Kisah Cinta Nayyara dan Liam | 4

1613 Words
Meida membantu mengurut kaki Liam setelah pria itu membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Tepatnya di ruang keluarga megah itu, mereka berdua di sana dengan keadaan telivisi menyala. Menyiarkan sebuah berita harian terkini di daerah itu. "Apa kamu mengenal gadis itu, Liam?" tanyanya sambil mengurut, sesekali tatapannya mengarah pada Liam. Meida, berusia dua puluh lima tahun. Dia teman Liam sedari kecil. Jika kalian mengira dia adalah gadis kaya raya--hidup dengan segala kemewahan seperti Liam, maka salah besar. Meida adalah gadis yatim piatu sejak bayi. Dia dibesarkan di salah satu panti asuhan yang dikelola oleh keluarga Liam sejak dulu. Meida sering mengunjungi kediaman Liam, biasanya setiap hari Liam yang menjemputnya ke panti. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk sekadar jalan-jalan sore seperti tadi. Kebetulan panti asuhan berada tidak jauh dari taman itu. Liam mengalihkan pandangan dari televisi ke arah Meida. "Hem, tidak juga. Tapi kami pernah bertemu sebelumnya." "Benarkah? Dia lucu, aku sampai ingin tertawa melihatnya tercebur ke kolam tadi." Liam mengangkat bahu. "Dia konyol, dan bar-bar sekali. Di pertemuan pertama kami, dia mengomeli Pak Vio karena mengemudikan mobil tidak hati-hati. Kemudian yang kedua tadi, lagi-lagi dia basah kuyup karea ulahnya yang sulit di mengerti." Meida tertawa singkat, dia menyudahi kegiatannya mengurut. "Sudah selesai. Besok kaki kamu sudah sembuh. Cuman terbentur sedikit, mengakibatkan kram sebentar." "Kamu beneran mau pulang sekarang? Tidak makan malam di sini saja?" tanya Liam memastikan. Meida yang membereskan barang-barangnya ke dalam tas menggeleng yakin. "Aku harus membantu bunda menyiapkan menu makan malam bersama anak-anak yang lain. Mereka pasti mencariku karena pergi terlalu lama hari ini." Liam mengangguk. "Ya sudah, aku yang akan mengantarmu." "Tidak, Liam. Kamu tetap di rumah saja, kaki kamu jangan di bawa gerak dulu nanti lambat sembuh. Aku baik-baik aja sama Pak Vio, dia akan mengantarkanku seperti biasanya dengan selamat sampai tujuan." Liam mengangguk saja pada akhirnya, menurut. "Kalau mau pamit sama Mami kayaknya dia berada di halaman belakang mengurus anak-anaknya--yang tidak lain ialah tanaman, kamu jauh lebih paham dariku bukan?" Meida tertawa. "Baiklah. Aku mau mendatangi tante Naura dulu, pamit pulang sebelum dia mengirimkan pesan dan menghubungiku berkali-kali karena menghilang tanpa sepengetahuan dia--tak berpamitan, aku kebiasaan ... lupa." "Iya, ya sudah sana gih." Meida melambaikan tangan. "Aku pamit, kamu jangan lupa banyak istirahat ya. Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan sore ini. Aku senang." "Sama-sama." Liam menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. "Kamu jangan lupa dengan Ella, kamu tinggalkan nanti nangis dia," pesan Liam mengingat Ella--bocah kecil yang juga tinggal di panti--dia sangat lucu dan menggemaskan, selalu ingin ikut dengan Meida jika dia bepergian ke luar persis seperti layaknya seorang anak dan ibu. Tidak heran kenapa Liam sering mengingatkan Meida tentang banyak hal, dia pelupa tingkat akhir. Sangat, sangat tidak tertolong lagi. Bahkan Ella pernah dia tinggal di mini market, entah bagaimana persis ceritanya. "Iya. Ella sudah bersama Pak Vio sekarang, mungkin lagi ngasih makan ikan di kolam depan. Aku ingat dia, nggak bakal aku tinggal lagi." "Sulit dipercaya omongan kamu soal ini. Jangankan untuk mengkhawatirkan orang lain, pada barang sendiri pun sering lalai." Liam berdiri, mengacak-acak rambut Meida gemas. "Udah gih sana, nanti banyak ngobrol di sini malah makin kelupaan." Meida memukul lengan Liam. "Iyaaa, Tuan yang baik hati." Setelah itu dia beranjak menuju halaman belakang menghampiri Sonya untuk berpamitan sebelum pulang ke panti. Bagi Meida, keluarga Liam benar-benar baik dan hangat. Meski Meida terlahir bukan dari keluarga yang berada mereka merangkul dengan penuh kasih. Memberikan yang terbaik untuk anak-anak panti dan juga orang kecil di luar sana. Meski harta mereka berlimpah, tidak sedikitpun terdapat sifat tinggi hati serta angkuh. Keluarga Liam sangat merakyat, ada banyak orang yang mencintai mereka. *** Nayyara sedang duduk bersama Andara di ruang keluarga, menonton televisi bersama sambil mengobrol kecil sehabis makan malam. Nayyara nampak tak terlalu tertarik dengan acara televisinya, tidak ada yang seru menurut gadis itu. Namun setelah menggonta-ganti channelnya, Nayyara membulatkan mata mendapat sosok Liam sedang di wawancarai awak media mengenai perusahaannya yang kian meningkat setiap tahunnya. Pria itu nampak gagah dengan setelan jas kerjanya berwarna abu-abu, wajah yang sangat tampan itu tidak menyurutkan senyum sama sekali sepanjang menjawab beberapa pertanyaan. Nayyara yang menonton, ikut menyunggingkan senyum malu-malu kucing. "Ayah tahu siapa dia?" tanya Nayyara menunjuk Liam. Andara melihatnya sebentar, lalu mengangguk. "Kenal. Liam Alexander, pengusaha hebat sekaligus keluarga terkaya nomor satu di ibu Kota ini." Mata Nayyara berbinar terang. "Benarkah, Yah? Apa Ayah kenal dia? Pernah bertemu untuk membicarakan satu pekerjaan yang sama?" Lagi, Andara mengangguk. "Ayahnya--Rio--teman Ayah semasa sekolah dulu, istrinya juga ... si Naura. Kami bahkan satu kelas selama tiga tahun di SMA. Sampai sekarang kami masih saling berkomunikasi dengan baik, bahkan Ayah bersama keluarga Alexander mengurus panti asuhan Kasih Bunda bersama sejak lima tahun terakhir." Nayyara berdecak senang. Dia seperti memiliki kesempatan besar untuk mendekati Liam. "Ayah pernah ngobrol bareng Liam dong? Gimana orangnya, apa dia baik?" "Iya, sangat ramah." "Ah, Nayyara suka dia!" Nayyara berkata jujur. Membuat Andara mau tidak mau akhirnya tertawa. Andara mengusap puncak kepala putrinya itu. Usia yang membentang jauh membuat Andara mengira Nayyara hanya bercanda. "Suka hanya dengan melihatnya di televisi?" Nayyara menggeleng. "Lalu?" "Kami sudah bertemu dua kali. Aku jatuh cinta padanya Yah. Ini pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang berbeda, cuman sama dia." Nayyara menghitung sesuatu menggunakan jari jemarinya. "Ada banyak lelaki yang aku bilang ganteng, tapi hanya Liam yang memesona. Sampai buat mulut mercon aku ini kehabisan kata-kata." "Aduh anak Ayah. Bagaimana bisa kamu menyukai Liam? Dia bahkan lebih cocok jadi seorang Paman untuk kamu. Usianya akan menginjak kepala tiga, sementara kamu genap dua puluh tahun saja belum." Nayyara memajukan bibirnya. "Akan menginjak, berarti belum kan Yah? Tidak masalah deh soal umur, hati siapa yang sangka. Yang terpenting, dia tidak memiliki istri dan anak kan?" "Ya setahu Ayah Liam belum menikah. Tapi sepertinya akan ... dia dekat sekali dengan Meida--salah satu gadis cantik yang tinggal di panti. Mereka bersama sejak kecil, sepertinya Liam menyukai sosok Meida yang mandiri dan cerdas. Ada beberapa kabar berita yang membeberkan soal hubungan keduanya." "Benarkah? Masih simpang siur ah kabarnya, yang pasti belum menjadi milik orang lain. Aku masih punya kesempatan meski sedikit, tidak salahnya berjuang dulu." Nayyara mengangguk-anggukkan kepalanya seolah membenarkan apa yang sedang dia ucapkan tadi. Wajah cantiknya sangat serius, dia memikirkan banyak cara untuk mendapatkan ide cemerlang. "Aku suka Liam, dia cuek-cuek manja gitu. Ngegemesin banget." Andara menggelengkan kepala. "Liam juga memiliki adik laki-laki, tidak kalah tampan. Sekarang dia tinggal di Amerika untuk mengenyam pendidikan dan mengurus perusahaan yang ada di sana. Mereka berdua sama-sama hebat dan bibit unggul pastinya." "Usianya?" "Tiga tahun lebih muda dari Liam, seingat Ayah sih begitu." "Ah, tetap aja aku sukanya sama Liam. Udah fix, nggak bisa diganggu gugat lagi. Nanti kalau Ayah ke panti, jangan lupa ajak aku sekalian. Aku pengen ketemu Liam dan Meida juga. Aku pengen kenalan sama rivalku." "Tumben sekali ingin ikut ke panti, biasanya malas. Lebih memilih ke rumah Shaleta." "Kali ini aku berpindah haluan, tujuan paling penting ialah Liam. Udah, yang lain nggak penting. Bisa lain kali." "Aduh, Sayang, tidak perlu bicara begitu. Sebaiknya kamu sukai lelaki seumuranmu saja, ada banyak sekali lelaki tampan di kampusmu. Bukankah begitu? Nayyara mengangguk. "Benar, tapi tidak ada yang membuat aku terpesona seperti pertama kali bersitatap dengan Liam. Aku deg-degan banget bertemu dengannya, kayak ada sesuatu yang mau meledak dalam dadaku, Yah. Tadi sore, Liam-lah yang menolongku saat tercebur ke kolam. Ya ... meski dia sedang jalan-jalan bersama seorang perempu---Ah, jangan-jangan dia si Meida yang Ayah maksud tadi?" Nayyara melotot, mulutnya terbuka sambil manggut-manggut. Kembali hiperbola, kebiasaan! "Rambutnya panjang bergelombang, kurang lebih seperti kamu. Matanya bulat juga, cantik jika tersenyum. Manis sekali wajahnya." Nayyara mendesis tajam. "Ayah nggak boleh mengagungkan gadis lain selain putri Ayah. Aku jauh lebih cantik dari semua gadis di dunia ini, bukankah kata Ayah begitu? Lalu sekarang ... kedengarannya Meida lebih segalanya daripada aku." Kemudian membuang muka kesal, kedua tangannya terlipat di depan d**a. Andara tertawa kecil. Dia mengecup puncak kepala Nayyara. "Bukan begitu, Sayang, Ayah hanya mencoba menggambarkan sosok Meida. Putri Ayah memang lebih cantik, segalanya pokoknya buat Ayah. Tidak bisa digantikan oleh apa pun yang ada di dunia ini, lebih lebih berharga dari dunia dan seisinya." Senyum Nayyara terlukis indah. Kemudian Nayyara memeluk Andara erat. "Aku sangat menyayangi Ayah, pria pertama yang aku cintai. Mengenalkanku dengan banyak kebahagiaan, warna-warni dunia, dan guru terbaik untuk menjadikan aku anak yang manis. Ya ... meski kelakuanku begini, Ayah tak pernah marah. Terima kasih karena selalu menyayangiku ya, Yah. Aku tidak pernah merasakan hangatnya pelukan Mama, tapi Ayah sudah memberikan semuanya--lebih dari cukup, lebih dari yang aku inginkan hingga tak pernah merasa sepi dan kekurangan. Bahagia aku sempurna, cukup ada Ayah di sisiku." Andara tidak pernah menyangka dia dapat bertahan dan mampu membesarkan Nayyara tanpa istri tercinta. Dia dulu begitu rapuh, syukurlah Tuhan menitipkan Nayyara sebagai penyemangat hidup. Tuhan sangat adil, dia tahu di mana letak bahagia kita meski orang-orang yang kita cintai harus kembali ke dalam pelukannya. Tuhan menggantikan dengan orang baru yang tak kalah berharga. Percaya dengan takdir, Tuhan akan menyelamatkanmu dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Sedih dalam kehidupan pasti ada, tapi percayalah jika kebahagiaan juga bersamanya--di balik tangis, pasti ada tawa. *** Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karyaku. Semoga "Kisah Cinta Nayyara dan Liam" tak kalah seru dengan cerita lainnya. Akan aku usahakan membuat cerita sebagus mungkin, untuk memuaskan kalian semua. Love! Maaf jika terdapat kesalahan kata dalam setiap penulisanku. Jangan lupa tap love untuk menyimpan cerita ini di library dan tinggalkan komen untuk memberikan semangat. Hehehe .... Satu komen dan love dari kalian, berharga sekali. Terima kasih banyak. Muachhh! Salam manis, Novi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD