si pemuda membantu Belva melepaskan helm. Ia yakin jika putri sulungnya menyukai pria tersebut.
Samar-samar mereka bisa mendengar suara keduanya yang sedang membahas beberapa kejadian yang mereka alami di sebuah taman. Tawa bahagia mereka berbanding terbalik dengan keadaan Selva yang mulai berkaca-kaca.
Tidak ingin sang putri semakin merana, Sinta membawa Selva masuk. "Jangan sedih. Masih banyak cowok yang lebih ganteng," ujarnya menghibur.
Sesampainya di dalam rumah, Sinta langsung mengatakan niatnya untuk menginap pada Kirana yang sedang menemani Galen bermain di ruang keluarga. Lalu, tanpa menunggu persetujuan dari si Nyonya rumah, Sinta melenggang pergi menaiki tangga menuju kamar Selva.
Bungsu Kamandanu itu hanya bisa tercengang. Toh, tidak ada gunanya melarang jika Selva saja memberikan akses selebar-lebarnya untuk Sinta. Biarlah ini menjadi urusan Satya. Dia sudah lelah berurusan dengan wanita-wanita di sekitar suaminya itu.
"Kok, baru pulang, Mbak?" tanya Kirana saat mendengar suara Belva.
"Maaf, ya, Ma. Tadi Belva diajak makan bakso dulu sama Kak Adam."
"Kalian pacaran?" tanyanya tanpa basa-basi.
Belva yang terkejut, langsung membantah dengan gerakan kedua telapak tangan. "Nggak, Ma. Kami cuma temenan."
"Temen apa demen?" goda Kirana sembari menaik-turunkan kedua alisnya dan mencolek dagu Belva.
"Sumpah, Ma! Cuma temenan. Kak Adam kan sering nolongin Belva. Jadi, nggak enak aja kalau nolak. Lumayan kan, makan gratis."
Kirana tertegun mendengar penuturan Belva. Sifat Satya yang satu itu ternyata turun pada gadis yang sedang mengganggu adiknya.
"Mbak …," Suara Kirana terdengar serius. Membuat Belva langsung menoleh. "jangan sering merasa nggak enakkan. Kalau orang itu tulus, dia nggak akan berharap imbalan apalagi ungkit kebaikannya.
Mama nggak melarang Mbak untuk balas kebaikannya Adam. Tapi … Mbak tetap harus hati-hati. Jangan sampai Mbak terikat dengan orang tersebut karena merasa berhutang budi."
"Iya, Ma. Belva ngerti. Makasih, ya, Ma udah ingatkan Belva." Gadis itu memeluk dan mengecup pipi Kirana.
"Ya, sudah. Mandi sana. Bentar lagi magrib."
"Em … Ma, Ibu nginap di sini lagi?
"Iya."
"Mama nggak keberatan kalau Ibu sering nginap? Kalau Mama nggak nyaman, ngomong aja."
Kirana terenyuh. Ia tidak menyangka jika gadis yang dulu membencinya setengah mati kini memikirkan perasaannya. Berbeda dengan Selva yang akhir-akhir ini bersikap tak acuh setiap kali ibu kandungnya berkunjung.
"Jujur aja, Belva agak risih kalau ada Ibu di sini. Suka semaunya." Gadis itu bergidik kala mengingat perilaku sang ibu yang suka memerintah layaknya bos.
"Hust nggak boleh gitu. Udah mandi sana! Parfumnya Adam nempel, tuh." Kirana kembali menggoda untuk mengalihkan pembicaraan.
Gadis itu berdecak dan memajukan bibir sambil menggerutu. Ia melirik Galen yang terlihat tenang dengan biskuit di tangannya. Senyum licik terbit di wajah Belva. Dan ….
"Huaaaaaa …." Galen menjerit saat Belva merebut biskuit lalu berlari menjauh.
"Ya ampun, Belva!!!" Kirana berteriak kesal. Sementara, gadis usil itu malah berjoget-joget mengejek Kirana.
***
Tidak akan ada ketenangan setiap kali Sinta hadir di antara mereka. Selalu saja terjadi perdebatan baik itu Kirana dengan Sinta, atau Selva dengan Belva yang memang berada di kubu yang berbeda.
Apalagi, malam ini Satya tidak ikut makan malam karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Terang saja Sinta makin leluasa memerintah layaknya tuan rumah. Ia bahkan duduk di kursi yang biasa ditempati Satya. Wanita itu juga memprotes menu makanan yang menurutnya kurang menggugah selera. Ayam goreng dan tumis sayuran.
Kirana yang sedang lelah memilih diam daripada mendebat. Lain halnya dengan Belva yang terang-terangan mengkritik sikap ibunya yang menurutnya keterlaluan dan tidak menghargai.
"Maaf, Bu. Sebagai tamu bukannya ibu harus menerima apa yang disuguhkan," ujarnya lembut, namun dengan tatapan tidak suka. Jujur saja dia sudah jengah dengan tingkah laku ibunya ini.
"Iya, kan, Sel?" Ia melirik Selva dengan senyum meremehkan. Mengingatkan pada saudaranya tentang perdebatan mereka sekitar tiga tahun lalu.
"Bukan nggak menghargai, tapi Ibu kurang suka sama menunya. Ibu nggak biasa makan makanan ini." Ia menatap tanpa minat pada makanan yang ada di hadapannya.
Selain untuk mencela masakan Kirana, Sinta berdalih demikian karena ia merindukan rasa dari steak daging wagyu yang biasa ia makan di restoran ternama. Berharap si Tuan rumah berkenan menawari lalu mengajaknya atau paling tidak memesankan makanan yang memiliki harga selangit untuk porsi yang sedikit itu.
"Maaf kalau makanan yang kami suguhkan nggak sesuai dengan selera Ibu yang high class. Kami terbiasa makan masakan rumahan." Susah payah Belva menekan emosinya untuk tidak meledak. "Jadi … Silakan Ibu pesan dan bayar sendiri makanan yang sesuai dengan selera Ibu."
Sinta terdiam. Ia melirik ke kanan, di mana Selva sedang menyantap makanannya dengan tenang. Gadis itu terlihat begitu menikmati masakan Kirana. Akhirnya, ia hanya bisa menghela nafas kesal.
Tidak ada lagi perdebatan. Mereka fokus pada makanan masing-masing. Sesekali Belva melirik ke arah ujung meja. Ia berdecih dan mencemooh Sinta yang terlihat lahap menikmati masakan Kirana yang katanya tidak menggugah selera.
Pukul sembilan malam, Satya baru tiba di rumah. Ia yang lelah, semakin kehilangan tenaga saat mendapati mobil sang mantan istri terparkir di belakang mobil istrinya.
Bahunya merosot, kepalanya disandarkan pada headrest. Matanya tertutup rapat dan mulutnya terus saja menggumamkan berbagai macam umpatan. Entah kesalahan apa yang telah ia lakukan, hingga selama dua hari berturut-turut kesialan terus menghampirinya.
Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan berulang kali ia lakukan demi meraih ketenangan. Merasa cukup, Satya segera meraih tas dan jasnya lalu keluar dari mobil.
Dia membuka pintu utama menggunakan kunci yang ada di gantungan kunci mobilnya, lalu mendorong daun pintu perlahan. Suasana gelap dan senyap menyambut kedatangannya.
Ia melangkah masuk setelah meletakkan sepatunya di lemari penyimpanan tanpa menyalakan satupun lampu dari ruangan yang ia lewati. Saat kakinya akan menapaki tangga, samar-samar ia mendengar suara seseorang dari teras belakang.
Ia membelokkan langkah menuju asal suara yang terdengar semakin jelas. Dengan gerakan perlahan dia menyingkap tirai, mengintip seorang wanita yang sedang berbicara melalui sambungan telepon.
"Minggu lalu kamu udah minta, sekarang minta lagi. Mau dapat uang darimana lagi aku!" Sinta terdengar kesal. Wanita itu menyugar kasar rambut pendeknya.
"Nggak! Aku nggak mau lagi!" Entah apa yang dikatakan dari orang di seberang telepon, hingga Sinta menolaknya dengan suara tegas.
Alis Satya mengernyit, ia semakin mempertajam pendengarannya. Saat Sinta kembali melontarkan penolakan yang disertai pemaparan yang membuat Satya mengaitkannya dengan sesuatu.
"Nggak! Aku nggak mungkin minta bantu dia lagi. Aku sudah terlalu sering pakai uang dia buat memenuhi permintaan kamu itu."
Tiba-tiba saja wajah Sinta berubah pias, matanya mulai memerah dengan alis yang nyaris bertaut. Sementara bahunya naik-turun menandakan jika nafasnya sedang memburu. Kemudian ia menggeleng sambil memohon. Hingga akhirnya …
"Oke, oke! Aku akan sediakan uangnya. Tapi beri aku waktu."
Sinta bernegosiasi. "Bagaimana kalau besok? Itu jumlahnya nggak sedikit. Aku juga butuh waktu untuk membujuk—."
"Membujuk siapa?" Satya keluar dari persembunyiannya. Sontak saja Sinta yang sedang panik langsung berjingkat hingga menjatuhkan ponselnya.
Wajahnya semakin pias saat mendapati Satya berdiri tepat di belakangnya. Seketika, debaran jantungnya menggila, rasanya organ pemompa darah itu akan meledak. Keringat dingin mulai bercucuran di kening.
Dengan tubuh yang masih bergetar, Sinta lekas mengambil benda yang tergeletak di lantai di samping kakinya. Ia menunduk tak berani menatap wajah datar Satya.
"Siapa yang mau kamu bujuk?" Pertanyaan tanpa nada yang disertai tatapan penuh intimidasi.
Sinta mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap sang mantan suami yang memancarkan aura gelap yang menakutkan. Sebisa mungkin ia mengulas senyuman terbaiknya di tengah kepanikan yang sedang melanda.
"Em … Bu–bukan siapa-siapa. Hanya teman kantor," kilahnya disertai dengan kekehan yang terdengar dipaksakan.
Dari gerak-geriknya, Satya tahu jika wanita di hadapannya ini sedang berbohong dan mencoba untuk menutupi sesuatu. Terbukti dari kedua tangan wanita itu yang saling meremas dan tubuhnya yang bergerak gelisah.
"Jangan berani mengusik putriku, apalagi berniat untuk memanfaatkannya. Karena kalau itu terjadi, kupastikan kau akan menyesalinya," ancam Satya.