Bab 20. Melarikan Diri

1789 Words
Rose bangun tidur dan mendapati suaminya masih terlelap. Ditatapnya lekat wajah itu, merasa kasihan akan hasil test kemarin. Belakangan ini dia sangat benci akan sikap arogan Alexander. Dia takut rasa sayangnya akan terkikis seiring hadirnya Samantha dalam rumah tangga mereka. ‘Aku harap kamu bisa jadi Alex yang dulu, Mas. Dengan begitu, aku nggak akan berbalik pada Sam. Kamu tau? Samantha itu godaan termanis yang diberikan takdir padaku.’ Sebelum beranjak, Rose memberikan satu ciuman manis di bibir suaminya itu, lalu turun untuk membersihkan diri di toilet. Alexander membuka mata, menyentuh bibirnya yang tadi dikecup istrinya itu. ‘Aku nggak tau, Rose. Aku harap ini Cuma firasatku saja. Apa mungkin kamu goyah karena Sam kembali lagi dalam hidup kita?’ Rose hanya ingin membentengi diri dari Samantha. Sikap arogan Alexander hanya akan membuat Samantha menjadi tempat perlindungan terhangat bagi Rose. * Siang hari yang tak terlalu terik. Rose mengawasi Ruby yang sedang bermain di taman. Si kecil itu sudah kembali lincah bermain setelah sebulan masa perawatan. Wanita itu duduk di atas bentang tikar biru dengan beberapa kotak camilan untuk menemani si kecil. “Ruby!” Keduanya menoleh saat mendengar panggilan dari arah pagar. Samantha muncul sambil menenteng shopping bag di tangannya. Bergegas Ruby turun dari ayunan, berlari ke arah Samantha yang menyambutnya. “Om Sam!” Samantha menggendong si kecil Ruby, lalu duduk di tikar bersama Rose. Si kecil itu sangat bahagia saat membongkar isi belanjaan Samantha yang berisi mainan dan banyak camilan. Juga ada permen dan makanan manis lainnya. “Kata papa, nanti gigiku bolong kalau makan pelmen telus, Om,” kata Ruby, masih dengan cadelnya yang membuat Samantha gemas. “Nggak apa-apa bandel dikit, By. Makannya jangan banyak-banyak. Nanti, kan, bisa sikat gigi.” Ruby tersenyum. Sebenarnya dia sangat menyukai makanan manis. Akan tetapi, tentu sang ayah begitu keras melarangnya untuk menyentuh sumber penyakit gigi itu. Di saat Ruby asik bermain dengan bola di tangannya, Samantha menatap Rose yang sedang duduk di sebelahnya. “Jadi apa jawaban kamu?” tanya Samantha. Rose menunduk, wajahnya bersemu merah. Masih dia ingat sentuhan nakal Samantha kemarin, membuat dadanya berdesir karena candu. Sentuhan manis yang sangat dia rindukan. Pun saat mata elang Samantha tertaut padanya ketika saling pandang, Rose semakin kelimpungan. “Aku nggak berniat mengkhianati Alex, Sam,” jawab Rose, gugup. Samantha mengurai napas, pasrah. Sedikit dia mendekat pada Rose untuk meletakkan kepalanya di bahu mungil kakak iparnya itu. “Jadi nggak ada harapan, ya? Ya udahlah, aku beneran nikah aja sama Akira,” ujar Samantha, enteng. Rose mendorong Samantha hingga pria itu jatuh ke sisi kiri. Samantha tertawa kecil, meletakkan kepalanya di atas bentang tikar sambil menatap keindahan langit. “Nggak apa-apa, kan, kalau aku nikah?” Samantha bertanya tanpa menatap Rose. Wanita itu mulai tak nyaman saat berpikir Samantha akan dimiliki wanita lain. Tapi mengkhianati Alexander pun, dia tak sampai hati. “Kita nggak akan tau sampai kapan bisa hidup, Rose. Jadi, seenggaknya sebelum mati, aku ingin jadi seorang ayah,” angan Samantha. “Kenapa kita berjalan sejauh ini kalau sama-sama tersakiti, Sam?” lirih Rose. Samantha menatap wajah Rose yang berada di atasnya. Lewat pantulan sinar mentari, dia menatap manik mata berkaca-kaca wanita itu. Pelan-pelan air matanya luruh, jatuh ke atas pipi Samantha. “Papa kamu bilang, terkadang kita harus menciptakan takdir sendiri supaya nggak ada penyesalan nantinya, Rose.” Rose yang terlena akan sentuhan manis Samantha di pipinya. Pria itu beranjak duduk hanya agar bisa meraba pipinya, menjangkau tengkuknya untuk memperdalam kecupannya. Bergulat dengan ciuman bergelora saat Samantha membuka sela bibirnya, menerima Rose yang ingin dominan dengan kecupannya. Keduanya terlena dalam cinta semu. Tak sadar, Ruby berlari ke luar pagar saat bola itu menggelinding ke jalanan. Petugas keamanan tak melihat si kecil berlari karena jendela pos lebih tinggi dari Ruby. Si kecil itu tentu tak menyadari bahayanya bermain di luar. Sementara itu, kecupan Samantha dan Rose berakhir. Pria itu tersenyum keki, menghentikan ciumannya saat merasakan sesuatu mendesak di bawah sana. “Kebelet, bentar!” Bersamaan dengan Samantha yang masuk ke rumah, Rose akhirnya menyadari Ruby tak ada di sekitarnya. Di luar sana, sepeda motor melaju dari tikungan dan tak sengaja mengarah pada Ruby. Mungkin dia pun tak melihat saat Ruby berlari ke tengah jalan. “Ruby!” Suara petugas keamanan akhirnya mengejutkan Rose. Wanita itu berlari sigap ke luar pagar. Untung saja pengemudi sepeda motor itu cepat tanggap menghentikan lajunya. Ruby hanya jatuh ke tepi hingga lengan dan kakinya terluka dan berdarah. “Mama.” Rose ketakutan, memeluk si kecil itu untuk dibawa sigap ke dalam rumah. Hanya lecet dan bisa sembuh dengan p3k dan dirawat di rumah. Akan tetapi, membayangkan kemarahan Alexander saat dia pulang nanti saja, membuat Rose melemah. “Cepat panggil dokter, Bi!” jerit Rose. Seisi rumah mulai panik. Samantha yang baru saja keluar dari toilet, mendengar suara berisik itu. Dia pun naik ke lantai atas dan melihat si kecil Ruby menangis tersedu karena lukanya terasa perih saat diolesi ethanol. “Ini kenapa, Rose?” tanya Samantha. Rose sangat ketakutan hingga tak bisa menjawab. Samantha-lah yang terpaksa mengambil alih penyembuhan luka pada lengan dan kaki Ruby sembari menunggu dokter yang datang. Rose takut luka sang anak akan mengalami infeksi jika tak diberi pertolongan dokter. “Rose, kamu kenapa?” tanya Samantha, menjauh dari kasur saat tak berapa lama, dokter pun datang. Rose menangis ketakutan, lalu memeluk Samantha dengan erat. Sekali Ruby kecelakaan di sekolahnya, sejak itu sikap Alexander berubah dan cenderung kasar. Rose takut menghadapi kemungkinan terburuk lagi. “Ruby baik-baik aja, kan?” isak Rose. “Ya baik-baik aja, Rose. Itu juga cuma lecet doang, kan? Bisa diatasi. Kamu berlebihan banget nangisnya. Anak kecil jatoh itu biasa, apalagi anak cowok,” hibur Samantha. Dokter itu juga tersenyum saat mendengar penghiburan Samantha. Memang hanya luka kecil dan sudah disembuhkan. Luka itu akan mengering dan tertutup hanya dalam waktu beberapa hari. Rose menjauhi Samantha karena tak enak pada senyum tipis dokter muda itu. “Jangan takut, Nya! Ruby sudah baik-baik saja. Jangan cemas!” Dokter itu pun permisi pamit meninggalkan rumah. Tepat di luar sana, mobil Alexander berhenti. Dia terkejut karena dokter keluarga mereka berada di rumah dan membuatnya khawatir. Siapa yang sakit? “Kenapa Dokter ada di sini?” tanya Alexander, gugup. “Oh, itu tadi Ruby jatuh. Tapi udah baik-baik aja, kok.” Tak menunggu penjelasan dokter lagi, Alexander berlari masuk ke rumah. Takut jika putra tersayangnya itu mengalami luka serius. Samantha lebih mendekat pada Ruby, memegang sisi kepalanya. Si kecil itu sudah tidur pulas. “Kecapean main, nih, makanya tidur.” Tak ada sahutan karena Rose sedang menahan diri untuk tak jatuh ketika melihat Alexander datang dengan langkah tergesa. Bias wajahnya sangat pias, namun memancarkan kemarahan. Tepat tiba di depan pintu, Alexander terhenti. Dia melihat Rose menunduk ketakutan, lalu Samantha yang bangkit untuk menyambut kedatangan Alexander. “Ruby-” Langkah Alexander melambat, mendekati kasur di mana berbaring sang putra dengan lengan dan kaki yang berbalut perban dan betadine. “Nak.” “Udah nggak apa-apa, Lex. Cuma jatuh doang. Anak cowok, lah, biasa,” kata Samantha, berusaha membela Rose. Alexander menggeram. Samantha pun tak ingin mencampuri lagi. Seiring langkahnya berlalu meninggalkan kamar, dia terkejut mendengar suara hantaman itu. Rose jatuh tersungkur hingga membentur ujung meja rias, membuat kosmetik itu berjatuhan dari posisinya. Samantha