"Nggak!"
Rose menangis histeris saat papa dan pihak keluarganya datang dan memburu Rose di kamarnya. Tadinya dia berlari dari ruang tengah saat sang ayah mengatakan bahwa akad akan dilangsungkan lusa. Pernikahan dengan Alexander.
"Nggak, Pa! Nggak gitu," lirih Rose. "Pak Narendra udah tau semuanya. Dia ngasih Sam kesempatan untuk hubungan kami. Tolong, Pa. Tunggu sampai Sam balik. Dia-"
"Pak Narendra sendiri yang mengusulkan ini!"
Rose terkejut. Lututnya lemas hingga jatuh terduduk di tepi kasur. Narendra mengkhianati putranya sendiri.
"Semua itu cuma rencana Pak Narendra. Rose! Dia ayahnya. Dia yang paling tau Sam. Pak Narendra sengaja membohongi Sam supaya dia nggak mengganggu pernikahan kalian. Beliau ngasih putra terbaiknya untuk kita. Harusnya kamu bersyukur!"
Pekik papanya itu menghancurkan hati Rose. Bukan hanya karena pernikahan akan diselenggarakan, tapi sang kekasih yang begitu polosnya mempercayai sang ayah.
"Kalian jahat. Kenapa kalian lakuin ini?"
Tak ada yang bisa dia lakukan. Menghubungi Samantha juga terasa mustahil. Hari itu, dia dibawa pergi ke rumah Keluarga Atmadja yang sudah dihias begitu indah. Akad akan segera digelar. Entah apa yang membuat Narendra begitu berkeras ingin pernikahan ini dipercepat.
"Sam, tolong aku," lirih Rose.
Saat keluarga sibuk, Rose mencari cara untuk menggagalkan pernikahan. Pertama kali dia menemui Pak Narendra di ruangannya. Sempat dia marah atas perbuatan pria itu pada putranya.
"Kenapa, Pak? Sam juga putramu, kan? Lalu kenapa hanya memikirkan kebahagiaan Alex? Kami saling mencintai. Kenapa berbuat securang ini? Dia percaya pada Anda, tapi Anda mengkhianatinya," lirih Rose.
Narendra menatap sendu. Dia berjalan ke hadapan Rose, lalu mengusap sebentar puncak kepalanya.
"Ayahmu itu sahabat baikku. Saat ini perusahaannya sedang mengalami kesulitan dan aku membantunya. Bukan cuma itu, aku juga ingin memiliki hubungan lebih jauh dengan dia. Yaitu keluarga. Aku ingin kamu jadi menantuku, Rose."
"Aku tau!" Rose mulai kesal, menjauh selangkah dari Narendra. "Lalu kenapa harus Alex? Yang kucintai itu Sam! Bukan Alex!"
"Alex sudah di usia matang untuk menikah, Rose. Dia juga pria yang baik dan bertanggung jawab. Bukannya aku membedakan putraku, tapi Alex lebih mantap untuk menatap masa depan dibanding Samantha."
"Siapa yang tau masa depan nanti, Om? Sam-"
"Kamu hanya sedang kasmaran saja. Buat Sam, kamu hanya salah satu koleksinya. Percayalah! Aku mengenal putraku puluhan tahun. Dia belum serius denganmu, Rose."
Tak ada harapan. Rose berkeliling seperti orang gila. Bagaimana cara menghubungi kekasihnya itu? Rose putus asa, kembali ke kamarnya untuk menenangkan diri dalam tangisan. Satu jam berlalu, waktu tersita dengan menangis. Lantas, dia teringat pada Han, sahabat Samantha yang dia temui saat itu.
Sementara itu, Han semakin tak terima dengan permainan Narendra Atmadja ini. Dia segera mendatangi Narendra Atmadja, ayah dari dua bersaudara itu yang terlihat sibuk memantau persiapan di halaman samping.
"Kenapa Pak Narendra ngelakuin ini?!"
Narendra berbalik saat mendengar putra dari pelayan di rumahnya itu menaikkan suara dengan nada tinggi, terdengar tak sopan.
"Han!" tegur ayahnya yang berada tak jauh dari mereka. Beliau mendekati Han, menarik tangannya agar berlalu. Akan tetapi, pijakan Han tak bergeser. Dia ingin berontak pada pria berdarah Tionghoa tersebut.
"Bapak tau sendiri perasaan Sam pada Rose, kenapa Bapak tega bohong sama Sam?" pekik Han.
Pak Narendra tak marah. Beliau mendekati Han, memasang wajah teduh untuk menenangkan anak dari pelayannya itu.
"Han, kamu sahabatnya. Kamu tau bagaimana kelakuan dia pada wanita. Edward itu sahabatku. Aku bisa malu kalau sampai putrinya dimainkan Sam. Lebih baik sama Alex saja."
"Tapi-"
"Sudahlah! Kamu berlebihan sekali. Itu paling Sam juga nggak menderita seperti yang kamu pikirkan. Satu bulan saja pasti dia sudah cari gandengan yang baru."
Rose menangis lirih karena Han juga tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tak sanggup menentang keinginan sang papa. Hanya bisa menangis dan memohon untuk tak dinikahkan dengan Alexander. Han juga pasrah. Dia tak menghubungi Samantha yang berada jauh di sana. Sepertinya Narendra melakukan sabotase agar Han sama sekali tak bisa dihubungi. Temannya itu hanya meninggalkan nomor pria bernama Rizky yang akan tinggal bersamanya.
*
Rose telah berjanji akan bungkam pada Alex perihal hubungannya dengan Samantha. Semua berjalan terlalu cepat tanpa bisa mereka kendalikan.
Saat Han berpapasan dengan Rose, pria itu hanya menggeleng. Dia pun mendekati Rose untuk menenangkan.
"Aku nggak tau nomor telepon tempat yang dia tinggali di sana. Nggak ada fasilitas komunikasi apa pun yang bisa kulacak, Rose. Aku nggak tau bagaimana mencegah semua ini!" ujar Han.
Tak ada harapan. Tujuan terakhirnya adalah Alexander. Harusnya mereka tak boleh bertemu, tapi Rose berupaya keras untuk meminta bantuan calon suaminya itu.
Alexander terkejut saat Rose masuk ke kamarnya. Sedikit canggung untuk menyambut.
"Eh, hai. Kenapa kamu ada di sini?" tanya Alexander.
Rose mengurangi jarak mereka. Sejak tadi pikirannya dibayangi akan janji bahwa dia tak boleh menceritakan hubungan rahasianya dengan Samantha.
"Aku nggak mau menikah."
Alexander belum menyahut. Meski sedikit shock, dia belum bertanya lanjut. Gadis itu menunduk, mengurai air mata yang jatuh.
"Aku belum mau nikah sekarang, Mas."
Alexander mendekati. Dia tersenyum sambil mengusap kepala Rose, meminta untuk mengangkat wajahnya.
"Apa papaku memaksamu? Atau ada alasan lain kenapa kamu nggak mau menikah denganku?" tanya Alexander, sesantun mungkin.
Rose mendadak cemas. Teringat akan perkataan Samantha bahwa janji yang dilanggar akan berdampak buruk. Dia pasrah, mengusap air matanya untuk melepas rasa sakit.
"Aku nggak mencintai Mas. Bagaimana bisa menikah tanpa cinta?" lirih Rose.
"Cinta? Aku juga nggak tau apa itu cinta, Rose. Kita bisa belajar bersama, saling mencintai dan menghargai. Tapi ... aku nggak akan paksa kamu apa pun itu jika kamu belum bersedia. Aku ingin hubungan dari hati, Rose," kata Alexander.
Alhasil, Rose tak berhasil membujuk Alexander. Semalaman berlalu dan Rose mengalami tekanan hebat. Bukan hanya diancam akan keruntuhan usaha sang ayah, juga rasa sakit karena tak memiliki daya untuk melawan. Samantha yang meninggalkannya seorang diri saat ini. Tanpa siapa pun yang bisa menggenggam tangannya.
Keesokan harinya, Han hanya menatap nanar kejadian itu. Akad berlangsung tanpa Samantha. Urai ijab kabul menjadi momok tersendiri bagi Han. Sahabatnya telah dikhianati. Gadis itu bukan miliknya lagi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosea Carmila binti Edward Sanjaya dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai dua juta rupiah dibayar tunai."
Rose menyerah. Tak tahu siapa yang harus disalahkan. Samantha meninggalkan beban berat di pundak Rose yang tak bisa mengatakan rahasia itu pada Alexander. Mimpi buruk akan dimulai.
*
Satu jam berlalu setelah akad. Tak ada bias senyum di wajah Rose. Alexander mengira itu hanya karena sang istri belum mencintainya dan terpaksa menikah karena bisnis. Ya, Rose adalah istrinya.
"Akad aja dulu, ya! Nanti resepsinya nungguin Sam pulang. Maaf, tapi aku sayang sekali sama adikku. Ini aku juga nggak tau kenapa akadnya jadi dadakan gini?"
Alexander berkata pada Rose dengan sungkan. Wanita itu bungkam, hanya mengangguk dan sesekali memperhatikan Han di sudut sana. Kenyataannya adalah dia telah menjadi milik pria lain. Pria yang Rose pikir sebelumnya akan jadi kakak iparnya, tapi justru menjadi suaminya.
"Ya sudah, masuk ke kamar saja sekarang. Nanti tamunya, biar papa sama yang lain yang ngurusin," sahut Narendra, meminta putranya itu untuk melancarkan ritual paling penting setelah akad, tentunya.
Rose mengikuti Alexander untuk masuk ke kamar. Ruangan di lantai dua yang cukup besar. Sangat indah dihias ornamen pengantin. Alexander nampak canggung, lebih dulu mendekati lemari untuk mencari pakaian ganti.
"Kamu berberes aja dulu. Aku mau mandi."
Rose tak menyahut. Pria itu masuk ke toilet sementara dia membereskan make up di depan cermin. Hidupnya telah dipermainkan. Dirinya menjadi menantu untuk posisi yang tak diinginkan.
Setelah melepas ronce melati itu, Rose berjalan ke sisi lemari. Ada tas besar koper yang berisi pakaiannya. Selanjutnya, ini adalah rumah yang harus dia tempati.
Sementara itu di toilet, Alexander menatap cermin dengan binar ragu. Lebih dari setengah jam, dia enggan keluar. Teringat bahwa sehari sebelumnya, Rose menangis agar mereka tidak menikah.
'Aku nggak akan paksa dia kalau belum siap. Tapi apa mungkin suatu saat dia bisa jatuh cinta padaku sementara hatinya terpaksa begini?'
Berpikir dan melelahkan. Sesaat dia menghapus kasar wajahnya, juga rambutnya yang basah.
"Lo masih lama baliknya, Sam? Gue pengen cerita. Maaf, Lo nggak ada di sini. Gue nggak tau kenapa bokap tiba-tiba gelar akad dadakan gini."
Alexander menarik sepasang baju santai, hanya kaos oblong hitam dan celana training biru menjadi pilihannya untuk tampilan hari ini.
'Ya udah, lah! Nggak mau tidur bareng, juga. Mikir apaan, sih, lo?'
Alexander keluar dari toilet dengan langkah malas. Saat masuk ke kamar, dia terkejut karena Rose hampir menurunkan kebayanya. Bagian depannya sudah jatuh setengah, tapi sepertinya resleting bagian belakang belum tandas sampai ke pinggang. Wanita itu menarik bantal di sisi kasur untuk menutupi dadanya. Sementara itu, Alexander berbalik sebab canggung.
"Maaf. Aku nggak sengaja. Ya-ya udah. Aku keluar aja dulu. Mungkin kamu mau ganti pakaian," kata Alexander dengan wajahnya yang merah karena malu.
Sempat beberapa detik dia menikmati tubuh molek bagian depan itu, membuat otaknya sudah berkeliling fantasi dengan jantung yang terus berdebar.
Rose ragu saat menatap suaminya itu hendak keluar. Sebenarnya dia sangat kesulitan membuka resleting itu. Kebayanya didesain dengan resleting bagian punggung hingga tulang ekor. Begitu cantik dan elegan hingga Rose takut merusak pakaian cantik itu.
"Mas!"
Alexander terhenti, belum berbalik karena takut Rose berpikir dia tak sopan.
"Ya?"
"Anu, ini bisa tolong bantu bukain? Macet. Nggak nyampe tanganku, Mas."
Alexander berbalik dan menatap istrinya itu menunduk sebab malu. Ragu, Alexander melangkah mendekati Rose yang sedang berdiri di dekat jendela. Hanya berjarak satu meter, lalu Rose berbalik dan memberikan punggungnya pada Alexander. Kancing itu sudah terbuka setengah, melewati batas kait bra-nya. Mungkin sedikit tersangkut hingga Rose merasa tak nyaman.
Sejak tadi Alexander hanya menghela napas, ragu-ragu untuk menjangkau kancing itu karena matanya begitu gugup menikmati punggung molek wanita berdarah campuran Eropa ini.
"Tolong, Mas!"
Alexander meneguk ludah. Pelan-pelan dia menurunkan kancing itu. Tak sengaja menyentuh punggung Rose dengan jarinya, dadanya berdesir menikmati permukaan kulit lembut sang istri.
'Nyiksa banget ini, Ya Tuhan!'
Macet tepat di pinggang. Sejak tadi Rose mulai tak nyaman dengan sentuhan pria yang adalah suaminya, tapi terasa asing di hatinya.
Alexander menarik keras hingga resleting itu jatuh tandas, menampilkan punggung terbuka Rose dengan lebar.
"I-ini gimana? Jadi robek semua," kata Alexander, bingung.
"Ini nyewa atau beli, Mas?" tanya Rose, ikut takut karena kebaya cantik itu robek.
Alexander mengurangi jaraknya. Haruskah dia mengambil kesempatan melihat pinggang ramping Rose sementara tangannya baru saja merusak kebaya mahal itu?
"Mas!"
"Oh, ini beli. Cuma kalau gini, kan, nanti nggak bisa dipake lagi. Sayang aja," kata Alexander, bingung.
Rose tak menyahut Lagi. Masih memberi punggungnya, dia mulai menjatuhkan kebaya dari sisi tangan kirinya. "Makasih, Mas."
"Iya."
Satu dua langkah, Alexander melihat istrinya itu tak ragu melepas kebayanya. Walau hanya menampilkan punggungnya saja, Alexander tetap meneguk ludah. Molek sekali badan istrinya ini. Sayang, tak bisa disentuh. Alexander menatap miris.
'Sabar, Lex. Ada saatnya nanti.'
Alexander pergi dari kamar itu. Sebenarnya tadi Rose hanya ingin mengujinya saja. Usai pintu itu tertutup, Rose akhirnya menyerah sedari tadi menahan kesedihan. Jika malam ini Alexander menyentuhnya, maka tak ada takdir yang tersisa antara dia dan Samantha.
*
Malam harinya, Narendra menarik tangan Alexander yang seharian ini berada di luar kamar. Sibuk berkeliling karena tak punya tujuan. Dia tak bisa masuk dan mungkin mendapati istrinya nanti sedang telanjang di dalam sana.
"Udah malam, Lex. Masa mau di sini aja? Tidur, sana!" keluh Narendra sambil menarik tangan Alexander.
"Iya, Pa. Aduh, nanti aku masuk, kok. Aku masih ada perlu."
"Dih, anak ini! Culun sekali! Sana masuk! Bikinin papa cucu yang ganteng."
Alexander tak ada pilihan lain selain masuk ke kamar. Bernapas sedikit lega, istrinya itu berada di atas kasur dengan piyama lengkap.
"Belum tidur, Rose?" tanya Alexander, ragu.
Tak ada jawaban. Rose sangat takut jika Alexander menyentuhnya malam ini. Pria itu duduk tepat di sampingnya, menatap wajah ragu dan takut wanita ini dengan menunduk.
"Jangan takut!"
Rose mengangkat wajahnya, lalu menoleh pada Alexander yang sedang duduk di sampingnya.
"Aku nggak akan paksa kamu. Berteman dulu juga boleh. Dan ya, aku cuma pengen istriku juga mencintaiku nantinya."
Senyum pria itu sangat indah, tak ingin berbalik menatap istrinya ini.
"Kamu percaya atau nggak, tapi aku udah jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Setelah ini, aku akan bersabar sampai kamu siap, Rose."
Rose tergugah dengan kesungguhan pria ini. Akhirnya, malam itu berlalu tanpa saling sentuh. Tidur dengan saling memunggungi. Alexander menikmati detak cintanya, sementara Rose menanti waktu kapan Samantha akan kembali pulang.
'Tolong pulang, Sam. Kakakmu pria yang baik. Aku nggak bisa menipunya lagi dan membuat dia lebih mencintaiku nantinya.'
Cinta mungkin akan berjalan seiring waktu. Itulah yang dipercaya Alexander. Mungkin lewat sentuhan atau tatapan mata, semua bisa dirajut.
Tengah malam dia terbangun dan mendapati Rose tertidur sangat dekat dengannya. Tangan wanita itu melingkar tepat di atas badan Alexander. Pria itu sedikit nyengir, menahan hasrat karena sebenarnya dia terbangun sebab ingin buang air kecil.
'Aduh, kebelet. Tapi ini momennya lagi bagus banget,' bisiknya.
Alexander menahan hanya untuk menatap wanita itu lebih dekat. Detik berlalu hingga dadanya terus berdentum keras. Jakunnya naik turun, begitu berhasrat hanya dengan menatap bibir manis Rose.
'Aduh, pengen. Boleh, nggak ya?'
Bukan bibir, Alexander hanya berani mencuri ciuman di dahi Rose. Hari kedepannya, dia akan berjuang sekuat tenaga untuk meluluhkan Rose.
*
Cinta mana yang diperjuangkan? Samantha masih begitu optimis menyambut ujian di depan mata. Dua hari berlalu tanpa lelah belajar. Sesekali dia mengisi waktu dengan menulis agenda itu.
"Aku udah mau nganterin makan malam, tapi piring makan siang kamu aja masih penuh," keluh Rizky saat masuk ke kamar Samantha.
Putra Narendra itu masih tekun pada buku tebal di atas meja. Hanya senyum tipis yang dia uraikan, lalu mengusap hidungnya yang terasa dingin sebab udara luar.
Flu. Samantha yang tak bisa tahan dingin, akhirnya terserang flu. Apalagi jendela kamar yang dibiarkan terbuka sedikit selama seharian untuk menemaninya belajar.
"Kamu sakit? Mau aku ambilin obat?" tawar Rizky.
"Nggak usah, makasih. Ini aku memang alergi dingin, sih. Selalu flu kalau udara dingin gini."
"Ya udah. Itu makan siangnya tolong diabisin dulu, dong!"
"Iya. Makasih."
Setelah Rizky pergi, Samantha kembali belajar. Buku-buku tebal yang lain menjadi incarannya.
"Rose!"
Saat teringat sangat kekasih, menulis adalah hal yang harus dia lakukan. Dibukanya lembaran yang lain, hendak menulis isi hatinya hari ini pada agenda cokelat itu.
[Dear, Sayang. Aku bosan belajar terus. Jadi ngulang kayak nol lagi, nih. Nyesel banget dulu selalu absen masuk kelas. Kalau tau aja kuliahku bisa buat modal lamar kamu, aku pasti lebih rajin datang.]
Samantha segera mendongak saat lembar putih kertas itu dinodai merah darah yang jatuh dari hidungnya ketika dia menunduk. Dijepitnya hidungnya itu, berharap mimisannya segera berhenti.
"Kenapa biisa kambuh lagi, sih? Apa karena terlalu dingin, ya?"
Samantha beranjak dan mengambil sepotong kaos untuk membersihkan darah yang belum berhenti menetes. Bersandar di dinding sebentar, lalu menekan hidungnya agar darah itu tak keluar lagi.
'Jangan sakit, Ya Allah. Tesnya tinggal dua hari lagi. Tolong. Ini hidup dan masa depanku,' batin Samantha.
Hari-hari yang dilalui untuk menjemput sang kekasih di sana. Tak dia ketahui, wanita itu bukanlah kekasihnya lagi, melainkan kakak iparnya.
*
Han sudah tak tahan lagi dengan segala kekhawatirannya. Siang itu, dia pergi ke kamar Narendra untuk mengatakan hal penting.
"Aku akan susul Samantha ke Inggris. Tolong beri alamat jelas dan nomor teleponnya!"
Narendra hanya diam, lalu beranjak mendekati Han. "Itu tugasmu selanjutnya. Jika kenyataan nanti tak bisa ditanggungnya, aku berharap kamu bisa menggantikan aku untuk menghiburnya."
"Baiklah!"
Narendra tak hanya menuliskan alamat dan nomor di secarik kertas kosong itu. Dia juga menyerahkan sejumlah uang pada amplop.
"Tolong jaga Samantha. Aku yakin dia bisa melalui semua ini."
Setelah berkemas, Han bersiap pergi menuju Inggris. Rose pun berlari saat melihat Han mendekati taksi.
"Han."
Han terhenti, menatap serius. "Ada apa?"
Rose menghapus air matanya, lalu bicara dari hati akan penyesalannya.
"Tolong bawa pulang Sam. Aku janji akan bijak dan nggak ninggalin dia."
Han mengangguk. Dia bersiap menjemput Samantha dan mengutarakan kebenarannya. Taksi itu berhenti dan membawa Han ke bandara. Perjalanan untuk mengungkapkan kebenaran tentang pengkhianatan pria bernama Narendra itu pada putranya sendiri. Akankah Samantha bisa menerimanya tanpa harus terpuruk?