berbalik, terkejut melihat dahi Rose berdarah dan juga tangannya yang tertusuk pecahan beling ketika gelas kaca di atas meja itu jatuh dan pecah ke lantai. “Lex!” Samantha berlari, melepaskan tinjunya hingga Alexander jatuh dan menabrak rak buku di sudut dinding. Alexander berang karena Samantha ikut campur urusannya. Mereka saling membalas tinju. Rose berusaha melerai, berteriak karena sikap kekanakan mereka. “Alex! Sam! Udah!” Tepat saat Alexander jatuh tersungkur ke lantai, Rose menghalangi saat Samantha hendak memberi tinju lagi. Air mata Rose berisyarat agar Samantha pergi. “Tapi, Rose-” “Tolong, Sam!” Samantha keluar kamar, membanting pintu untuk melepas amarahnya. Hanya tersisa sepasang suami istri ini yang duduk di lantai dengan tatapan dingin. Tak ada bias kasihan di mata Alexander saat pelan-pelan Rose menarik pecahan kecil beling itu dari sisi lengannya, lalu menutup dengan beberapa lembar tissue agar darah tak terus mengalir. “Gimana? Sakit?” sinisnya. Rose tak menjawab, menikmati bagaimana kemarahan dan rasa sakit menyatu di binar mata sang suami. “Kamu yang orang dewasa aja ngerasain sakit karena hal sekecil itu. Apalagi Ruby? Seenggaknya kamu tau sekarang gimana sakitnya saat kamu luka dan berdarah. Dengan begitu, kamu bisa lebih berhati-hati menjaga putraku!” kecam Alexander. Saat Alexander begitu buta akan cintanya pada sang putra, Rose hanya bisa menangis menahan perih saat dia sadar, dirinya merasa sesak dan ingin kembali pada Samantha. * Pagi itu, Samantha melihat Alexander bergegas pergi dengan seorang baby sitter yang menggendong Ruby bersamanya. Seorang asisten membantunya membawa koper. Di atas sana, Rose menahan tangis sambil membalikkan badan. “Pa, aku pergi meeting selama seminggu ini di Bandung. Kalau ada apa-apa, kabari aku,” pesan Alexander. “Kamu mau bawa Ruby sama kamu?” Narendra terlihat bingung. Saat dia menatap ke lantai atas, Rose masuk saja ke kamarnya. “Iya, Pa. Di rumah juga buat apa? Nggak ada yang becus buat jagain dia. Aku pergi!” Narendra dan Samantha bisa melihat suami istri itu sedang bentrok. Samantha tak bisa menunjukkan kekhawatirannya karena akan memperkeruh keadaan. Hati Rose sudah remuk dan dia tak bisa melakukan apa pun. * Dua hari berlalu sejak Alexander pergi bersama Ruby, Rose semakin merasa terpuruk. Masih dia rasakan perlakuan kasar Alexander hanya karena melihat sang anak terluka sedikit saja. Rose tak bisa menahan ketakutannya lagi. "Kamu keterlaluan, Lex. Kamu berpikir aku nggak bisa jagain Ruby hanya karena itu? It's oke! Silakan jaga putramu itu seorang diri!" Bukan tak menyayangi Ruby, Rose hanya takut hidupnya akan lebih menderita dari ini. Usia Ruby masih panjang. Bagaimana dia bisa menjaga si kecil itu dengan perasaan was-was tanpa takut apa pun? Rose terhenti di lantai atas saat melihat Narendra bicara serius dengan Samantha. Agenda pernikahan yang membuat lutut Rose melemas. "Kalau memang sudah serius, papa akan telepon Pak Wiryo untuk membawa Akira ke sini, Sam," tandasnya. Samantha bungkam. Detik berikutnya, dia beranjak dan menatap dingin sang ayah. "Terserah Papa aja." Samantha pun masuk ke kamarnya. Dia yang masih dilanda keraguan akan cinta lama dan mengingat jelas rasa sakit di mata Rose ketika diperlakukan kasar oleh Alexander. Suara petir menggelegar seakan memecah langit. Saat hendak menutup gorden, Samantha terkejut saat melihat Rose berjalan tergesa-gesa di bawah. Tak peduli dengan hujan yang menaunginya, dia berlari dengan menjinjing tas besar. "Rose?" Samantha segera berlari keluar rumah untuk mengejar mantan kekasihnya itu. Sepertinya dia serius untuk pergi dari rumah. "Rose!" Panggilan keras Samantha itu membuat Rose terhenti. Sempat dia menoleh sesaat, lalu berlari sejauh mungkin. Dia tak ingin lagi berada di lingkungan Keluarga Atmadja yang membuatnya sesak. Semua seakan zona mimpi buruk untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD